Ekonomi dan Lingkungan Bukan lagi Oksimoron

  • Bagikan
LM. Syuhada Ridzky - Mahasiswa Administrasi Pembangunan, UHO

Oleh: LM. Syuhada Ridzky - Mahasiswa Administrasi Pembangunan, UHO

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- "Anyone who thinks that you can have infinite growth on a finite planet is either a madman or an economist".

Pernyataan sarkasme itu dilontarkan Jason Hickel dalam the Divide, untuk mengkritisi pandangan tradisional para ekonom dalam memaknai pertumbuhan ekonomi secara tersirat. Dalam mengejar ambisi pertumbuhan, pemerintah masih berfokus pada luaran ekonomi, meracik beragam kebijakan agar memudahkan pertemuan pembeli dan penjual, business as usual, tanpa melihat aktivitas tersebut secara makro. Model ekonomi seperti ini kemudian mengantar kita pada satu isu yang mendunia, yaitu sustainable development.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bersifat multi-dimensi. Sedangkan hal krusial dalam mengejar pertumbuhan ekonomi adalah sustainability, yang berarti perlu mempertimbangkan habitat dan daya dukung lingkungan sekitarnya.

Pada 2021, realisasi investasi di Sulawesi Tenggara mencapai Rp27 Triliun. Pada triwulan II 2022, realisasi investasi menembus angka Rp10,63 Triliun dari yang ditargetkan sebesar Rp34,73 Triliun.

Dari seluruh investasi yang masuk, sektor pertambangan memberi kontribusi besar terhadap PDRB. Seketika kampung kita menjadi "surga" investasi. Jumlah fantastis itu menunjukkan bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Otoritas banyak berbicara dan melancarkan lobi-lobi elit terkait strategi menggaet investor asing maupun dalam negeri tapi tidak satupun yang memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai enviromental ethics.

Triliunan duit itu tentu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tapi anehnya kemiskinan tidak pula terberantas. Fenomena ini menunjukan ada missing link, antara ekonomi yang tumbuh dan kemiskinan/kesejahteraan yang stagnan.

Masifnya investasi yang terserap di bidang sumber daya alam tersebut, jika tidak dibarengi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas memungkinkan ada insiden ekologi yang pastinya akan merembet pada risiko peningkatan biaya sosial dan lingkungan. Hal ini tentu akan mengakibatkan target pencapaian agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yang harus menurunkan persentase emisi karbon akan semakin kritis.

Pemerintah Sulawesi Tenggara, sebagai otoritas di daerah perlu melakukan terobosan fundamental dalam menjalankan agenda pembangunannya. Salah satunya adalah dengan bertransisi menuju aktivitas ekonomi rendah karbon (circular economy), yang dapat diawali dengan perubahan paradigma dalam memaknai pertumbuhan ekonomi.

Solusi yang banyak didiskusikan adalah kebijakan transisi ke energi lebih bersih dan berkelanjutan. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh parameter seperti GDP atau Produk Domestik Regional Bruto dalam konteks daerah masih menjadi tolok ukur utama bagi kemajuan. Ironisnya dengan tetap mempertahankan instrumen tersebut, secara bersamaan pemerintah juga mendorong program-program green economy. Ini paradoks, mengingat perhitungan PDRB mengesampingkan indikator sosial dan lingkungan.

Gagasan sustainable economy ada sejak tahun 1990-an. Dalam upaya pencapaian target pembangunan, ekonomi dan ekosistem saling terkait secara intrinsik. Layanan ekosistem, seperti penyediaan air bersih, udara bersih, dan penyediaan pangan, memiliki nilai ekonomi yang signifikan, tetapi sering kali diabaikan dalam perhitungan ekonomi tradisional seperti PDRB, (Costanza, R., dkk. 1997).

Costanza (1997) berpendapat bahwa untuk mencapai ekonomi berkelanjutan, kita harus memperhitungkan nilai ekonomi dari layanan ekosistem dan mengembangkan sistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan keseimbangan lingkungan.

Dalam perspektif Malthus, sumber daya alam yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial. Produksi dari sumber daya alam akan mengalami apa yang disebut sebagai diminishing return di mana output perkapita akan mengalami kecenderungan yang menurun sepanjang waktu. Lebih jauh lagi perspektif Malthus melihat bahwa ketika proses diminishing return ini terjadi, standar hidup juga akan menurun sampai ke tingkat subsisten yang pada gilirannya akan memengaruhi reproduksi manusia.

//Mengganti GDP (PDRB) dengan Genuine Progress Indicator (GPI)

Para ekonom di Sulawesi Tenggara, politisi bahkan otoritas sendiri masih fokus dengan agenda untuk meningkatkan persentase pertumbuhan PDRB. Secara tidak langsung, meningkatkan PDRB berarti juga terus menggenjot produksi dan konsumsi. Konsep ini secara kolektif menjadi mindset dan secara hegemonik menjadi pembenaran dalam mengeksploitasi sumber daya alam.

