Pemilu Terbuka atau Tertutup Diputuskan 15 Juni

  • Bagikan

--Menanti Putusan MK
--Pengamat : Pemilih Utamakan Rasionalitas dalam Memilih

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pengucapan putusan judicial review (JR) atau uji materi sistem pemilu, pada Kamis, 15 Juni 2023. Putusan MK ini akan menentukan sistem pemilu di tanah air apakah dilaksanakan secara tertutup atau terbuka.

Pengamat politik Sultra, Andi Awaluddin Ma’ruf,S.IP., M.Si mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
“Kalau masyarakat sadar akan pentingnya pemilu (tertutup/terbuka) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depannya, walau pun (pemilu) terbuka dan tertutup itu menentukan pilihannya berbasis rasionalitas, integritas. Pemilih wajib mengutamakan rasionalitas dalam memilih wakilnya pada pemilu,” ujarnya kepada Kendari Pos, Senin (12/6), kemarin.

Akademisi Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK)
itu menjelaskan kelebihan dan kekurangan sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka. Kelebihan sistem pemilu tertutup adalah ideologi partai seperti yang dianut beberapa partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap terjaga.

“Jadi polarisasi pemilih itu berbasis bagaimana keterwakilan idiologis masyarakat. Kemudian dengan sistem ini mesin partai yang jalan. Kalau terbuka, sesama partai yang bersaing yang tentunya merugikan partai,” ungkap Awaluddin.

Adapun kelemahan Pemilu tertutup yakni kondisi iklim partai politik (Parpol) di tanah air tidak dalam kondisi baik-baik saja. Misalnya, kecenderungan parpol saat ini ada yang terlibat korupsi yang tidak mencerminkan warna ideologi nasional demokrasi atau tidak mencerminkan demokrasi yang sehat.

“Secara kultur saja, parpol di Indonesia hari ini tidak mencerminkan basis demokrasi yang sehat. Jadi memang serba salah,” tutur Awaluddin.

Sedangkan keunggulan sistem pemilu terbuka, masyarakat dappat menentukan langsung pilihannya baik di level legislatif maupun eksekutif. Dengan kata lain, tidak membeli kucing dalam karung. “Tapi yang terjadi di Indonesia saat ini, kita seolah-olah berdemokrasi, tapi substansinya itu belum tercapai,” kata Awaluddin.

Adapun kelemahan sistem pemilu terbuka, jika diterapkan di lingkungan yang masyarakatnya belum siap secara ekonomi dan tingkat kesejahteraan masih rendah seperti yang terjadi saat ini, maka potensi politik uangnya tinggi.

“Tapi kita kembali lagi, mau pemilu dengan proporsional tertutup maupun terbuka semua tergantung pemilih. Dalam pemilu nanti masyarakat yang menentukan baik buruknya perpolitikan ke depan. Masyarakat yang menentukan siapa partisipan yang duduk di kursi parlemen. Jadi pemilih harus berpikir rasional,” imbuh Awaluddin.

Awaluddin lebih menekankan pentingnya integritas pemilih dalam menghadapi pemilu tertutup maupun terbuka. Untuk itu ia meminta seluruh pihak termasuk masyarakat tetap tenang menjelang pengucapan putusan sistem pemilu proporsional tertutup maupun terbuka.

Terpisah, Anggota Komisi I DPRD Sultra, Asrizal Pratama Putra mengatakan, secara kepartaian, ia menolak pemilu dengan sistem proporsional tertutup. Alasannya, sistem tersebut membatasi hak pemilih dalam menentukan perwakilannya terutama dalam pemilihan legislatif.

“Saat ini kan kita menganut sistem pemilu proporsional terbuka karena kita negara demokrasi. Kalau demokrasi berarti One Man One Vote. Siapa yang terpilih berarti dicintai oleh rakyat, kalau sistem pemilu tertutup kurang fair. Mudah-mudahan MK bisa pertimbangkan kan belum ditentukan apakah pemilu terbuka atau tertutup. Kita semua menunggu dan berharap yang terbaik,” ujar Asrizal kepada Kendari Pos, Senin (12/6), kemarin.

Pengamat politik Universitas Jember Dr. Muhammad Iqbal mengatakan, sistem proporsional tertutup akan menjadi pemicu lonceng kematian demokrasi di Indonesia.

"Jika narasi proporsional tertutup terus digaungkan, kemudian diaminkan oleh MK dan tanpa penegakan hukum yang sarat efek jera terhadap penjahat korupsi pemilu dan politik uang, maka lonceng kematian demokrasi bisa berdentum kencang tanda kemunduran esensi demokrasi," kata Iqbal, beberapa waktu lalu.

Menurut Iqbal, penolakan delapan fraksi DPR RI atas narasi mengganti sistem pemilu menjadi tertutup itu sudah tepat dan cocok dengan situasi Indonesia yang tengah mematangkan dan mendewasakan diri sebagai bangsa demokratis.

"Tidak ada yang ideal dalam sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup. Yang paling pas atau cocok dalam situasi demokrasi Indonesia yang beranjak mulai dewasa bagi saya adalah proporsional terbuka," tutur Iqbal.

Jadwal Sidang

MK diagendakan akan menggelar sidang pengucapan putusan judicial review (JR) atau uji materi sistem pemilu. Jadwal sidang itu telah dikirimkan kepada para penggugat, pemerintah, DPR dan para pihak terkait dalam gugatan.

"Semuanya dikasih surat panggilan untuk hadir sidang. Hari ini, untuk perkara 114 itu sudah diagendakan nanti pengucapan putusan hari Kamis tanggal 15 Juni, jam 09.30 WIB di Ruang Sidang Pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain," kata juru bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (12/6).

Fajar mengakui perkara ini berlangsung cukup lama. Namun, ia membantah pihaknya sengaja menunda-nunda proses penyelesaian perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini.

Dia, mengungkapkan perkara ini sejatinya telah selesai pada 31 Mei 2023, dengan agenda kesimpulan para pihak. Setelah itu, hakim MK mendalami dan menggelar rapat musyawarah untuk membuat keputusan. (ags/b/jpg)

Menanti Putusan MK

  • Bagikan