Perspektif Ibu dalam Merefleksi Hari Ibu

  • Bagikan
Hamzah Ntouna, M.Pd
Hamzah Ntouna, M.Pd

Oleh: Hamzah Ntouna, M.Pd, Pengawas Sekolah Ahli Madya Kota Kendari

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Terminologi ibu dapat ditelaah dari beberapa paradigma dalam peringatan Hari Ibu Indonesia pada 22 Desember 2023. Perspektif ibu dapat ditinjau minimal dari sudut pandang biologis, nasionalisme, politik, hukum, profesi, dan organisasi. Perspektif gender memposisikan ibu sebagai insan yang berperan multidimensi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Perspektif ibu secara biologis memiliki hasrat bersuami, menikah, mengandung, dan memiliki anak atau keturunan melalui ikatan pernikahan yang sah, dan berkewajiban mendidik serta membesarkan anak. Kebutuhan biologis terpenuhi seiring dengan kematangan fisik, psikis, sosial, emosional, ekonomi, dan spiritual seorang ibu. Ibu dari perspektif biologis berkonsekuensi secara kausalitas dapat memenuhi kewajiban dan menerima hak dalam kehidupan keluarga. Kewajiban ibu ada karena telah bersuami dan beranak. Ibu memiliki ikatan cinta yang kuat dengan suami dan anak. Kekuatan cinta mereka tak bisa ditukar dengan cinta orang lain. Maka, lahirlah kesetiaan, cinta sejati, kasih sayang, dan kebahagiaan di dalam keluarga.

Perempuan berubah status menjadi istri seorang suami dan ibu sang anak. Kewajiban sang istri terhadap suami dan anak telah diatur oleh agama dan negara. Tugas dan tanggung jawab istri menunaikan kewajiban kepada Allah, suami, dan anak. Mencuci, memasak, menyapu, mengepel, menyetrika, berbelanja, membuang sampah, dan sejenisnya, bukanlah kodrat istri. Kodrat istri, yakni haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat istri tersebut tidak mungkin terjadi pada suami atau laki-laki umumnya. Segala pekerjaan dalam kehidupan keluarga sering dibebankan pada Ibu. Para istri menunaikan tugas itu dengan ikhlas dan menganggap sebagai tugas dan kewajibannya.

Tugas-tugas tersebut seharusnya dipahami oleh setiap suami bahwa itu sebagai tugas bersama dalam rumah tangga. Sesungguhnya, suami juga berkewajiban mengerjakan pekerjaan yang sering dilakukan istri di rumah. Suami menjalankan kewajiban paripurna terhadap istri dan anak. Kewajiban itu dapat dimaklumi jika ada kesepakatan suami dengan istri untuk dijalankan oleh istri. Hal demikian tidak ada masalah karena diatur dan disepakati kedua belah pihak.

Kewajiban berkonsekuensi mendapatkan kebaikan di Sisi Allah apabila dijalani sesuai dengan syariat agama. Sebaliknya, bisa pula mengakibatkan dosa manakala istri melalaikan kewajiban. Pada konteks kehidupan demikian, istri memiliki ilmu agama dan akhlak mulia yang cukup agar dapat memandu segala penunaian kewajiban terhadap suami dan anak. Demikian pula suami, dituntut menguasai ilmu agama, rumah tangga, sosial, budaya, etika, dan ilmu keperempuaan.

Ibu juga perlu terpenuhi hak-haknya dalam rumah tangga dari suami dan anak. Terutama beragama, hidup bahagia lahir dan batin, cukup biaya hidup, sehat, kasih sayang, dan cinta sejati dari suami dan anak. Terpenuhinya hak-hak istri secara prima merupakan kunci hidup sukses meraih predikat keluarga sakinah, mawaddah, waroahmah.

Genetik dan DNA (deoxyribonucleic acid) atau asam deoksiribonukleat anak secara biologis berimplikasi makin kuatnya hubungan ciri-ciri fisik serta batin anak dengan ibu. Genetik dan DNA dapat memotivasi anak untuk berbakti kepada ibu sebagai wujud ketakwaan kepada Allah. Anak tak bisa membalas jasa-jasa ibu dengan berbagai pengorbanan. Ibu tidak menuntut anak harus membalas jasa-jasanya selama mengandung, melahirkan, membesarkan, dan jiwa berkorban. Orang tua hanya ingin anak-anaknya hidup bahagia, sehat, cukup biaya, beriman, patuh pada perintah dan nasihat, serta berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, serta bangsa dan negara.

