Indonesia Mini Bernama Konawe Selatan

  • Bagikan
H.M. Radhan Algindo Nur Alam

Oleh : H. M. Radhan Algindo Nur Alam - Kader Partai NasDem Sulawesi Tenggara

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Tidak salah jika khalayak menyebut Konawe Selatan adalah Indonesia mini. Hampir seluruh suku dari berbagai belahan negeri Indonesia mendiami dan hidup rukun berdampingan di Konawe Selatan. Kemajemukan dan kebhinnekaan antarsuku ini menjadi modal penting bagi masyarakat sebagai alat menjalin persatuan dan kesatuan serta membangun Konawe Selatan.

Konawe Selatan memiliki keberagaman. Perbedaan suku, ras, etnik, agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat di dalamnya sesungguhnya merupakan aset yang tidak ternilai harganya. Selain beragam suku yang mendiami Konawe Selatan, kemajemukan dan perbedaan penganut agama juga menjadi “kekuatan” bagi pembangunan Konawe Selatan di segala bidang. Ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.

Keberagaman suku dan agama diimbangi dengan tetap menjaganya kesatuan dan persatuan seluruh lapisan masyarakat. Kerja sama antara warga dengan latar belakang yang berbeda akan menjadi pelopor untuk membangun kerjasama yang baik dengan seluruh elemen. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Konawe Selatan merilis data, jumlah penduduk Konawe Selatan tahun 2021 sebanyak 312.674 jiwa yang terdiri atas 160.461 laki-laki dan 152.213 perempuan.

Data tersebut saya akses dari laman https://konselkab.bps.go.id/indicator/12/206/1/jumlah-penduduk-menurut-kecamatan-dan-jenis-kelamin-di-kabupaten- konawe-selatan.html pada Selasa, 1 November 2022 pukul 14.51 Waktu Indonesia bagian Tengah. Sementara dari laman yang sama, data pemeluk agama di Konawe Selatan terbatas hingga tahun 2016 saja. Diketahui pemeluk agama Islam di Konawe Selatan pada tahun 2016 berjumlah 278.638 jiwa, Kristen 3.994 jiwa, Katolik 1.512 jiwa, Hindu 15.585 jiwa dan Budha 199 jiwa.

Dari data tersebut diketahui jika pemeluk agama Islam di Konawe Selatan menjadi mayoritas hingga 93 persen dari total penduduk. Meski demikian, kemayoritasan tersebut tidak membuat terjadinya kesewenangan hingga muncul gesekan di antara penganut agama lain. Kita harus bisa menerima perbedaan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan. Perbedaan bukan sebuah sumber konflik, melainkan menjadi kekuatan untuk membangun kehidupan yang harmonis, damai, dan penuh toleransi. Beragam cara menjaga dan merawat perbedaan yang ada.

Salah satu cara adalah dengan menjunjung tinggi dan mengaplikasikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Semboyan yang kali pertama diungkap oleh Mpu Tantular dalam kitab Kakawin Sutasoma ini merupakan dasar unuk mewujudkan persatuan dan kesatuan negara indonesia, termasuk di Konawe Selatan yang memiliki masyarakat beragam.

Hal lain yang harus ditempuh untuk merawat kebhinnekaan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat menggunakan hak konstitusi dalam berkumpul maupun berserikat, dan juga mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan dasar agama sebagai landasan kehidupan dalam bersosialisasi yang juga menegaskan bahwa Tuhan menjadi tujuan hidup mereka seperti yang tertera dalam agama yang di anut setiap individu masyarakat. Kita harus mengakui bahwa pengamalan semboyan Bhinneka Tunggal Ika perlu dilakukan dengan cara baru yang lebih tepat diterapkan dengan kehidupan zaman now. Beruntung, pagelaran budaya masyarakat di Konawe Selatan masih terjaga.

Di beberapa kecamatan masih sering digelar festival-festival budaya yang menampilkan kebudayaan daerah asal masing-masing. Di Kecamatan Benua misalnya, masyarakat dari berbagai suku yang bermukim di sana beberapa kali berkolaborasi menampilkan atraksi budaya dalam acara Festival Benua Lulo Ngganda. Pagelaran festival ini diinisiasi oleh pemerintah dan tokoh masyarakat setempat yang bertujuan menghidupkan kembali budaya yang mulai pudar seiring modernisasi. Lulo Ngganda merupakan sebuah ritual tahunan masyarakat Suku Tolaki sebagai bentuk rasa syukur atas panen dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tahun berikutnya bisa diberikan hasil panen yang lebih baik dan lebih banyak lagi. Hal sama juga terjadi di Kecamatan Ranomeeto.

Kerukunan Masyarakat Indonesia Maluku (KMIM) yang berada di Sulawesi Tenggara menyelenggarakan kegiatan adat dan budaya Maluku untuk memperingati hari perlawanan Kapitan Pattimura melawan penjajah. Beragam pagelaran budaya dan pertunjukan kesenian Maluku ditampilkan oleh warga keturunan Maluku yang sudah berdomisili di Konawe Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Banyak festival serupa di kecamatan-kecamayan lain di Konawe Selatan, terutama upacara adat masyarakat Bali (Hindu) yang merupakan pemeluk agama terbesar kedua di Konawe Selatan setelah Islam. Generasi muda dan seluruh masyarakat Konawe Selatan harus termotivasi untuk terus bersatu, berjuang dan maju serta berdaya saing demi kemajuan Konawe Selatan tercinta Kegiatan-kegiatan ini membuat masyarakat kembali disadarkan akan beragamnya kebudayaan daerah di Indonesia yang perlu dilestarikan dan begitu berharganya kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Perayaan tersebut bertujuan untuk membangun keakraban dan kebersamaan di tengah-tengah perbedaan antar masyarakat Konawe Selatan. Dengan demikian menjaga, memaknai, menyebarkan dan mengamalkan Bhineka Tunggal Ika adalah kewajiban kita semua agar kedamaian dan kerukunan bisa betul-betul terwujud di bumi Konawe Selatan. Pemerintah wajib memupuk dan membangun kerjasama dengan majelis ulama, pemuka agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, organisasi kemasyarakatan, dan sebagainya sebagai sarana membangun persamaan, kebersamaan dan komunikasi yang baik antarwarga Konawe Selatan. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version