Oleh Hendra Irawan ( Kepala Unit Pengelolaan Uang Rupiah di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Tenggara)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID ---YOLO, FOMO dan FOPO – tiga fenomena hedonis tren keuangan ini sedang mewabah di kalangan milenial dan gen Z di Indonesia. Banyak orang memaksakan diri jalan-jalan, nonton konser atau belanja barang yang tidak penting meski kondisi finansial sedang terjepit. Mengapa? Karena semua demi gaya hidup dan takut ketinggalan tren padahal bisa berdampak buruk pada kesehatan keuangan pribadi anda.
YOLO merupakan singkatan dari You Only Live Once, sehingga seseorang harus menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dan membuat keputusan yang berani, spontan, atau mengejar pengalaman unik. Prinsip ini mendorong orang untuk mengambil risiko atau mengejar pengalaman tanpa khawatir akan konsekuensi jangka panjang. YOLO bisa memiliki efek positif dan negatif. Di satu sisi, YOLO dapat meningkatkan keberanian untuk mengambil peluang yang jarang terjadi. Namun, YOLO yang berlebihan bisa memicu perilaku impulsif, seperti konsumsi berlebihan walaupun tabungan mepet, yang tentunya dapat berdampak negatif pada keuangan pribadi.
FOMO yang merupakan singkatan dari Fear of Missing Out adalah ketakutan atau kecemasan seseorang akan ketinggalan informasi, pengalaman, atau kesempatan yang dianggap menyenangkan atau penting. Ini muncul ketika seseorang merasa bahwa orang lain sedang menikmati hal-hal yang lebih baik atau lebih menarik daripada dirinya. FOMO sangat dipicu oleh media sosial, di mana individu melihat update status, foto, atau video dari orang lain yang tampaknya menjalani kehidupan lebih baik. Dampak negatifnya bisa mendorong pembelian impulsif karena ingin memiliki apa yang orang lain miliki, ikut ikutan beli barang hanya keinginan karena tidak mau ketinggalan yang lagi hits.
FOPO merupakan singkatan dari Fear of Other People’s Opinions yakni ketakutan atau kecemasan akan penilaian dan pendapat orang lain. Ketakutan ini muncul ketika seseorang lebih peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya daripada bagaimana ia memandang dirinya sendiri. FOPO ini bikin orang belanja karena takut dipandang sebelah mata, bukan karena kebutuhan.
Setelah menyimak penjelasan diatas, tentunya kita semakin memahami bahwa ketiga tren ini bikin konsumsi gaya hidup tetap tinggi, walau kondisi ekonomi tertekan. Tidak ada seorangpun yang bisa memprediksi masa depan. Krisis moneter 1998, Krisis Ekonomi 2008 dan pandemic Covid-19 bukan tidak mungkin akan terulang kembali. Untuk itu diperlukan dana yang disisihkan dan dipersiapkan khusus untuk kondisi mendesak yang dikenal dengan dana darurat. Namun, menurut data dari lifePal pada 2021 ada 9,3% dari total keseluruhan penduduk Indonesia yang memiliki dana darurat. Penelitian menunjukkan bahwa banyak anak muda enggan berinvestasi lebih awal, dan sebagai hasilnya, mereka menjadi korban utang yang tidak perlu, termasuk pinjaman online (pinjol) ilegal.
Lalu, sebagai generasi muda penerus bangsa, apa yang sebaiknya harus kita lakukan untuk memerangi 3 fenomena tren keuangan ini?
Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Tahun 2024, Indeks Literasi Keuangan Penduduk Indonesia sebesar 65,4% sementara Indeks Inklusi Keuangan sebesar 75,02%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu harus dapat terus belajar dan meningkatkan pemahaman mengenai Literasi Keuangan dan mengelola uang Rupiah. Salah satunya dengan program edukasi dari Bank Indonesia yakni Cinta Bangga Paham Rupiah.
Cinta Rupiah dengan 3M yakni Mengenali, Merawat dan Menjaga. Cinta Rupiah merupakan perwujudan dari kemampuan Masyarakat untuk mengenal karakteristik dan desain Rupiah, memperlakukan Rupiah secara tepat, menjaga dirinya dari kejahatan uang palsu. Mencintai Rupiah dengan tidak berperilaku konsumtif serta menghindari sikap seperti FOMO dan FOPO.
