Argumentasi perang penyebab runtuhnya peradaban juga jelas-jelas dilenjangi dalam buku Collapse. Buku yang ditulis Jared Diamond, menyebut perang bukan penyebab runtuhnya peradaban, tapi bencana alam, konflik sosial, politik dan paling dipengaruhi perubahan iklim. Jared kemukakan bagaimana runtuhnya peradaban Vikking yang mendiami Nors Greenland. Juga peradaban Montana, daerah idaman bagi manusia urban. Montana adalah surga yang diduplikasikan ke dunia: berada di lembah yang luas dengan hamparan rerumputan hijau dan latar gunung beratap salju.
Namun peradaban itu runtuh akibat mikrokosmos masalah-masalah lingkungan yang terjadi di bagian lain Amerika Serikat. Meningkatnya populasi, imigrasi, buruknya kualitas air, kualitas udara yang buruk secara lokal mupun musiman, limbah beracun (akibat tambang), meningkatnya risiko kebakaran liar, kehancuran hutan, hilangnya tanah atau zat haranya, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan akibat spesies hama hasil introduksi, dan efek-efek perubahan iklim. Kerusakan lingkungan sejatinya penyebab runtuhnya peradaban.
Dunia internasional baru-baru ini dibuat panik akibat panas yang melebihi 40 derajat celcius. Orang di India bahkan meregang nyawa akibat panas yang sangat menyengat dan tubuh manusia baru merasakannya serta beradaptasi. Tentu suhu bumi yang kian memanas, akibat perubahan iklim yang disebabkan hutan di beberapa negara yang dianggap sebagai paru-paru dunia sudah dicekoki industri pertambangan. Pohon-pohon di tebang demi mengeruk kekayaan yang terkandung di perut bumi.
Menurut Mahesh Palawat, wakil presiden meteorologi dan perubahan iklim di Skymet Weather Services perubahan iklim disebut sebagai salah satu penyebab dari gelombang panas di India dan juga beberapa negara ASIA. Hal serupa diungkapkan D. S. Pai, Direktur Institut Studi Perubahan Iklim di Kottayam, India. Ia berpendapat sebab lain perubahan suhu ekstrem di India adalah kondisi cuaca lokal dan faktor lain seperti peningkatan betonisasi, penggundulan hutan, dan perubahan penggunaan lahan.
Menurut studi dari University of Cambridge, perubahan iklim yang terjadi meningkatkan kemungkinan terjadinya gelombang panas. Proyeksi jangka panjang mengindikasikan bahwa gelombang panas dapat melampaui batas kemampuan bertahan hidup bagi manusia sehat yang berteduh pada 2050. Selain kesehatan manusia, gelombang panas juga dapat menyebabkan padamnya listrik, meningkatkan polusi udara dan debu.
Saat panas bumi yang meningkat belum lama ini, beberapa negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara tengah mengalami gelombang panas yang mematikan pada April 2023. Rekor suhu panas tertinggi yang dialami sebagian besar negara dalam beberapa dekade terakhir.
Myanmar menjadi negara dengan suhu paling tinggi, yakni 45 derajat celsius. Diikuti Thailand dan India dengan suhu 44,6 dan 44,5 derajat celsius. Sementara itu, Laos dan Vietnam memiliki suhu 42,4 derajat celcius. Sedangkan China 41,9 derajat celsius. Sedikit melandai, Filipina suhunya 37 derajat celsius dan Singapura 36,7 derajat celsius. Indonesia menempati posisi ke-11 dengan suhu rata-rata 33 derajat celsius.