Jalan Menemukan Gubernur Sultra, Bukan Kaleng-kaleng

  • Bagikan

Penulis: Muhammad Akbar Ali (Jurnalis Politik Kendari Pos)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Tepat 27 November 2024, masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) bakal menentukan Gubernur baru. Mungkin sebagian orang menganggap masih terlalu dini membahas Pemilihan Gubernur, mengingat saat ini ada Pemilihan Umum (Pemilu) yang sudah di depan mata. Pandangan tersebut sah-sah saja.

Namun tidak ada salahnya jika kita mulai menerka-nerka sosok yang layak atau bagaimana menemukan jalan baru memilih calon Gubernur untuk menahkodai Sultra dengan jumlah penduduk 2,7 juta jiwa ini.

Jika menelisik ke belakang, taktik yang ditempuh para calon Gubernur Sultra sejak Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung berlaku, dominan menggunakan cara-cara advertensi. Dengan kata-kata manis tersemat atau terpampang di baliho, pamflet, kalender, stiker sosok calon Gubernur, seperti kalimat bersih dan merakyat, jujur dan komitmen bersama rakyat dan kalimat sejenis yang enak dibaca publik.

Strategi tersebut dianggap sarana ampuh menunjukkan karakter figur di mata rakyat. Ada pula figur pamer gagasannya yang mencerminkan arah pembangunan ke depan jika dia terpilih menjadi Gubernur.

Metode tersebut sangat menguntungkan bagi calon Gubernur, namun tidak untuk rakyat. Dengan kata lain, rakyat butuh ide brilian para figur atas sekumpulan problematika mendasar yang mendera. Atas dasar itu, perlu sistem atau nuansa baru pada pemilihan Gubernur Sultra ke depan.

Rakyat harus tahu apa gagasan atau ide cemerlang setiap figur untuk menjawab sekelumit paradoks daerah dan rangkaiannya. Sehingga figur terpilih, menelurkan program bukan berbasis selera pribadi dan kelompoknya, tetapi benar-benar berangkat dari akar permasalahan masyarakat.

Figur yang telah ditetapkan sebagai calon Gubernur Sultra nantinya mesti diuji ide dan gagasannya, seperti apa dia akan mengarahkan kapal besar “Bumi Anoa” ini lima tahun ke depan. Kendati bukan pendukung Anies, saya tertarik dengan cara mantan Gubernur DKI Jakarta itu ketika bertemu dan berdialog tatap muka dengan ribuan masyarakat dengan nama kegiatan “Desak Anies”. Rakyat mengeluhkan intisari polemik yang sedang mereka hadapi, dan Anies menjawab dengan gagasan.

Tidak ada salahnya, jika setiap calon Gubernur Sultra ke depan menerapkan sistem tersebut dengan nama “Desak Cagub Sultra” atau istilah lain, yang intinya para figur diuji kemampuan nalarnya sejauh mana menjadi dirigen solutif atas permasalahan mendasar masyarakat baik di sektor pertanian, perikanan, pendidikan, pertambangan, kesehatan, dan lain-lain.

Secara bergiliran setiap cagub hadir berdialog dengan masyarakat di 17 Kabupaten dan Kota. Masing-masing unjuk gagasan terbaik, yang nantinya menjadi bahan pertimbangan rakyat untuk menentukan pilihan saat hari H. Anggap saja para cagub sedang ujian skripsi dihadapan rakyat sebagai penguji.

Mereka harus siap dengan segala konsekuensi, baik dikritik atau dicemooh rekam jejaknya, atau bisa jadi sebaliknya, memperoleh pujian. Intinya, cagub jangan baper apalagi emosional. Suguhan karakter emosional bagian dari penilaian fundamental masyarakat. Rakyat pasti ogah memilih pemimpin rentan tempramen.

Dengan sistem Desak Cagub Sultra akan terlihat nahkoda yang benar-benar mengerti kemana akan mengarahkan kapal besar “Bumi Anoa” ke depan. Gubernur Sultra baru bukan kaleng-kaleng.

Akan tersaji pula figur yang miskin gagasan atau ide, bisa jadi selama ini sosoknya hanya didandan sedemikian rupa agar terlihat mewah dan elegant. Padahal hanya dijadikan boneka oleh kelompoknya. Sultra butuh pemimpin dengan rekam jejak teruji yang ditunjang piawai bertutur kata.

Saat dialog, bukan hanya cagub dan masyarakat yang hadir, namun keterlibatan jurnalis sangat penting untuk merekam jalannya kegiatan sebagai memori yang sangat berguna ke depan. Nantinya, bisa dijadikan alat kontrol sosial ketika cagub terpilih tidak sejalan antara yang telah dia ucapkan ke masyarakat dengan program yang dia telurkan alias jauh panggang dari api.

Fenomena tersebut kerap terjadi, seperti kepempimpiman Ali Mazi-Lukman Abunawas ketika mencalonkan diri 2018 lalu, komitmen menuntaskan jalan rusak provinsi. Namun hingga masa jabatan mereka berakhir, tidak terealisasi. Juga tidak jauh berbeda ketika era Nur Alam-Saleh Lasata.

Jadi, memori rekam jejak digital ketika Desak Cagub Sultra sangat sentral menjadi alat kebiri sosial bagi Gubernur terpilih yang bekerja jauh dari akar permasalahan mendasar rakyat. Sehingga harapan tercipta Gubernur Sultra baru yang komitmen maksimal menuntaskan berbagai permasalahan mendasar masyarakat, bisa terwujud.(*)

  • Bagikan