Literasi Pertanian Melalui urban Farming

  • Bagikan
Hj. Arniaty DK, SP., M.Si
Hj. Arniaty DK, SP., M.Si

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Oleh: Hj. Arniaty DK, SP., M.Si :Urban Farming (Pertanian Kota) bisa menjadi pengurai dalam penyediaan pangan, menggerakan masyarakat kota dalam berkegiatan memanfaatkan lahan sempit dengan cara memanfaatkan media hidroponik, vertikultur, dan memanfaatkan rooftop. Harapannya Urban Farming bisa mengurangi ancaman krisis pangan. Mengingat ancaman krisis pangan dalam neegri dan secara global terus meningkat. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2050 ada sekitar 9,3 miliar orang penduduk bumi.

Artinya permintaan pangan akan meningkat drastis sementara jumlah sumber daya lahan dan sumber daya manusia yang bekerja di sektor pertanian semakin menyusut. Sistem Urban Farming sangat ramah lingkungan, ekonomis, dan dapat membuka peluang usaha untuk menambah pendapatan keluarga. Bahkan bisa meningkatkan kualitas udara perkotaan, termasuk menyediakan ruang terbuka hijau serta memancing ekopariwisata. Keragaman tanaman yang ditanam di sebuah kawasan di perkotaan akan menarik masyarakat dalam maupun luar kota untuk berrekreasi.

Aktivitas Urban Farming di Indonesia belum begitu digemari atau familiar. Padahal perkembangan Urban Farming dibanyak negara sangat maju. Di Kanada atau Inggris, mereka berhasil mengintroduksi Urban Farming ke dalam peraturan dan perencanaan ruang kotanya. Kebijakan ini bermula dari krisis ekonomi di dua negara industri jasa tersebut yang membuat warganya kesulitan pangan. Indonesia harus mulai secara serius memaksimalkan Urban Farming sebagai salah satu pengungkit penyediaan pangan dan ekonomi berbasis keluarga. Dibutuhkan edukasi yang salah satunya malalui penyuluhan “Literasi Urban Farming” di tingkat RT RW Kelurahan berbasis “Food Oriented Development” yaitu suatu konsep pembangunan yang menjadikan kota sebagai penyedia pangan warganya secara berkelanjutan.

Melalui literasi pertanian (TERASAS TANI) yang digagas oleh Dinas Perpustakaan dan kearsipan kota kendari dalam program transformasi perpustakan berbasis inklusi social (TPBISIS) atau komunitas literasi untuk dapat melakukan sosialisasi dan akses informasi agar terjalin sinergitas. Untuk yang terakhir ini, pemerintah kota melalui dinas terkait harus pro aktif.

Penerapa Urban Farming pada setiap kota di Indonesia tentu mimiliki tantangan tersendiri. Mulai dari lahan kota yang terbatas hingga karateristik warganya. Tetapi peluang itu tetap terbuka dengan skala (luas) yang berbeda-beda. Tantangan terberat sebenarnya datang dari kesadaran warga yang belum kuat perihal isu ketahanan pangan sehingga memulai pun masih dianggap sulit. Kalaupun ada masih sebatas komunitas sosial, belum menjadi gerakan masal. Bahkan dalam banyak kejadian, isu ini belum menjadi perhatian dari para pemangku kebijakan di pemerintahan kota.

Literasi ialah kedalaman pengetahuan seseorang. Secara teoritis, literasi memiliki empat tingkatan, kemampuan mengumpulkan sumber bacaan, kemampuan memahami apa yang tersirat dan tersurat, kemampuan mengemukakan ide dan gagasan, dan kemampuan menciptakan barang dan jasa yang bermutu. Dalam konteks literasi Urban Farming outputnya jelas menghasilkan barang dan jasa. Tetapi untuk sampai pada hasil, pasti ada proses dan ini memerlukan pengetahuan. Inilah peran yang harus dilakukan Dinas Perpustakaan, dan bisa saja berkolaborasi dengan Dinas teknis terkait guna memberikan pemahaman yang utuh mulai hulu sampai hilir. Dari hal yang sifatnya kebijakan sampai teknikal praktis.

Dengan tingkat literasi khususnya Urban Farming maka kesejahteraan akan lebih mudah. Medianya bisa perpustakaan (fisik) tetapi bisa juga mentransformasi konten-konten Urban Farming dengan memanfaatkan media sosial untuk memberikan efek langsung bagi masyarakat.

Titik tolaknya berangkat dari prinsip dasar model pertanian perkotaan seperti hemat lahan, estetika proses produksi yang bersih dan ramah lingkungan komoditas bernilai ekonomi dan berdaya saing; dan dukungan inovasi teknologi maju.

Semua prinsip ini harus disampaikan secara naratif dan lebih baik lagi jika diikuti dengan praktik langsung. Pilihan media tanam Urban Farming tentu didasarkan pada pemanfaatan ruang yaitu tanmpa pekarangan seperti vertikultur, tanaman gantung, pot atau polybag. Hal yang sama berlaku untuk pekarangan sempit. Untuk pekarangan sedang bisa dilakukan dengan motode tanam vertikultur, pot, polibag, tanaman gantung, tanam langsung, kolam ikan misalnya lele. Adapun pekarangan luas bisa lebih leluasa memilih metode seperti vertikultur, pot, polibag, tanaman gantung, tanam langsung, kolam ikan lele, ternak (unggas dll).

Selanjutnya pembuatan kebun-kebun komunitas (dikelola kelompok dengan menggunakan fasilitas umum atau sosial yang lahannya belum dikelola (bisa milik pemerintah, bisa swasta, halaman sekolah, pinggir jalan, dan sebagainya. Bisa pula pembuatan kebun atap (dapat memanfaatkan daur ulang limbah air), namun perlu memperhatikan kekuatan konstruksinya.

Agar tidak menganggu tata ruang kota, maka sejak dini dalam pembelajaran bersama harus disampaikan bahwa persyaratan dalam praktik pertanian perkotaan haruslah sesuai tata ruang kota dan tata ruang wilayah, tidak merusak keindahan kota tidak menimbulkan masalah sosial akibat penggunaan lahan tidak menggunakan input kimiawi berlebihan dan tidak menerapkan cara budi daya yang mendorong terjadinya erosi dan degradasi lingkungan. (***)

  • Bagikan