Anak yang menyia-nyiakan hidup ibu akan dicap sebagai anak durhaka. Betapa celakanya sang anak yang tidak peduli dengan ibunya. Anak menitip ibu di panti jompo atau panti asuhan. Bisa kita bayangkan, bagaimana perasaan sang ibu jika ditelantarkan oleh anaknya. Hancurkah perasaan ibu ketika menerima perlakuan anak yang acuh tak acuh padanya?

Perbuatan yang wajib dihindari adalah segala perlakuan yang melanggar etika dan hukum. Oknum ibu tidak menyakiti, mempermalukan, dan mencela anak. Ibu juga tidak membeda- bedakan perlakuan dan perhatian terhadap anak-anak. Ibu setiap saat dan segala kondisi tidak pilih kasih terhadap anak-anak. Jika diperlakukan demikian, anak bersikap kurang simpatik terhadap Ibu kandung. Konflik batin berkobar dalam jiwanya karena anak tidak berani melawan dengan kata-kata dan sikap kontraproduktif terhadap Ibu.

Ibu mencurahkan segala belaian kasih sayang kepada anak kandung. Ibu juga menyadari bahwa anak itu merupakan ladang beramal saleh, baik masih hidup maupun telah wafat. Anak saleh merupakan aset ibu dan ayah yang tak putus-putus selama anak masih hidup. Anak saleh yang akan membantu ibu dan bapak di alam kubur dengan amal-amal saleh. Maka, ibu membekali anak dengan kualitas amal saleh yang cukup. Anak sebagai titipan Allah yang kelak dipertanggungjawabkan oleh orang tua kepada-Nya.

Sejatinya, anak wajib membahagiakan ibunya hingga akhir hayatnya. Kesalehan anak terhadap Ibu tak diakhiri oleh takdir maut. Anak saleh terus mengalirkan amal jariah ke Alam Kubur ibu dan ayah. Anak yang sadar, tak putus-putus belajar agama dan beramal saleh. Anak juga sadar bahwa ilmu pengetahuan amat penting dipelajari, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kajian biologis ini memposisikan ibu sebagai perempuan mulia karena jasa-jasanya: mengawali terjadinya janin, merawat janin dengan susah payah, melahirkan, merawat bayi, dan mengurusi anak bertahun-tahun dengan berbagai pengorbanan. Anak dan suami menjadi ladang amal untuk meraih predikat kemuliaan dan ketakwaan seorang istri. Allah dan Rasul-Nya memposisikan ibu lebih dimuliakan.

Suami wajib memuliakan ibu dan ayah kandung sendiri daripada istri. Istri wajib memuliakan suami melebihi kedua orang tua kandung istri. Suami memposisikan orang tua kandungnya di atas posisi istri. Istri dan suami wajib mengetahui dan melakukan status penghargaan tersebut.

Rasulullah menempatkan ibu sebagai orang yang pertama dimuliakan sebelum ayah dimuliakan oleh anak. Allah memposisikan rida ibu sebagai syarat sang anak untuk memperoleh rida-Nya. Jika ibu belum meridai anak, Allah pun belum meridai anak itu. Maka, Allah dan Rasul-Nya mewajibkan anak untuk menghormati dan memuliakan ibu, kemudian ayah. Allah dan Rasul-Nya pun melarang anak berkata ah kepada ibu dan ayah. Anak wajib lemah lembut dan bersyukur kepada Allah dan kedua orang tuanya. Surga berada di bawah telapak kaki Ibu. Ibu merupakan ladang amal bagi anak. Anak selamat dunia akhirat kalau berbakti dengan ikhlas dan kasih sayang kepada ibunya.