Melakukan aktivitas ekonomi yang mengarah pada deforestasi tentu akan berimbas pada peningkatan produksi lapangan usaha sektor kehutanan, kemudian angka PDRB pun terungkit. Membelah gunung dan perbukitan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara untuk ditambang tentu menyebabkan persentase PDRB akan meningkat drastis. Aktivitas produksi semacam itu tentu meninggalkan residu yang nilanya tidak ter-cover dalam penghitungan PDRB. PDRB tidak menghitung berapa nilai kerugian akibat kehilangan kawasan hutan yang menjadi carbon sink.

Ada dua tugas utama dari GPI. Pertama, dalam meredefinisi "konsumsi", GPI mengacu pada penggunaan dan pemakaian barang dan jasa oleh individu, rumah tangga, atau pemerintah. Konsumsi ini bukan hanya mengacu pada belanja barang dan jasa yang dihitung dalam neraca nasional, tetapi juga mencakup berbagai faktor lain yang berdampak pada kesejahteraan. Sehingga mampu menggabungkan faktor-faktor yang tidak selalu terlihat dalam transaksi pasar, seperti dampak lingkungan, kualitas hidup, distribusi pendapatan, dan aspek-aspek lain yang relevan dengan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Kedua, untuk mengkalkulasi keberlanjutan dalam konsumsi dengan memasukan unsur-unsur yang dapat memberi dampak terhadap perubahan nilai modal atau sumber daya.

Mempertimbangkan barang dan jasa yang tidak diperdagangkan dalam definisi konsumsi memiliki signifikansi penting, karena pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diukur mungkin tidak merefleksikan lebih dari sekadar peralihan aktivitas dari sektor nonpasar ke sektor pasar.

Ini menjadi terang ketika merujuk pada hal-hal domestik, seperti pekerjaan rumah tangga, dan prinsip ini berlaku sama terhadap layanan "gratis" lainnya. Contoh yang relevan adalah PDRB dapat menunjukkan penurunan "jika seorang pria menikah dengan pengurus rumah tangganya," sementara PDRB bisa meningkat jika ada biaya masuk untuk mengakses taman nasional (rekreasi) atau keputusan keluarga untuk makan di luar lebih sering.

Model pertumbuhan eksponensial dari PDRB (GDP) justru menjadi penyebab utama dari munculnya krisis ekonomi itu sendiri. Oleh sebab itu dari titik inilah seharusnya pendekatan dalam memandang pertumbuhan secara holistik perlu diubah guna memberi andil dalam aktivitas green economy. Sebab perhitungan PDRB (GDP) tidak lagi merefleksikan realitas sesungguhnya dari masyarakat, maka langkah krusial selanjutnya adalah menyingkirkan PDRB dan menggantinya dengan GPI.

Basis metodologis GPI ialah memasukan satu pengukuran yang memberikan konsep baru terhadap capaian ukuran kesejahteraan. GPI memasukkan unsur yang menyebabkan perubahan pada lingkungan, kondisi sosial, perputaran uang hingga ketersediaan modal. GPI menambahkan indikator positif seperti pekerjaan rumah tangga dan kerja-kerja volunteerism. Kemudian memasukan indikator negatif berupa polusi, kehilangan sumber daya, kriminal dan kesetaraan, dll.

GPI akan bermuara pada terciptanya green job dan percepatan transisi renewable energy. GPI akan memaksa pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan dalam sektor-sektor yang dapat menghasilkan barang/jasa yang bermanfaat bagi lingkungan. Pengukuran GPI akan mengubah pola pikir dalam konstruksi hijau, mempromosikan sektor bisnis yang kompatibel dengan prinsip sustainability, serta menciptakan UMKM berkelanjutan sebagai trigger munculnya green job.

GPI dan green job semakin relevan dalam proses percepatan transisi energi dan membuka peluang kerja berbasis green economy yang signifikan. Berdasarkan data dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Katadata, transisi energi justru akan membuka lapangan pekerjaan baru dan menghindari risiko pengangguran massal. Sebagai contoh, di sektor batubara membutuhkan 1 pekerjaan ditiap megawatt yang dibangun, sedangkan transisi ke energi semisal panel surya membutuhkan setidaknya 10 pekerjaan per megawatt.

Memanfaatkan GPI sebagai standar pengukuran pertumbuhan menjadikan hubungan lingkungan dan ekonomi bukan lagi semacam oksimoron yang sifatnya trade off. Pemerintah akan lebih arif dalam mengambil kebijakan yang berorientasi pada keberlangsungan lingkungan.

Pengaplikasian GPI sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh Secretary-General of the United Nations, Ban Ki-moon, "We need to move beyond gross domestic product as our main measure of progress, and fashion a sustainable development index that puts people first".

*Tulisan ini diikutsertakan dalam event Forkestra 2023

Forkestra di Setiap Makna Indonesia

  • Bagikan