Putusan MK justru menguatkan Putusan Mahkamah Agung No. 57 P/HUM/2022 yang menyatakan bahwa pertambangan di pulau kecil masuk ke dalam kategori abnormally dangerous activity (aktivitas berbahaya yang tidak normal) karena bisa memicu bahaya tingkat tinggi untuk manusia dan lingkungan hidup, sehingga dapat menimbulkan terjadinya bahaya besar. Terlebih dengan adanya ketidaksesuaian antara sifat kegiatan dengan kondisi lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan pertambangan.
“Kalau pun mau mengikuti logika GKP, boleh menambang asalkan memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf k bahwa secara ekologi, sosial, budaya tidak merugikan masyarakat, tidak merugikan lingkungan dan seterusnya. Untuk konteks pulau Wawonii, sebenarnya persyaratan yang digariskan dalam Pasal 35 huruf k itu sudah terjadi terutama dari sisi lingkungan dan sosial budaya karena sudah merugikan masyarakat. Di sana sudah terjadi konflik. Antara ayah dan anak tidak saling bicara, ayah tidak mengakui anaknya lagi, terjadi perceraian di sana. Sumber mata air menurut pengakuan warga di sana juga rusak, tecemar,” kata Harimuddin.
Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Muhammad Jamil menegaskan bahwa aktivitas PT GKP di Pulau Wawonii adalah pelanggaran hukum.
“Sulit untuk mengatakan itu bukan pelanggaran hukum. Pertama, melanggar peraturan tentang tata ruang. Sejak Januari 2023, berdasarkan peraturan tata ruang, seharusnya Wawonii zero tambang,” kata Jamil, Jumat (5/4/2024).