Ibu menurut Perspektif Dimensi Nasionalisme, Organisasi, dan Profesi

Ibu dari dimensi nasionalisme dan organisasi ditelaah berdasarkan peran sejarah Perempuan Indonesia dalam memperjuangkan Kemerdekaaan Indonesia dari penjajah. Pahlawan Perempuan Indonesia seperti Ratu Nahrasiyah, Laksamana Malayati, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Martha Christina Tiahahu, Rohana Kudus, R.A. Kartini. Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Opu Daeng Risadju, Nyai Ahmad Dahlan, Siti Manggopo, dan H.R. Rasunan Said. Para Srikandi berjiwa kesatri melawan penjajah demi Indonesia merdeka.

Perjuangan Perempuan Indonesia melawan penjajah terjadi sekitar 4 abad, sejak tahun 1500-an hingga tahun 1949. Perempuan Indonesia berjuang sejak Perang Merebut Kemerdekaan hingga Perang Mempertahankan Kemerdekaan. Jiwa patriotisme perempuan Indonesia berkobar ketika bangsa Indonesia ditindas penjajah. Demi kesinambungan dan kekuatan perjuangan bangsa, Perempuan Indonesia menyelenggarakan Kongres Perempuan I pada 22--25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres itu diikuti sekitar 30 organisasi perempuan dari Jawa dan Sumatra. Sebagai wadah perjuangan, kongres memutuskan pembentukan organisasi Perempuan Indonesia perempuan berjuang merebut kemerdekaan, memperluas partisipasi perempuan pada berbagai bidang pembangunan bangsa, penambahan sekolah rendah bagi perempuan, peningkatan kualitas gizi yang cukup bagi ibu dan anak balita, aturan pencegahan pernikahan usia dini khususnya para perempuan, serta aturan janda dan anak yatim.

Bertekad melanjutkan perjuangan bangsa, maka diselenggarakanlah Kongres Perempuan II pada Juli 1935. Pada Kongres II, Perempuan Indonesia makin berani membela hak-hak dan harkat perempuan khususnya kaum buruh seperti di pabrik batik di Lasem Rembang. Kongres juga ingin memajukan pendidikan rakyat Indonesia dengan membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf (BPBH).

Jiwa patriotisme para perempuan makin eksis yang ditandai dengan pelaksanaan Kongres Perempuan III pada 23--27 Juli 1938 di Bandung. Kongres III memutuskan Hari Ibu jatuh pada 22 Desember. Hari Ibu berdasarkan tanggal hari pertama pelaksanaan Kongres I: 22--25 Desember 1928. Maka, mulai 22 Desember 1938 diperingati Hari Ibu dan hingga kapanpun.

Guna menghormati kaum Ibu Indonesia, maka Hari Ibu tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Nasional oleh Pemerintah melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Selain mengeluarkan Dekrit, Presiden Soekarno sebelumnya mengangkat Menteri Sosial perempuan pertama pada tahun 1950, yakni Maria Ulfa. Semua Presiden RI selama Indonesia merdeka telah mengangkat perempuan menjadi menteri.

SDM perempuan sangat dibutuhkan untuk berperan dalam pembangunan bangsa dan negara kita hingga kapanpun. Perempuan Indonesia telah menduduki berbagai jabatan dan profesi. Bahkan, SDM perempuan Indonesia diakui oleh PBB dan dunia internasional. Kowani diterima sebagai anggota penuh Council of Women (ICW) tahun 1973, dan menduduki Dewan Konsultatif Kateri I PBB. Perempuan Indonesia memiliki keahlian di berbagai bidang yang diakui oleh dunia: penelitian, iptek, musik, moneter, perikanan, maskapai penerbangan, jurnalistik, dan lain-lain.

Ibu menurut Perspektif Hukum

Hukum melindungi hak-hak perempuan sebagai ibu RT, karyawan perusahaan, atau profesi dan jabatan apapun. Ibu dan ayah kandung, ibu dan ayah tiri, ibu dan ayah yang memelihara anak orang lain, disebut orang tua menurut UU No. 35 Tahun 2014. Perempuan yang tidak melahirkan anak orang lain bisa disebut ibu, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap anak itu.

Hak-hak ibu mendapat perlindungan dari keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. UU dan agama juga mengatur kewajiban ibu, baik terhadap anak kandung maupun bukan anak kandung. Dari perspektif hukum, perempuan dapat berperan sebagai ibu kandung dan bukan ibu kandung bagi anak. (*)

  • Bagikan