Bangga Rupiah dengan 3S yakni Sah, Simbol dan Satu. Bangga Rupiah merupakan perwujudan dari kemampuan Masyarakat memahami rupiah sebagai alat pembayaran yang SAH, simbol kedaulatan NKRI, dan alat pemersatu bangsa. Bangga menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi dan tidak tergoda untuk pamer menggunakan mata uang asing menghindari sikap FOMO.
Paham Rupiah dengan 3B yakni Bertransaksi, Berbelanja dan Berhemat. Paham Rupiah merupakan perwujudan kemampuan Masyarakat memahami peran Rupiah dalam peredaran uang, stabilitas ekonomi, dan fungsinya sebagai alat penyimpan nilai kemampuan. Paham Rupiah merupakan senjata utama dan poin penting untuk memerangi YOLO, FOMO, FOPO.
B yang pertama : Bertransaksi, kita harus paham makna uang dan fungsi uang. Sebagai generasi muda kita juga harus cerdas kapan harus bertransaksi dengan uang tunai, kapan bertransaksi dengan non tunai. Transaksi non tunai atau cashless adalah sistem pembayaran tanpa menggunakan uang tunai fisik, melainkan melalui metode elektronik seperti kartu debit, kartu kredit maupun dompet digital yang tentunya akan membuka jalan menuju kemudahan, kecepatan dan inovasi dalam pengelolaan uang sehari-hari. Sejak diluncurkannya Quick Response Code Indonesian Standard atau biasa disingkat QRIS (dibaca KRIS) yang merupakan penyatuan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), transaksi non tunai di Indonesia mengalami lonjakan yang sangat signifikan. Volume transaksi QRIS tumbuh sebesar 226,54% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, dengan jumlah pengguna mencapai 50,5 juta orang dan jumlah merchant sebanyak 32,71 juta. Tidak hanya skala nasional, di Sulawesi Tenggara berdasarkan data dari Bank Indonesia hingga Agustus 2024, jumlah pengguna QRIS di Sultra mencapai 205.305 orang, meningkat 60,82% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yang hanya mencatat 155.640 pengguna. Pada periode yang sama, jumlah transaksi QRIS tercatat mencapai 7.579.592 transaksi. Lebih kerennya lagi, QRIS juga semakin diperluas secara internasional melalui program QRIS Cross-Border, yang memungkinkan penggunaannya di negara-negara mitra seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan yang terbaru Uni Emirat Arab (UEA). Kerja sama ini diharapkan terus berkembang dengan negara-negara lain seperti India, Korea Selatan, dan Jepang.
B yang kedua : Berbelanja, kita harus paham peran Rupiah dalam perekonomian, bagaimana konsep inflasi dan nilai tukar. Tingkat inflasi pada angka yang wajar dan stabil sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan nilai mata uang dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Namun inflasi yang tinggi atau bahkan hiperinflasi dapat menyebabkan penurunan nilai uang yang dapat berdampak negatif. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan inflasi adalah dengan menjadi konsumen yang bijak dalam berbelanja, antara lain dengan menghindari perilaku konsumtif berlebihan dan mengurangi pembelian produk-produk impor serta beralih kepada produk-produk dalam negeri. Selain itu, membiasakan diri menyusun perencanaan keuangan ketika akan berbelanja juga penting dan akan berdampak pada stabilitas inflasi.
B yang ketiga : Berhemat, kita harus memahami makna Rupiah sebagai penyimpan nilai dan berinvestasi untuk masa depan. Berbeda dengan tabungan, investasi adalah segala macam usaha yang dilakukan seseorang untuk menambah nilai aset yang telah dimilikinya. Sedangkan tabungan lebih pada proses menyimpan atau menyisihkan sebagian hasil pendapatan untuk kepentingan di masa mendatang, walaupun pada prakteknya menabung juga bisa meningkatkan nilai aset (uang) dalam bentuk tambahan bunga. Ada 5 (lima) tahap perencanaan keuangan yang baik : (1) Evaluasi kondisi keuangan saat ini ; (2) Susun tujuan keuangan yang ingin dicapai, baik jangka pendek maupun jangka panjang ; (3) Susun perencanaan keuangan dan alternatifnya ; (4) Laksanakan perencanaan keuangan dengan disiplin dan (5) Review dan sempurnakan rencana keuangan secara periodik untuk menyesuaikan kondisi keuangan terkini.
Semoga dengan pemahaman senjata Cinta Bangga Paham Rupiah yang kuat, kita sebagai generasi muda penerus bangsa dapat mengelola keuangan dengan lebih efektif, meraih tujuan finansial dan menghadapi masa depan yang percaya diri.