Aptisi Nilai Perguruan Tinggi Swasta Masih Dianaktirikan

  • Bagikan
(Foto: aptisi.or.id)
(Foto: aptisi.or.id)

--Keluhkan Seleksi Mandiri yang Tak Dibatasi

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Budi Djatmiko menyebut, perguruan tinggi swasta (PTS) masih dianaktirikan oleh pemerintah. Mulai dari bantuan anggaran hingga soal seleksi masuk perguruan tinggi.

Budi mengatakan, pada tahun 2019, dana kartu Indonesia pintar (KIP) yang diberikan pada PTS sangat terbatas. Dari kuota 150 ribu, PTS hanya mendapatkan tiga persen. "Itu diskriminatif luar biasa dan bertahun-tahun pemerintah seperti itu," ujarnya, kemarin.

Bantuan ini memang perlahan naik. Pada tahun 2021 terjadi kenaikan hingga 60 persen dan 2022 mencapai 70 persen dari kuota. Namun, menurutnya, itu pun diberikan usai protes-protes yang disampaikan oleh pihaknya.

Padahal, kata dia, untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) di pendidikan tinggi (PT), harusnya bantuan lebih banyak dialokasikan untuk PTS. Mengingat, biaya pendidikan di PTS rata-rata hanya sebesar Rp 1,7 juta per semester.

Sebab, sejatinya, baiya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) justru lebih mahal. Dari data yang diperolehnya, jumlah mahasiswa tak mampu di PTN tak lebih dari dua persen. Kebanyakan dari mereka merupakan orang mampu yang memang sejak awal sudah mempersiapkan diri masuk PTN dengan mengikuti berbagai bimbingan belajar.

Sebagai informasi, menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, APK PT tahun 2022 telah mencapai 39,37 persen. Angka ini sudah melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 yakni 37 persen. Namun, BPS mencatat APK PT masih di dibawah RPJMN 2024, 31,16 persen.

"Masyarakat miskin mana mampu les. Karenanya, untuk meningkatkan APK, serahkan saja ke PTS. Alokasikan anggaran 75 persen ke PTS dan 25 persen PTN. Utamakan pada PTS yang kecil," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, dia turut mengkritisi soal seleksi mandiri yang dilakukan oleh PTN. Menurutnya, KPK sudah mencium adanya kongkalikong mengenai seleksi mandiri ini namun sayangnya seolah dibiarkan oleh pemerintah.

Wakil Bendahara II Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Muhammad Muchlas Rowi pun mengamini. Menurutnya, kondisi PTS tengah berdarah-darah. Apalagi, saat ini, tengah terjadi penurunan mahasiswa di seluruh PTS di Indonesia. "Kami pun demikian, problemnya ada penganak-emasan," katanya.

Salah satunya, soal seleksi mandiri. Dia mengeluhkan, bahwa seleksi mandiri, kuota dan waktunya seolah tak terbatas. tak ada transparansi besaran kuota untuk seleksi mandiri ini. Kemudian, waktu seleksi yang sangat panjang.

Hal ini berpengaruh pada penerimaan mahasiswa baru di PTS. "Padahal PTS biasanya limpahan dari PTN. Kalau tidak dibatasi itu bagaimana nasib PTS," ungkapnya.

Sementara, lanjut dia, kondisi PTS saat ini sudah mengkhawatirkan. Sejumlah PTS bahkan sudah merubah sistem pembayaran SPP-nya. Tidak lagi model per semester tapi perbulan bahkan bertahap sesuai kemampuan mahasiswa. Oleh karenanya, pemerintah diharapkan bisa lebih perhatian pada PTS-PTS di Indonesia. (jpg)

  • Bagikan