--Sumber Air Tercemar, Mata Pencaharian Terdampak
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Apakah pembangunan harus selalu mengorbankan kehidupan orang kecil? Benarkah uang lebih bernilai dari segalanya termasuk kehidupan itu sendiri? Berbagai pertanyaan berputar di kepala Mutmaina tanpa jawaban.
Sementara, kekhawatiran akan masa depan desanya, yang terancam rusak berkelebat di benaknya. Dan kini kerusakan itu, telah ia rasakan. Kenangan tentang mata air jernih, yang mengaliri desanya. Kini berganti dengan pemandangan air penuh lumpur.
Mutmaina lahir di Desa Roko-roko, Kecamataan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, 41 tahun silam. Mutmaina telah menjadi saksi keajaiban alam pulau Wawonii, melalui tanahnya yang subur dan mata air yang mengalir dengan jernihnya. Namun, semuanya berubah, ketika PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, melakukan aktivitas pertambangan nikel di Wawonii Tenggara. Warga Wawonii nestapa di tengah industri ekstraksi.
Menurut Mutmaina, dulu, jika hujan berlangsung siang dan malam, air hanya berubah keruh lalu kembali jernih beberapa saat, setelah hujan reda. Sangat berbeda dengan apa yang Mutmaina saksikan sekarang. Pada tanggal 6 Februari 2024, hujan turun dari pagi hingga malam, kondisi air yang mengalir ke dalam dapur dan bak mandi Mutmaina penuh lumpur.
“Bukan hanya keruh, tapi sudah lumpur yang turun ini,” keluh Mutmaina. Di rumah Mutmaina terdapat tujuh jiwa. Tak jarang pakaian kotor menumpuk di sudut rumah, karena sulitnya akses terhadap air bersih. Air telah menjadi komoditas langka. Kulit mereka pun mulai gatal-gatal. Beban kian berat bagi Mutmaina dan anak-anak perempuannya, yang harus menghadapi siklus menstruasi setiap bulan. Tak ada harapan bagi Mutmaina untuk menjalani hidup yang sehat dalam kondisi seperti itu.
“Lain-lain kita punya kulit. Gatal-gatal. Kebetulan saya lagi halangan. Pakaian kotor hanya bisa ditumpuk. Nanti besok kita cari kira-kira di sungai mana bisa mencuci," ujarnya.
Di Desa Teporoko, Hartina melangitkan harapan, agar pengambil kebijakan memberikan keadilan bagi warga yang terdampak kegiatan tambang. Mudah bagi pihak luar memberikan dukungan ke pihak perusahaan, katanya. Sebab mereka cukup beruntung, tidak mengalami hal sebagaimana yang dialami Hartina.
Hartina hanya ingin membangun keluarga kecil dan mencari penghidupan di tanah Wawonii yang subur. Keringatnya telah bercampur dengan tanah, yang telah menumbuhkan benih-benih tanaman yang memberinya kehidupan. Dua tahun silam, ibu tiga anak ini terpaksa bersembunyi di kebun selama berhari-hari. Kadang tanpa makanan dan mandi.
“Mengapa kami, yang hanya ingin mempertahankan lahan, diperlakukan seperti penjahat?” katanya.
Hartina hanya berjuang menjaga lahan, agar tidak diterobos pihak perusahaan. Namun orang kecil seperti dirinya, tidak berdaya melawan perusahaan dengan kekuatan alat negara di belakangnya. Hartina kalah. Lahan seluas 24 meter persegi miliknya kini menjadi jalan hauling PT Gema Kreasi Perdana.
Mungkin itu lahan yang kecil bagi sebagian orang. Tapi bagi Hartina, lahan itu berisi tanaman yang hasilnya akan berguna bagi kehidupan keluarganya. Lebih dari itu, Hartina hanya ingin mempertahankan hak. Ia tahu, saat perusahaan mengeruk tanah Wawonii, maka kehidupannya akan terancam. Dan itu terbukti hari ini. Tak ada lagi air bersih yang mengalir ke rumah Hartina.
Ia bingung apakah harus merasa senang atau sedih ketika hujan turun. Jika hujan, maka air berubah sangat keruh. Namun Hartina bisa menampungnya untuk kebutuhan mandi, memasak, dan minum. Jika hujan berhenti dalam jangka waktu yang lama, tingkat kekeruhan air berkurang namun tetap tidak layak pakai.
Hartina dongkol. Mengapa ia dipaksa memilih di antara dua pilihan yang buruk di saat ia punya pilihan lain yang lebih baik? Mengapa kehidupannya harus dikorbankan demi keuntungan segelintir orang?
Kebun kelapa Hartina kini dikelilingi oleh jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan perusahaan tambang. Di dalamnya tumbuh sekitar seribu pohon kelapa yang berbuah dengan lebatnya. Biasanya, Hartina memanen kelapa dua bulan sekali. Hasil panen bisa mencapai 10.000 buah dengan harga lebih dari Rp 10 juta. Kini hasil panen menurun drastis. Pada awal Februari ini, Hartina hanya mampu panen 1.200 buah kelapa dengan harga jual Rp 1,8 juta.
