Pemangkasan Anggaran dan Masa Depan Dosen

  • Bagikan

Oleh: Marwan, S.IP., M.Si (Dosen FISIP Universitas Hasanuddin)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Pemangkasan anggaran APBN secara besar-besaran tengah dilakukan. Hal ini bertujuan untuk pengefisiensian dan penghematan APBN. Tentunya karena ada sasaran yang ingin dicapai. Sasaran yang dimaksud akan sangat tergantung pada penguasa, dalam hal ini Prabowo-Gibran selaku presiden dan wakil presiden. Banyak yang memprotes kebijakan ini. Pasalnya banyak kebutuhan penting dan prioritas masyarakat yang harus dipenuhi. 

Saya melihat, kebijakan tersebut lebih memprioritaskan kepentingan politik dibanding kepentingan masyarakat secara umum. Apa kepentingan politiknya? Yakni janji kampanye untuk memberikan makanan bergizi gratis. Program ini bisa dikatakan sebagai program populis. Program yang “merakyat” tapi dapat memberikan dampak negatif jangka panjang bagi kondisi fiskal jika tidak dikelolah dengan baik. Sebaliknya, akan berdampak positif jangka panjang bagi SDM jika dimanajemen dengan baik.

Sebenarnya, program ini sangat bagus. Hanya saja kondisi keuangan negara kurang mendukung. Sementara itu, lahirnya janji populis ini lebih dilatarbelakangi karena untuk memenangkan kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Janji ini disukai oleh masyarakat terutama kelas bawah. Bagi kelompok masyarakat menengah-atas terdidik, hal ini cukup mengundang kontroversi. Mereka lebih menggunakan kacamata yang lebih holistik dan keseimbangan, antara memberikan makan bergizi gratis dan kapasitas serta keberlanjutan fiskal.

Namun, sebenarnya tidak masalah jika pemotongan anggaran itu dilakukan, asalkan lebih rasional. Banyak pengeluaran atau penggunaan APBN yang selama ini perlu mendapat koreksi, misalnya rapat-rapat di hotel yang sebenarnya bisa dikurangi. Atau perjalanan dinas yang juga bisa diefisiensikan. 

Akan tetapi, sektor lain yang begitu penting, seharusnya tidak perlu mendapat pemotongan yang besar. Misalnya, sektor pendidikan. Hal yang saya ingin tekankan di sini adalah terkait dengan alokasi angggaran kesejahteraan pengajar (dosen) di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Isu ini sedang mengemuka.

Hal ini disebabkan karena pemerintah justru memotong anggaran Kemendiktisaintek dengan angka yang cukup fantastis. Data yang beredar di berbagai media menunjukan bahwa kementerian ini mendapat potongan sebesar 22,5 T, terbesar kedua setelah Kementerian Pekerjaan Umum. Padahal, dosen-dosen ASN yang bernaung di kementerian ini belum mendapat semua haknya yakni tunjangan kinerja (tukin) selama bertahun-tahun.

Aksi protes terhadap pemerintah pun dilakukan. Sayangnya, suara para pendidik itu seolah terpantul di dinding-dinding kantor menteri dan Istana Rakyat. Suara mereka tidak berhasil tembus ke bangunan yang kokoh itu.
Ini sangat miris. Gaji dosen di bawah kementerian ini cukup memprihatinkan. Sementara pemerintah banyak maunya. Mereka ingin pendidikan Indonesia berkualitas hingga bertaraf internasional serta segala cita-cita lainnya. Mereka lupa. Lupa bahwa entitas yang memiliki peran yang sangat signifikan dalam mewujudkan cita-cita pemerintah tersebut adalah dosen. 

Dosenlah yang ikut mencetak SDM-SDM unggul Indonesia. Sementara itu, hak-hak dosen seperti tukin tidak diberikan. Wajar jika ada yang mengatakan dan mungkin tidak salah untuk mengatakan bahwa paradigma pemerintah dalam melihat dosen di bawah Kemendiktisaintek ini adalah paradigma kaum borjuis (pemerintah) yang mengeksploitasi kelompok pekerja yang dalam hal ini adalah dosennya sendiri.

Jika logika program makanan gratis bergizi diadakan untuk menciptakan kualitas SDM yang baik, harusnya logika peningkatan SDM yang berkualitas ini juga diberlakukan dengan memberi hak tukin bagi dosen ASN Kemendiktisaintek.

Setidaknya dengan itu, dosen akan terbantukan dalam memperoleh kesejahteraan. Dosen sejahtera, maka dosen akan lebih fokus mendidik anak-anak bangsa dibanding mencari tambahan penghasilan lain di luar. 

Sekedar diketahui, dosen ASN di semua kementerian mendapatkan hak tukin, kecuali dosen di Kemendiktisaintek. Diskriminasi? Iya. (*)
 

  • Bagikan