MK Menolak Uji Materi Sistem Pemilu Tertutup, Pengamat : Memenuhi Harapan Rakyat

  • Bagikan
Dr.Najib Husain

Selamatkan Demokrasi dari "Kematian"

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review (JR) alias uji materi sistem pemilu. Merujuk putusan MA itu, maka sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka. Putusan MA itu dinilai telah menyelamatkan demokrasi dari dentang lonceng "kematian".

Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Alhasil, gugatan bernomor 114/PUU-XX/2022 itu gagal menjadikan pemilu sistem proporsional tertutup diberlakukan lagi. "Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Kamis (15/6), kemarin.

Dalam pertimbangannya, MK menilai Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem Pemilu yang digunakan untuk anggota legislatif.
Hakim MK lainnya, Suhartoy mengatakan sikap ini diambil MK setelah menimbang ketentuan-ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum.

"UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," ujar Suhartoy.

Terpisah, pengamat politik Sultra, Dr.Najib Husain, S.Sos.,M.Si, mengatakan, putusan MK tentang sistem Pemilu proporsional terbuka, telah sesuai dengan keinginan maupun harapan masyarakat Indonesia. "Sistem Pemilu proporsional terbuka ini adalah harapan besar seluruh kelompok rakyat. Itu artinya, MK tidak melawan arus. MK telah memenuhi harapan rakyat," ujarnya kepada Kendari Pos, Kamis (15/6).

Dr. Najib Husain menuturkan melalui keputusan itu, MK dapat dianggap lembaga yang betul-betul independen, dan keputusannya tidak bisa ditekan, atau dipengaruhi oleh pihak luar. "Keputusan MK ini juga akan membantu proses kelancaran Pemilu. Karena jika MK memutuskan sistem tertutup sesuai dengan isu yang liar di publik beberapa waktu lalu, maka sudah pasti Pemilu berpotensi chaos dan merumitkan partai politik (Parpol) sebagai peserta Pemilu, karena memengaruhi daftar caleg yang sudah disusun," kata Dr. Najib Husain.

Paling terpenting paska putusan MK tersebut, kata dia, parpol harus lebih berkualitas dalam mendampingi para caleg di Pemilu. Tidak membiarkan caleg berjuang sendiri, dan begitupun dengan partai. Karena tidak adanya pengawasan dan pendampingan yang baik oleh parpol, maka caleg berpotensi melakukan praktik-praktik politik yang mencederai konstitusi seperti money politik, black campaign, dan cara lain yang bermuara merusak tatanan demokrasi.

Dr.Najib Husain menuturkan, karena biaya pemilu dalam sistem proporsional terbuka yang terlampau mahal, maka mesti tercipta transparansi yang baik. Misalnya, alat peraga kampanye yang biayanya cukup besar harus terang benderang penggunaannya.

Termasuk sosialisasi yang dibiayai oleh penyelenggara pemilu (KPU), bisa diminimalisir dengan memberdayakan parpol. "Dengan sistem tersebut, maka penyelenggaraan Pemilu proporsional terbuka bisa lebih hemat," bebernya.

Dr. Najib Husain menjelaskan, keberadaan para caleg, tidak boleh hanya sekedar memenangkan parpol, tetapi memperbaiki proses dalam tahapan pesta demokrasi. Artinya, para caleg semaksimal mungkin menghindari saling sentimen antara satu dengan yang lain saat bertarung.

"Kita berharap caleg ketika tampil di masyarakat lebih cenderung menjual gagasan melalui program-program ke depan ketika terpilih. Itu lebih baik ketimbang saling menyinggung antara caleg satu dengan lainnya," jelas Dr.Najib Husain.

Sebelumnya, pengamat politik Sultra lainnya, Andi Awaluddin Ma’ruf,S.IP., M.Si mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka memiliki keunggulan, sebab masyarakat dapat menentukan langsung pilihannya baik di level legislatif maupun eksekutif. Dengan kata lain, tidak membeli "kucing dalam karung". “Tapi yang terjadi di Indonesia saat ini, kita seolah-olah berdemokrasi, tapi substansinya itu belum tercapai,” ujarnya kepada Kendari Pos, baru-baru ini.

Akademisi Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK)
itu menjelaskan kendati sistem pemilu terbuka punya kelemahan, seperti potensi politik uangnya masih tinggi namun semua tergantung pemilih.

"Dalam pemilu nanti masyarakat yang menentukan baik buruknya perpolitikan ke depan. Masyarakat yang menentukan siapa partisipan yang duduk di kursi parlemen. Jadi pemilih harus berpikir rasional,” imbuh Awaluddin.

Awaluddin lebih menekankan pentingnya integritas pemilih dalam menghadapi Pemilu 2024. Pemilih wajib mengutamakan rasionalitas dan integritas dalam memilih wakilnya pada Pemilu 2024.

Sementara itu, Ketua KPU Sultra, Azril mengatakan, penyelenggara dalam menyelenggarakan Pemilu merujuk pada Undang-Undang. Apapun bentuk keputusan MK, maka KPU wajib taat.

"Saat ini sudah diputuskan bahwa Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Maka KPU juga patuh melaksanakan putusan tersebut," kata Azril kepada Kendari Pos, Kamis (15/6), kemarin.

Mengenai tahapan Pemilu, kata dia, tetap berjalan normal. Karena sistem Pemilu juga tidak ada perubahan. Saat ini tahapan Pemilu 2024 sudah memasuki verifikasi berkas bakal calon legislatif (Bacaleg) DPRD provinsi, kabupaten dan kota. "In Sya Allah, hasil verifikasi berkas akan diumumkan 23 Juni 2023," tutup Azril. (ali/b)

Selamatkan Demokrasi dari "Kematian"

  • Bagikan