DPR RI Sahkan RUU Kesehatan Jadi Undang-Undang

  • Bagikan
Ilustrasi RUU Kesehatan
Ilustrasi RUU Kesehatan

--Fraksi PKS dan Demokrat Menolak Keras


KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dalam Rapat Paripurna ke-29 pada masa persidangan V tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7). Rapat paripurna itu dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.

Sebelum resmi disahkan, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan, Melkiades Laka Lena menjelaskan hadirnya RUU Kesehatan. Ia menyebut, RUU Kesehatan telah masuk dalam program legislasi nasional atau Prolegnas Prioritas 2023.

Dalam prosesnya, DPR RI telah melaksanakan rapat dengan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. "Panja mulai dibentuk sejak 4 April 2023. Panja juga telah melakukan izin rapat pada masa reses, baik di dalam gedung maupun di luar DPR RI dan telah disetujui pimpinan DPR RI," kata Melki.

Melki juga memastikan, pihaknya telah menerima masukan dari seluruh pemangku kepentingan dalam merumuskan RUU Kesehatan ini. Akhirnya 19 Juni melakukan rapat kerja dengan pemerintah untuk pengambilan keputusan.

"Enam fraksi, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP menyetujui. Satu fraksi, yaitu Nasdem menyetujui RUU Kesehatan dengan catatan. Lalu, dua fraksi, yaitu PKS dan Demokrat menolak," ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas menyebut, pengesahan RUU Kesehatan menuai penolakan dari berbagai pihak. “Hari ini tanggal 11 Juli tahun 2023, telah melakukan rapat paripurna. Saya sedang berbicara dengan tenaga ahli untuk menyampaikan beberapa pandangan terkait dengan agenda tersebut,” kata Ibas kepada wartawan, Selasa (11/7), kemarin.

Ibas meminta DPR dan Pemerintah menyelesaikan sejumlah isu yang diwadahi di RUU Kesehatan tersebut. Ia menegaskan, penolakan Partai Demokrat tidak ada kaitannya dengan silang pendapat antara Pemerintah dan IDI.

“Materi penolakan Partai Demokrat terhadap RUU, sama sekali tidak terkait dengan silang pendapat antara Pemerintah dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan berbagai profesi di sektor kesehatan, itu poinnya,” terang Ibas.

Poin pertama yang disarankan, terkait mandatory spending alokasi anggaran bidang kesehatan dan liberalisasi dokter dan tenaga medis. Seharusnya, negara tetap hadir memiliki mandatory spending, yaitu kewajiban negara dan pemerintah sebetulnya untuk mengalokasikan sejumlah anggaran untuk sektor kesehatan. “Bukankah kita peduli dan ingin mendukung kemajuan bidang kesehatan? Bukankah kita ingin kesehatan di negeri kita semakin baik, maju, dan berkelas?” tegas Ibas.

Ibas juga menyampaikan, Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebetulnya telah mengalokasikan mandatory spending kesehatan sebesar 5 persen.

“Demokrat berpandangan, anggaran pendidikan saja bisa memiliki mandatory spending sebanyak 20 persen ya karena kita tau, angka dari kemajuan sumber daya manusia kita itu salah satunya, ya pendidikan. Maka kalau kita bicara usulan Demokrat, minimal tetap dipertahankan 5% itu sesungguhnya menunjukkan keberpihakan negara kepada kesehatan manusia dan masyarakat Indonesia,” jelas Ibas.

Wakil Ketua Banggar ini juga menyampaikan, masyarakat Indonesia sebagai salah satu pilar utama dalam Human Development Index, yang mana kalau dipelajari lebih lanjut dan didalami, sebetulnya segaris dengan SDGs (Sustainable Development Goals) yang dulu Pemerintahan SBY juga ikut menjadi bagian dalam menyusunnya.

“Jadi clear di situ bahwa Fraksi Partai Demokrat menginginkan mandatory spending 5 persen untuk bidang kesehatan kita tetap berjalan bahkan kalau perlu ditingkatkan,” pungkas Ibas. (jpg)

  • Bagikan