Hartina juga seorang nelayan. Dulu ia sering mencari gurita dan teripang saat air laut surut. Selain untuk kebutuhan makan, hasil tangkapan gurita dijual untuk menambah pemasukan. Namun habitat gurita dan kerang telah rusak, tertutupi oleh lumpur bekas galian nikel.
“Saya punya anak paling tua, sedang kuliah. Bagaimana mau bayar uang kuliah kalau begini? Bagaimana kita bisa bertahan hidup dengan kondisi seperti ini?”keluhnya.
Respon PT GKP
Manager Strategic Communication PT GKP, Alexander Lieman menampik tuduhan warga, mengenai air yang tercemar akibat kegiatan PT GKP. Ia mengatakan, keruhnya mata air warga terjadi karena curah hujan yang ekstrem. kekeruhan itu, hanya terjadi sebentar saja karena air dengan cepat jernih kembali.
“PT GKP juga merespon cepat kejadian tersebut, dengan bergotong royong bersama masyarakat untuk mencari dan membangun alternatif sumber mata air baru,” ujar Alexander Lieman.
Namun pernyataan itu dibantah oleh warga. Yamir, warga Desa Dompo-dompo Jaya, yang juga terdampak tambang mengungkapkan, sebelum masuknya perusahaan tambang, tiga sumber mata air yang digunakan warga tidak pernah bercampur lumpur. Petaka itu baru terjadi, setelah PT GKP menggunduli hutan di puncak Pelaporoa.
Menurutnya, jika memang air tercemar hanya karena curah hujan tinggi, mestinya air yang digunakan di Desa Bahaba, Kecamatan Wawonii Tenggara juga berlumpur seperti yang digunakan Yamir. Nyatanya, mata air tercemar hanya terletak di area yang dekat dengan pertambangan dan dilalui jalan hauling perusahaan.
“Sebelumnya, walaupun hujan berharihari, tidak sampai bercampur lumpur. Setelah GKP beraktivitas dan membangun jalan hauling dengan melintasi sungai musiman Pelaporoa, sumber air kami jadi hancur. Saat ini, walaupun sejam setelah hujan reda, air masih bercampur lumpur,” terangnya.
Sebelumnya pada September 2023, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mencabut izin penambangan nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii. Dalam amar putusannya, hakim membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/Menhut-II/2014 tanggal 18 Juni 2014 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Kegiatan Operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjangnya pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atas nama PT Gema Kreasi Perdana yang terletak di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 707,10 ha.
PT GKP sempat menghentikan aktivitasnya menyusul keputusan tersebut. Tak berselang lama, PT GKP mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta dan banding tersebut dikabulkan. Di saat warga Wawonii berjuang di pengadilan, PT GKP diduga kembali melakukan eksplorasi di kawasan IPPKH yang pernah dibatalkan PTUN Jakarta sejak Februari 2024. Alexander Lieman beralasan, semua bentuk kegiatan pertambangan yang dilakukan adalah sah. Termasuk status Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IPPKH yang masih aktif.
“Pada sidang banding PTUN Jakarta mengenai status IPPKH juga telah dimenangkan oleh pihak perusahaan. Aktivitas pertambangan pun hingga sekarang memang masih terfokus pada reklamasi dan pengelolaan lingkungan di area operasi,” kata Lieman.
Agar terus dapat menambang nikel di Pulau Wawonii, PT GKP juga menggugat pasal 35 huruf k Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K). Saat ini proses hukumnya masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sekaligus pengacara Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil (TAPaK), Muhammad Jamil mengatakan, MK RI tidak boleh kehilangan akal sehat saat berhadapan dengan korporasi tambang Harita Group. Termasuk dalam memutus perkara gugatan GKP. MK RI harus bebas dari intervensi pihak manapun.
“Sebab, jika gugatan GKP tersebut dikabulkan oleh MK, Indonesia memasuki kebrutalan ekstraktivisme, menempatkan pulau kecil beserta seluruh kehidupan di dalamnya sebagai wilayah penaklukan tambang. Ujungnya adalah penciptaan eco genosida masyarakat lokal dan adat pulau kecil,” kata Jamil beberapa waktu lalu.
Senada, Wildan Siregar, Pengampanye Trend Asia dan pengacara TAPaK menuturkan, korporasi hanya datang untuk menghabisi ruang hidup masyarakat tanpa jeda. Setelah masyarakat menderita atas kerusakan lingkungan, korporasi pergi begitu saja dan mencari tempat lain untuk dieksploitasi.
“Menjaga pulau untuk tetap utuh artinya menjaga masyarakat dan ekosistem di dalamnya. Hakim Mahkamah Konstitusi harus berorientasi pada penyelamatan pulau-pulau kecil, bukan malah membuka pintu untuk eksplorasi. Mahkamah Konstitusi harus melihat perlindungan masyarakat dan ekologi di pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan secara komprehensif,” imbuhnya. (uli/a)