Budaya Khas Daerah di Buton Diusul Diperdakan

  • Bagikan
MASYARAKAT ADAT : Pj. Bupati Buton, Basiran saat memenuhi undangan tokoh adat dan masyarakat Wabula itu. Ia mampu berbaur dan memeragakan gerakan-gerakan tarian adat di depan masyarakatnya.
MASYARAKAT ADAT : Pj. Bupati Buton, Basiran saat memenuhi undangan tokoh adat dan masyarakat Wabula itu. Ia mampu berbaur dan memeragakan gerakan-gerakan tarian adat di depan masyarakatnya.

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Masyarakat Wabula di Kabupaten Buton, baru saja menggelar pesta adat bertajuk Pidoa’ano Kuri. Ritual tahunan itu melibatkan ratusan perangkat adat. Itu menunjukan jika Wabula merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang khas dan punya kekuatan budaya yang besar di Tanah Wolio. Budayanya masih lestari hingga kini. Pelakonnya pun masih mudah ditemui di tengah masyarakat setempat.


Pj. Bupati Buton, Basiran, menyempatkan diri untuk memenuhi undangan para tokoh adat dan masyarakat Wabula itu. Ia mengaku cukup akrab dengan kebudayaan warga Wabula. Bahkan Basiran mampu berbaur dan memeragakan gerakan-gerakan tarian adat di depan masyarakat. Kepala daerah di bumi penghasil aspal alam terbesar di dunia itu turut menari mangaru (silat khas daerah) dalam perayaan pesta adat Wabula.


Masyarakat Wabula pun sontak bersorak melihat Pj. Bupati melakonkan tari Mangaru dan Ngibi yang diiringi gendang tarian.


Melihat konsistensi tokoh adat dan antusias masyarakat untuk melestarikan budaya itu, Basiran pun menyuarakan gagasannya agar kekayaan budaya itu dikukuhkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda). “Ke depan kita perlu usulkan ke DPRD untuk diperdakan sehingga masyarakat hukum adat Wabula ini tetap terpelihara," gagasnya, kemarin.


Bukan hanya itu, kekayaan budaya masyarakat Wabula punya potensi untuk dijadikan sebagai warisan budaya tak benda. Namun hal itu butuh upaya bersama karena harus mendapat pengakuan dari lembaga terkait, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dikbud dan Ristek, serta lainnya. "Ini bisa kita dorong sebagai warisan budaya tak benda, sehingga lebih kuat lagi secara paten di mata hukum nasional,” terang Basiran.


Diakui mantan Kepala BPKAD Sultra ini, tradisi Pidoa’ano Kuri Wabula bukan kali pertama diadakan, tetapi telah turun temurun dilestarikan sejak ratusan tahun lalu. “Kenapa ke depan kita perlu buatkan Perda dan sebagai warisan budaya tak benda, supaya bisa menjadi pegangan baik generasi saat ini maupun akan datang. Sehingga tidak akan pudar oleh zaman atau hilang karena pergantian kepemimpinan, baik itu pusat, daerah maupun desa,” tuturnya.


Pada kesempatan itu, Staf Ahli Gubernur Sultra Bidang Hukum dan Politik tersebut menegaskan, kedatangannya di Pidoa’ano Kuri Wabula sebagai bentuk perhatian untuk mendengarkan aspirasi dan keluhan warga Wabula sehingga warga merasakan pemerintah hadir tanpa unsur politik, melainkan murni sebagai kepala daerah yang berkewajiban untuk selalu berada di tengah masyarakat, tidak hanya duduk dibelakang meja. “Tidak ada unsur politik atau yang lainnya, hanya semata-mata melaksanakan kewajiban sebagai Penjabat Bupati yang diamanahkan oleh pemerintah melaksanakan tugas negara” pungkasnya. (c/lyn)

  • Bagikan