Oleh : Dr. Rudy
(Penulis adalah Dosen Praktisi pada Universitas Megaresky Makassar dan Universitas Sulawesi Tenggara)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Indonesia sebagai negara hukum tentunya sangat menjunjung tinggi supremasi hukum yang berlaku dan diposisikan sebagai alat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga penegakan hukum menempati posisi yang sangat sentral, dimana negara menempatkan hukum dalam fungsinya sebagai alat pengatur bagi kehidupan bermasyarakat baik hubungannya dengan penguasa maupun antara masyarakat itu sendiri. Hukum dan masyarakat seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Berlakunya hukum didalam suatu tatanan sosial yang disebut masyarakat, oleh bangsa Romawi disebut sebagai ubi societas ibi ius yang menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat. Salah satu masalah terbesar dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah fenomena bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan jaksa. Proses ini sering kali menghambat efisiensi peradilan dan memperpanjang waktu penyelesaian perkara. Di beberapa negara, jaksa tidak hanya sekadar menerima berkas perkara dari penyidik, tetapi juga berhak memberikan arahan penyidikan kepada penyidik. Hal ini memungkinkan perkara dapat ditangani lebih cepat tanpa perlu berkali-kali mengembalikan berkas karena tidak lengkap. KUHP nasional (UU No 1 Tahun 2023) semakin memperkuat peran jaksa dalam pengawasan proses peradilan. Pasal 132 KUHP nasional secara eksplisit menyebutkan bahwa penuntutan merupakan bagian dari proses peradilan yang dimulai sejak tahap penyidikan, menandakan bahwa jaksa memiliki peran aktif dalam memastikan kelengkapan suatu perkara sebelum diajukan ke pengadilan.
Koordinasi antar lembaga Negara, khususnya penegak hukum masih menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintahan sekarang dalam hal reformasi hukum. Perlunya reformulasi dan rekonstruksi peraturan yang diharapkan jaksa dapat hadir pada saat dilakukan penyidikan. Intervensi dapat dilakukan dengan metode prapenuntutan, sehingga setiap tindak pidana atau perbuatan dapat menjadi semakin jelas dan besar kemungkinan terhindari dari hal-hal yang nantinya dikhawatirkan akan mempengaruhi pembuktian dalam penuntutan. Hal yang paling utama adalah perlu kesatuan rasa antara penyidik dan penuntut umum sebagai sub sistem dari satu kesatuan Sistem Peradilan Pidana. Keduanya “wajib” bersama-sama membangun citra tanpa merendahkan satu sama lain, karena baik buruknya hasil kerja adalah mutlak kinerja bersama. Dalam melaksanakan kerjasama penanganan perkara pidana, penyidik maupun penuntut umum harus selalu mengingat tujuan yang ingin dicapai selain kepastian hukum dan kemanfaatan yaitu keadilan. Ketiga nilai dasar ini juga disebut sebagai cita hukum (idee des recht).