Eksistensi Perempuan Dalam Upaya Terciptanya Harmoni Hukum dan Keadilan

  • Bagikan

Oleh: Dr. Hijriani, S.H., M.H, Praktisi Hukum/Kaprodi Magister Hukum Unsultra

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Sejak zaman kuno hingga masa kini, peran perempuan dalam ilmu pengetahuan dan hukum telah mengalami perubahan yang signifikan. Teori peran sosial menggambarkan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari stereotip budaya tentang gender. Perempuan diharapkan berperilaku sesuai dengan peran gender mereka, yang juga memengaruhi tugas yang diberikan pada mereka dalam ruang kerja.

Konstruksi Paradigma Patriarki dalam hukum mengacu pada sistem yang dibentuk dari perspektif laki-laki, sering kali mengesampingkan perempuan. Sehingga dapat menghasilkan subordinasi dan pemarginalan perempuan, mempengaruhi akses mereka ke pendidikan, partisipasi politik, dan kesempatan ekonomi. Prinsip Kesetaraan dan Keadilan Perempuan memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi pada penegakan negara hukum. Populasi perempuan di dunia mencapai lebih dari 50%, dan hal ini juga berlaku di Indonesia. Meskipun perempuan memiliki peran penting, masih terdapat tantangan yang menghambat kemampuan mereka untuk sepenuhnya mengakses kesempatan yang sama dengan laki-laki, meraih potensi penuh, serta berkontribusi secara optimal dalam berbagai bidang dan level dalam masyarakat. Beberapa aspek hukum masih lemah dalam melindungi perempuan. Tingkat diskriminasi dan kekerasan berbasis gender masih ada, dan perempuan (terutama anak perempuan) menghadapi hambatan untuk mengakses keadilan.

Prinsip kesetaraan dan keadilan bagi semua warga negara, tanpa membedakan gender, merupakan esensi dari penerapan prinsip rule of law. Plato menyebut bahwa hukum menjadi penting bagi kehidupan manusia karena berkaitan dengan persoalan keadilan. Hukum dipahami sebagai alat untuk mewujudkan keadilan. Konstitusi menjamin kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan sebagai bentuk pengejawantahan prinsip equality before the law.

Upaya untuk meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan, termasuk melalui konsensus global yang tercantum dalam instrumen hukum seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Meskipun demikian, diskriminasi terhadap perempuan masih berlanjut, termasuk dalam regulasi di Indonesia. Olehnya, prinsip kesetaraan dan keadilan bagi perempuan merupakan fondasi penting dalam hukum untuk memastikan perlakuan yang adil dan setara tanpa memandang jenis kelamin. Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, CEDAW bertujuan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan memastikan kesetaraan gender, kemudian di dalam Pasal 28A dan 28J Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur hak asasi manusia, termasuk hak kesetaraan dan keadilan bagi Perempuan.

Hukum bagi Perempuan demi Keadilan Perempuan, dalam kajian dan pengaturan beberapa konvensi internasional, dimasukkan ke dalam kelompok yang rentan (vulnerable), bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi, serta kelompok rentan lainnya. Kerentanan ini membuat perempuan menjadi potensi korban keadilan.

Begitupun kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, seperti gunung es yang hanya menampakkan sebagian kecil dari masalah yang lebih luas. Kekerasan ini mencakup berbagai bentuk, termasuk fisik, psikis, dan seksual.Selain itu, penelantaran dalam rumah tangga juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap ketidakamanan perempuan. Dalam upaya melawan ketidakadilan, sistem hukum dan kebijakan perlu memberikan perlindungan yang efektif dan berkelanjutan bagi perempuan.

Harmoni dalam Sistem Hukum untuk Menciptakan Keadilan bagi Perempuan Permasalahan yang timbul berkaitan dengan eksistensi perempuan, baik dari sisi dogmatik maupun praktik, adalah bahwa hal-hal yang bersifat kodrati seringkali dicampur adukkan dengan pemahaman tentang gender. Jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, seringkali disamakan eksistensinya dengan konstruksi sosial-budaya yang kita sebut sebagai ”gender”. Konstruksi pemikiran sosial sering menganggap perempuan lebih lemah, sehingga berdampak pada sikap dan pemahaman yang menganggap perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki.

Padahal, sebenarnya, perempuan dan laki-laki hanyalah perbedaan kodrati yang ada dalam sebagian besar kenyataan. Keduanya tidak berbeda, jika memahaminya dalam hal peran, kedudukan, hak dan kewajiban di hadapan hukum. Harmoni dalam sistem hukum untuk menciptakan keadilan bagi perempuan mengacu pada integrasi prinsip-prinsip yang memastikan perlindungan hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan penegakan hukum yang adil dalam semua aspek kehidupan, dengan melibatkan penyelarasan antara undang-undang, kebijakan, dan praktek hukum dengan kebutuhan, kepentingan, dan pengalaman perempuan dalam masyarakat.

Sistem hukum yang harmonis harus memberikan akses yang setara bagi perempuan dalam sistem peradilan, termasuk akses terhadap bantuan hukum yang layak, proses peradilan yang adil dan tidak diskriminatif, serta perlindungan terhadap korban kekerasan gender dalam proses hukum, dan yang terpenting meningkatkan pemahaman masyarakat, termasuk perempuan, tentang hak-hak mereka, proses hukum, dan perlindungan hukum yang tersedia. (***)

  • Bagikan