"YOLO ini bisa menjadi positif jika dimaknai untuk mengejar kebahagiaan secara bijak. Namun, kenyataannya, banyak yang menyalahartikan konsep ini sehingga cenderung boros dan konsumtif," imbuhnya.
Nisrina menegaskan, fenomena ini lebih banyak berdampak negatif, terutama pada kelompok usia 18 hingga 45 tahun yang cenderung memiliki pendapatan lebih stabil tetapi juga lebih boros. "Mereka sering membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan keinginan. Akibatnya, muncul gaya hidup hedonis yang hanya mengejar kesenangan sesaat," terangnya.
Ia mengingatkan pentingnya menjadi konsumen rasional yang mampu memprioritaskan kebutuhan dibandingkan keinginan. "Kita harus bijak dalam mengelola keuangan, jangan sampai terjebak pada pola konsumsi yang tidak sehat akibat FOMO, FOPO, atau YOLO. Sesuaikan hidup dengan isi dompet," pesannya.
Nisrina mengungkapkan beberapa riset menunjukkan akhir dari fenomena ini sering kali adalah penyesalan. Oleh karena itu, ia berharap masyarakat dapat lebih sadar dan bijaksana dalam menyikapi tren konsumsi di era digital ini.
"Dengan memahami fenomena FOMO, FOPO, dan YOLO, masyarakat diharapkan mampu mengendalikan gaya hidup konsumtif dan mengutamakan kebutuhan prioritas demi kehidupan yang lebih seimbang,"pungkas Nisrina. (rah/b)