Oleh: Baharuddin Yusuf (Kader Himpunan Mahasiswa Islam)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Mahasiswa yang terlibat dalam pergerakan terus menyuarakan satu doktrin yang tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam setiap tahapan aksi demonstrasi—mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, hingga pasca aksi. Doktrin tersebut menegaskan bahwa individu yang
berpartisipasi dalam aksi demonstrasi tidak boleh sepenuhnya mempercayai siapa pun, bahkan
bayangan dirinya sendiri. Pemikiran ini selaras dengan apa yang ditekankan oleh Hideyoshi
dalam buku Musashi (2012), yang menyatakan bahwa dalam situasi perang, intrik selalu
menjadi senjata utama. Dalam konteks politik, baik di masa lalu maupun saat ini, sikap skeptis
tetap dibutuhkan untuk mengkritisi kebijakan yang lahir dari kekuasaan dan berdampak pada
ruang publik. Salah satu contoh yang memunculkan tanda tanya adalah cepatnya pengesahan
Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengesahan UU TNI mengundang berbagai spekulasi, seperti apakah kebijakan ini benar-benar
ditujukan untuk kepentingan rakyat atau sekadar strategi mempertahankan stabilitas
kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan Sukarno dan Suharto dengan melibatkan TNI dalam
urusan pemerintahan. Ketidakjelasan tujuan pengesahan UU ini semakin dipertanyakan ketika
dikaitkan dengan kebutuhan internal TNI. Situmorang, C.H. (2019), dalam artikelnya yang
berjudul Polemik TNI dalam Jabatan Sipil, menyatakan bahwa TNI membutuhkan posisi di
lembaga sipil pemerintah guna menampung sekitar 500 perwira menengah berpangkat Kolonel
dan 150 perwira tinggi yang belum mendapatkan jabatan sesuai pangkatnya.
Surplus personel TNI mendorong kajian lebih lanjut terhadap pengesahan UU TNI dimana
Pasal 47 mengakomodasi penambahan empat jabatan publik bagi prajurit aktif, dari semula 10
menjadi 14, termasuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Penanggulangan
Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan (Jaksa
Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer). Penambahan ini semakin memperluas
keterlibatan TNI dalam jabatan publik, yang bertentangan dengan prinsip profesionalisme
militer. Akibatnya, terjadi peran ganda, di mana prajurit aktif tidak hanya menjalankan tugas
kemiliteran tetapi juga menduduki posisi yang seharusnya diisi oleh sipil.
Konsep profesionalisme militer sering kali merujuk pada studi Huntington (2003) dan
Perlmutter (2000). Kajian ini menetapkan beberapa parameter profesionalisme, seperti
netralitas militer dalam politik sipil, pemenuhan kesejahteraan prajurit serta kebutuhan alutsista
melalui alokasi anggaran yang ideal, dan kompetensi yang memadai bagi seluruh anggota.
Kesejahteraan prajurit menjadi indikator bahwa militer tidak seharusnya terlibat dalam
aktivitas ekonomi atau praktik kapitalisme militer. Rizki Maulana Hakim (2024), dalam
artikelnya Akumulasi Sumber Daya Ekonomi Militer melalui Perampasan Lahan, secara
gamblang membedah bagaimana keterlibatan militer dalam sektor ekonomi masih terjadi di
Indonesia. Salah satu contohnya adalah perampasan lahan oleh Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat (TNI AD) di Urutsewu, Kecamatan Ampel, Boyolali, Jawa Tengah.
Bentuk keterlibatan ini mencakup kerja sama dalam pemanfaatan lahan untuk bisnis pasir besi,
kepemilikan aset, serta penguasaan lahan melalui sertifikat hak pakai yang diterbitkan oleh
Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada TNI AD, sehingga memperkuat legitimasi
penguasaan lahan oleh militer. Praktik ini dilakukan melalui jalur formal maupun informal,
yang pada akhirnya mempercepat transformasi militer menjadi kelas kapitalis.
Kondisi ini menciptakan dualisme peran, di mana militer tidak hanya berfungsi sebagai institusi
pertahanan, tetapi juga berperan sebagai aktor ekonomi yang berpotensi bertindak sebagai
predator dalam sektor ekonomi. Peran ganda tersebut memberikan kesempatan lebih besar bagi
militer untuk mengintervensi aktivitas sipil demi memperoleh legitimasi dalam penguasaan
sumber daya ekonomi. Dalam hal ini, keterlibatan ekonomi militer tidak dapat dilepaskan dari
upaya mereka dalam memengaruhi kebijakan politik pemerintahan sipil.
