Ibu Kuat, Generasi Hebat, untuk Bangsa Bermartabat (Refleksi Hari Ibu, 22 Desember 2023)

  • Bagikan

Penulis: Emi Rahyuni (Aktivis/Pemerhati Perempuan Sultra, Mantan Ketua Muslimah Pengurus Pusat (PP) KAMMI)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Belakangan ini kita banyak disuguhkan berita yang menyayat hati; suami yang tega memb*nuh anaknya, seorang ibu yang menghilangkan nyawa anaknya.

Bukan kesimpulan prematur jika kita mengatakan bahwa inilah yang terjadi ketika keluarga tak lagi bisa menjadi ‘tempat pulang’ bagi setiap penghuninya. Pernikahan tak lebih dari sekadar formalitas, rumah tangga kehilangan ruh-nya.

Menjalani kehidupan rumah tangga itu tak ada sekolah formalnya. Sementara ujiannya tidak main-main, karena itu oleh Allah dijadikan menikah sebagai menggenapkan separuh agama.

Ada yang diuji dengan perselingkuhan, finansial, buah hati yang tak kunjung hadir, ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan gangguan dari keluarga dekat entah mertua atau ipar), diuji dengan penyakit dan lain-lain. Semua rumah tangga punya ujian. Orang kaya, pejabat, artis bahkan ulama.

Menurut hemat saya, modal utama untuk menangkal ujian apapun itu adalah komunikasi. Sekali lagi, ini menurut saya. Sebab jika komunikasi dalam rumah tangga tersumbat, percayalah banyak saluran yang tidak berfungsi dengan baik. Istri gampang mengeluh di medsos, suami mudah terpancing untuk curhat kepada yang bukan mahrom di luar rumah.

Sebagai seorang istri, mari kita belajar menyalurkan hasrat bicara pada saat dan tempat yang tepat. Kita punya hak untuk berbagi gundah dengan suami, juga mengungkapkan keluh kesah. Tetapi kita tetap hargai dan jaga marwah kepala rumah tangga kita, tutup aibnya sebisa mungkin.

Dan sebagai suami, redamlah egomu demi menjadi pendengar yang baik bagi istrimu. Istrimu terkadang hanya ingin didengarkan keluhannya. Luangkan waktumu. Parkirlah gadgetmu. Jangan ajak ribuan teman sosmedmu ke atas ranjang, yang seharusnya hanya menjadi tempat berbagi suka dan duka dengan istrimu.

Mari menjaga ketahanan keluarga kita, sebagai batu bata penyusun peradaban mulia. Jadikan rumah kita sebagai ‘tempat pulang’ yang nyaman bagi penghuninya.

Menjadi Ibu Kuat

Menjalani peran domestik sebagai istri dan ibu, juga menjalani peran publik sebagai anggota masyarakat yang terus belajar mengeksplor potensi. Harus ada harmonisasi di antara kedua peran itu; bahwa perempuan masa kini tidak hanya dituntut terampil dalam domestik, tetapi juga cerdas di bidang publik.

Sulit? Iya, tapi bukan mustahil. Meskipun konsekuensinya, kita butuh ruang lebih lapang untuk mendistribusi beban itu sesuai fiqih aulawiyat (skala prioritas). Menjadi ibu yang kuat, tidak hanya fisik, tetapi juga mental, dibutuhkan dukungan suami. Sehat-sehatlah perempuan.

Kata orang, rumah bisa bahagia jika istri bahagia terlebih dahulu. Dan istri bisa bahagia, tergantung bagaimana suami memperlakukannya. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa walaupun seluruh makhluk berkongsi untuk menjelma sebagai ujian bagi seorang istri, selama dukungan suami tetap di pihaknya, maka ia akan baik-baik saja.

Karena ujian terbesar seorang ibu justru datang dari dirinya sendiri. Perasaan yang kerap berubah menjadi prasangka buruk dan ketakutan yang tidak pasti. Itulah mengapa, seorang ibu lebih mudah depresi, sebab kelemahannya adalah berperang dengan dirinya sendiri.

Wahai suami, nikmati kecerewetan istrimu sekarang. Karena saat ia mulai diam, ada satu hal yang bisa dipastikan. Ia telah membuat batas di antara kalian. Berbanggalah ketika ia meminta sesuatu padamu. Sebab terkadang bukan karena istrimu tak mampu mewujudkannya sendiri, melainkan karena ia menganggapmu ada.

Mendidik Generasi Hebat

Banyak sudah adagium yang bertebaran, yang mengajarkan kita tentang peran seorang ibu dalam mendidik generasi bangsa. Bahwa ibu adalah madrasah pertama dan utama. Maka, senantiasa meningkatkan kapasitas diri adalah sebuah keharusan bagi seorang ibu. Entah dia sebagai Wanita karir ataupun full time mom. Di saat yang sama, seorang ibu juga bisa menjadi partner diskusi yang baik dengan suami di rumah.

Sebab seorang ibu, dengan tangan kiri ia mengayun buaian, dan dengan tangan kanannya ia bisa mengubah dunia. Tentu saja karena ia memiliki modal cantik dan cerdas. Sebagai ibu, kita harus senantiasa mengasah kecerdasan yang membuat kita se-frekuensi bersama pasangan hingga mampu menembus jendela dunia dari sisi mana saja.

Entah sebagai full time mom ataupun working mom, kita adalah hebat sepanjang menjalani peran penuh syukur tanpa menabrak rambu-rambu syariah.

Keluarga Miniatur Peradaban

Keluarga adalah miniatur peradaban. Untuk itu, diperlukan kiat agar keluarga memiliki ketahanan hingga menghasilkan keluarga yang berkualitas. Generasi yang berkualitas akan menentukan kualitas suatu negeri. Karena keluarga merupakan pondasi bangunan bagi masyarakat, maka sudah selayaknya keluarga keluarga memiliki peranan terbesar dalam pendidikan.

Tentu tidak adil jika peran menjaga ketahanan keluarga ini dibebankan semata kepada seorang ibu. Tetapi bahwa ibu adalah madrasah pertama dan utama, hal ini sudah khatam dibahas. Karena sentuhan pertama yang dirasakan oleh seorang anak adalah kasih sayang seorang ibu. Bahasa pertama yang didengar oleh seorang anak adalah kelembutan seorang ibu.

Karenanya, seorang ibu harus senantiasa bahagia dalam menjalankan setiap perannya, juga engeskplorasi setiap potensinya untuk kemasalahatan orang banyak, tentu saja tanpa menanggalkan prioritasnya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Kata orang, perempuan yang baik adalah yang hemat di dapur, rajin di sumur, serta hangat di kasur. Berputar-putar di situ. Sejak matahari terbit hingga mata suami terbenam. Barangkali ini tidak keliru. Tetapi, bahwa harus ada yang digarisbawahi dari adagium ini, butuh diskusi lebih mendalam. Perempuan tidak bisa menjadi tiang negara, bahkan surga tak mungkin diletakkan di kakinya jika perannya sekerdil itu. Sejarah mencatat, betapa banyak peradaban mulia yang dicetak lewat tangan dingin seorang ibu.

Selamat hari ibu buat semua perempuan di dunia ini. Semoga Allah senantiasa mengokohkan lengan kita, menguatkan hati dan iman kita. Untukmu yang sudah siap digelari ibu, tetapi Allah belum memberikan kesempatan itu, jangan berkecil hati. Jika belum bisa menjadi ibu biologis, kau bisa menjadi ibu ideologis yang mencerdaskan anak bangsa dengan cara yang cerdas. (*)

  • Bagikan