---Versi EPPGM, Tingkat Prevalensi 5,5 Persen
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Strategi penanganan stunting di Kolaka Utara (Kolut) terbilang efektif. Dalam tiga tahun terakhir, kasus stunting di Bumi Patowonua terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Elektronik Pencatatan Pelaporan Berbasis Gizi Masyarakat (EPPBGM), tingkat prevalensi stunting di penghujung tahun 2022 tersisa 5,5 persen. Padahal dua tahun lalu masih diangka 13,86 persen.
Penjabat (Pj) Bupati Kolut, Parinringi mengatakan penanganan stunting butuh keterlibatan semua stakeholder. Untuk itulah, diperlukan sinergitas antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD), pemerintah kecamatan, desa/kelurahan hingga masyarakat. Pola penanganan harus dimulai di hulu sampai ke hilir.
Artinya, dari upaya pencegahan, penanganan hingga evaluasi. Sebab program penanganan harus berkesinambungan. “Stunting menjadi perhatian serius pemerintah. Makanya, pemerintah telah menetapkan lokasi fokus (lokus) penanganan stunting. Di Kolut, ada 23 yang menjadi lokus. Untuk memaksimalkan pelaksanaan, harus ada garis koordinasi lintas sektor.
Upaya intervensi yang dilakukan harus di-back up dengan anggaran termasuk komitmen bersama. Makanya, jangan jalan sendiri-sendiri dan hilangkan ego sektoral. Sebab tujuannya tetap sama. Bagaimana agar Kolut terbebas dari stunting,” kata Parinringi saat memberi arahan pada acara Diseminasi Pengukuran dan Publikasi Data Stunting di Desa Ainani Tajriani Kecamatan Kodeoha, Kamis (29/12).
Tingkat prevalensi stunting lanjut Parinringi, merujuk dua sumber yakni hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dulunya Balitang dan EPPBGM Kemenkes. Meski versi EPPBGM sudah diangka 5,5 persen, namun hasil SSGI tahun 2021 masih terbilang tinggi atau 29,1 persen.
Apalagi data hasil survei inilah yang menjadi rujukan pemerintah pusat dalam penanganan stunting. Atas dasar itulah, pemerintah daerah diminta menurunkan tingkat prevalensi versi SSGI ini diangka 14 persen hingga tahun 2024.
“Kalau merujuk data SSGI tahun 2021 tingkat prevalensi Kolut masih di bawah Sulawesi Tenggara (Sultra) yang berada di angka 30,2 persen. Kalau tahun 2022, belum dirilis. Kami harap kasus stunting terus menurun. Makanya harus dilakukan percepatan penurunan stunting di daerah lokus. Indikator yang menjadi memicu stunting harus dituntaskan.
Diantaranya, kebutuhan pangan yang mencukupi. Sebab stunting dipicu karena kekurangan gizi yang menyebabkan gangguan pertumbuhan anak, daya tahan tubuh menurun dan rentan terkena penyakit degeneratif,” jelas mantan Wakil Bupati (Wabup) Konawe ini.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kolut Irham menambahkan pengukuran dan publikasi stunting merupakan langkah pemerintah data tingkat prevalensi pada layanan skala puskesmas, kecamatan dan desa. Upaya ini sebagai bentuk komitmen pemerintah memperkuat gerakan penanganan stunting. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak balita tetap berpedoman pada regulasi Kemenkes.
“Tujuan program ini tak Lain untuk mengetahui status gizi anak sesuai umur. Dengan begitu, kita bisa memantau kemajuan tumbuh kembang anak secara berkala. Di sisi, kami juga berusaha meningkatkan kesadaran dan partisipasi keluarga dan masyarakat. Selain itu, menyediakan upaya tindak lanjut terintegrasi dan konseling dalam rangka komunikasi perubahan perilaku,” jelasnya.
Mengukur prevalensi stunting kata Irham, dilakukan secara berkala. Hasilnya, kemudian dilaporkan secara berjenjang mulai dari posyandu hingga ke Dinkes. Meningkatkan efektivitas penentuan target layanan dan pengalokasian sumber daya turut menjadi perhatian. “Bukan hanya itu, kami juga memecahkan masalah dan memantau proses perencanaan sampai ke tingkat desa. Advokasi di unit-unit terkait terus dilakukan untuk integrasi program,” imbuhnya. (mal)