Konsekuensi dari peran ganda militer dapat ditelusuri dalam sejarah politik Indonesia, terutama
pada masa Orde Baru, ketika dominasi militer dalam pemerintahan tidak hanya memengaruhi
sektor ekonomi, tetapi juga membatasi perkembangan demokrasi dan kebebasan sipil. Masa
Orde Baru secara nyata menunjukkan ketidakseimbangan antara kekuatan sipil dan militer, di
mana keterlibatan militer dalam jabatan sipil membatasi kebebasan berpendapat melalui
pengawasan ketat terhadap media, pembatasan oposisi politik, serta penerapan sensor dan
tindakan represif terhadap kelompok yang dianggap mengancam stabilitas pemerintahan.
Ketimpangan ini semakin jelas dengan diperluasnya peran Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk keterlibatan dalam menangani
ancaman pertahanan siber.
Perubahan pada Pasal 7 ayat 2b menetapkan bahwa TNI bertugas untuk "membantu dalam
upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber." Penjelasan lebih lanjut menegaskan bahwa
peran TNI dalam menangani ancaman siber hanya terbatas pada sektor pertahanan (cyber
defense). Selain itu, Pasal 47 ayat 1 memberikan peluang bagi prajurit TNI aktif untuk
menempati posisi sipil yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan ruang siber. Dengan
kewenangan ini, militer berpotensi mengawasi aktivitas digital dengan dalih menjaga
keamanan nasional. Jika ruang siber dikendalikan oleh militer, kebijakan siber dapat
dimanfaatkan untuk menekan oposisi, mengontrol arus informasi, atau menyebarkan
propaganda. Dominasi militer dalam ruang siber juga melemahkan mekanisme pengawasan
karena keputusan mereka cenderung bersifat tertutup dan sulit dipertanggungjawabkan.
Implikasi dari kewenangan militer dalam ruang siber ini tidak hanya terbatas pada aspek
keamanan, tetapi juga berpotensi memengaruhi kebebasan sipil secara lebih luas. Dalam
konteks sejarah politik Indonesia, dominasi militer dalam pengelolaan informasi pernah
mengkerangkeng kebebasan berpendapat. Orde Baru menunjukkan dengan jelas bagaimana
pemerintah mengekang hak-hak sipil selama 32 tahun dengan alasan pembangunan
(development). Saat ini, pembatasan serupa berpotensi terjadi melalui penerapan regulasi siber
yang menggunakan dalih keamanan untuk memperluas definisi "ancaman," mencakup diskusi
politik, kritik terhadap pemerintah, atau advokasi HAM, yang pada akhirnya berisiko
menyebabkan kriminalisasi terhadap warga sipil.
Pengendalian ruang siber dan pembatasan kebebasan menjadi konsekuensi dari melemahnya
demokrasi. Perubahan regulasi yang berlangsung cepat juga mengindikasikan adanya upaya
untuk mempertahankan dominasi pemerintah. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku
Bagaimana Demokrasi Mati (2019), menegaskan bahwa kecenderungan pemerintah dalam
mengubah aturan merupakan strategi untuk memperkokoh kekuasaan. Perubahan tersebut
sering kali dibenarkan atas nama kepentingan umum, tetapi pada hakikatnya bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan.
Konsekuensi dari dominasi militer dalam pemerintahan menegaskan perlunya pembatasan
keterlibatan mereka dalam ranah sipil, karena sifat koersif yang dimiliki oleh militer tidak dapat
ditandingi oleh kekuatan sipil. Terlebih lagi, dominasi militer dalam pemerintahan, terutama
melalui pengisian jabatan-jabatan strategis, dapat menimbulkan ketidaksesuaian antara sistem
militer dan sipil. Dalam sistem militer, hierarki yang bersifat sentralistis dan berorientasi pada
komando tunggal tidak selaras dengan prinsip demokrasi yang menekankan deliberasi dan
konsensus.
Realitas ini menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil, baik melalui kebijakan
hukum maupun dominasi dalam sektor ekonomi dan siber, membawa dampak serius bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia. Jika pola ini terus berlanjut tanpa mekanisme
pengawasan yang ketat, maka keseimbangan antara kekuatan sipil dan militer akan semakin
timpang, mengarah pada pengikisan kebebasan sipil dan penguatan kontrol negara atas ruang
publik. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa militer
tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga pertahanan negara, tanpa melampaui batas
kewenangannya dalam urusan sipil. Hanya dengan demikian, prinsip demokrasi dapat terjaga
dan hak-hak warga negara terlindungi dari potensi represi atas nama keamanan dan stabilitas.
(*)