Nauru, Negara Kaya yang Bangkrut

  • Bagikan
Hanna

CERDAS (Cerita Edukasi dan LiteraSi)

Oleh: Hanna

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Nauru adalah kota kecil yang berada di barat daya samudera pasifik. Nauru negara kecil yang unik karena tidak memiliki ibu kota negara. Wilayah Nauru hanya terdiri dari satu pulau koral yang memiliki luas sekira 21 kilometer persegi dengan jalur pantai yang sempit tetapi relatif subur serta terdapat bukit-bukit kecil yang memiliki tinggi sampai 65 meter.

Bukit-bukit kecil inilah yang menyimpan kandungan fosfat. Saat ini telah habis ditambang. Karena persediaan air tawar yang terbatas masyarakat Nauru cenderung dan bergantung pada alat desalinasi, menampung air hujan, dan kiriman air tawar dari negara tetangga.
Nauru ditempati bangsa Mikronesia yang datang dari arah barat laut sekira 3.500 tahun yang lalu.

Bangsa Eropa pertama kali melakukan interaksi dengan pulau itu pada tahun 1798 dan menamainya sebagai Pleasant Island. Kandungan fosfat yang bernilai komersil pertama kali ditemukan di Nauru pada abad 19. The Pacific Phosphate Company mulai menambang di Nauru pada tahun 1907, saat itu status Nauru adalah sebagai daerah perwalian Jerman. Pada tahun 1914 pasukan ekspedisi Australia merebut kontrol Nauru dari tangan Jerman dan menjadi wilayah kekuasaan administrasi Australia yang saat itu berada di bawah kerajaan Inggris.

Tahun 1920, British Phosphate Corporation (BPC) mengambil alih aktivitas pertambangan fosfat di Nauru. Selepas perang dunia kedua, Nauru dikuasai Perserikatan Bangsa Bangsa dengan Australia sebagai pemegang otoritas administrasinya. Tahun 1967, Nauru mendapatkan kontrol penuh atas BPC, yang pada akhirnya manajemennya dialihkan kepada Nauru Phosphate Corporation (NPC).

Nauru menjadi negara yang merdeka setahun setelahnya dan menjadi negara independen terkecil kedua di dunia setelah Vatikan. Nauru juga menjadi negara kedua di kepulauan pasifik yang memperoleh kemerdekaannya. Pada saat merdeka, banyak yang memprediksi kalau cadangan fosfat kaya yang dimiliki Nauru dapat menjadi basis finansial untuk perkembangan jangka panjang dan hal itu juga akan mengompensasi kekurangan negara ini dari segi luas wilayah.

Kepemilikan Nauru atas tambang dan sumber daya fosfat membuatnya menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di regional pasifik dan mungkin di dunia. Meskipun Nauru tidak pernah mengeluarkan data resmi mengenai pendapatan per kapitanya, banyak yang mengestimasikan kalau pada masa puncaknya di tahun 1970-an, pendapatan per kapita negara tersebut sekira US$50.000.

Bahkan, banyak juga pihak yang menganggap kalau angka itu terlalu rendah dan Nauru memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari estimasi itu. Hal ini yang membuat pada masa itu Nauru dikenal sebagai negara republik terkecil sekaligus terkaya di dunia. Fenomena ini membuat ketimpangan yang sebenarnya terjadi Nauru akibat ketimpangan kepemilikan tanah di negara tersebut menjadi tertutupi.

Dekade 1970-an dan beberapa tahun sebelumnya menjadi saksi perubahan arah perekonomian Nauru yang berinvestasi di luar negeri. Dimulai dengan dikembangkannya Air Nauru dan Nauru Pacific Line, dan membeli gedung perkantoran seperti gedung 52 tingkat bernama Nauru House seharga U$45 juta di Melbourne dan gedung-gedung sejenis di Sydney, Saipan, dan kota-kota lainnya.

Nauru juga membangun hotel-hotel (termasuk hotel terbesar mereka di kepulauan Marshall) dan bisnis-bisnis lainnya di antara lain saham pada industri fosfat di Filipina dan India serta investasi finansial lainnya.

Nauru menjadikan Kuwait sebagai model pengembangan ekonominya dan investasinya dirancang oleh perusahaan Philip Shrapnel and Co yang berbasis di Sydney. Dua dekade setelah kemerdekaannya, Nauru berubah dari negara yang awalnya bergantung pada industri fosfat menjadi mempunyai cadangan modal yang signifikan dan memiliki keadaan finansial yang sama dengan negara produsen minyak di Timur Tengah.

Di negara ini juga tidak ada pajak. Perumahan disubsidi besar-besaran oleh pemerintah. Sayangnya, performa investasi Nauru di luar negeri tidak sebagus dan sesukses yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena korupsi, nasihat investasi yang buruk, manajemen portofolio yang buruk, dan investasi yang terlalu berorientasi kepada properti. Namun, fasilitas yang diberikan oleh Nauru kepada rakyatnya tidak berhenti selama industri fosfat yang mereka miliki masih bisa berproduksi secara normal.

Sayangnya, setiap cerita indah pasti akan berakhir. Bagi Nauru akhir cerita itu tiba pada awal dekade 2000-an. Nauru hanya sanggup mengekspor fosfat dalam jumlah yang insignifikan. Produksi yang utamanya berasal dari “recovery” pada area tambang yang lama, karena area perbukitan kecil yang menjadi tambang utama yang kandungan fosfatnya.

Awal tahun 2002, Nauru bangkrut. Tidak bisa lagi membayar hutang-hutangnya yang tiba-tiba membesar karena devaluasi dollar Australia terhadap dollar Amerika. Oleh karena ini, utang Nauru pun semakin bertambah dari hari ke hari, sehingga memaksa Nauru menjual aset-asetnya yang berada di luar negeri termasuk properti-propertinya seperti Nauru House yang terletak di kota Melbourne dan Mercure Hotel yang ada di kota Sydney.

Nauru benar-benar jatuh ke dalam krisis ekonomi yang dalam akibat industri fosfatnya tidak dapat berproduksi sebagaimana di zaman kejayaannya pada dekade 1970-an. Nauru hancur dan tidak berdaya atas segala kedaulatannya. Penyebab utama dari bangkrutnya Nauru karena, pertama ; pemerintah tidak mampu mengontrol regulasi yang trkait dengan tambang.

Kedua, keangkuhan masyarakatnya yang menomorduakan pendidikan sehingga literasi kehidupan berbasis sosial tidak diindahkan dengan baik. Selain itu, pemahaman masyarakat terkait tambang dan posfat sangat rendah. Ketiga, karena kayanya sehingga pola makannya berbasis instant menyebabkan kesehatan dan kelebihan berat badan tidak dapat diimbangi. Keempat, masyarakat tidak sadar terhadap mendakaknya mereka kaya. (*)

Nauru, Negara Kaya yang Bangkrut

  • Bagikan