Kemenangan Abdul Azis Percontohan Pilkada Langsung

  • Bagikan
Abdul Azis

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-- Banyak kalangan yang pesimis, bila Abdul Azis mampu mempertahankan kursi bupati Kolaka Timur (Koltim). Selain narasi bukan putra daerah, ia juga dianggap menjabat bupati hanya dapat “Berkah” karena datang di Koltim menduduki kursi kepala daerah melalui pemilihan DPRD setempat. Namun cibiran itu, ia jawab dengan kemenangan Pilkada 2024, dengan meraih 35.968 suara atau 50,04 persen. Lantas bagaimana langkah politik Abdul Azis dan Yosep Sahaka sehingga mayoritas rakyat Koltim masih tetap memberikan amanah terhadap dirinya untuk memimpin? Berikut kutipan wawancara dengan Pengamat Politik dari Universitas Halu Oleo, Dr. Najib Husain

Bagaimana Anda melihat dinamika politik Pilkada Koltim?
Yah, jadi setahun sebelum Pilkada, kita sudah bisa membaca bahwa ada satu calon yang cukup kuat dan dekat dengan Masyarakat. Yakni Abdul Azis, Bupati Koltim yang juga maju dałam Pilkada 2024. Seorang Azis sudah menggunakan sumber-sumber daya yang dimiliki untuk dijadikan sebagai investasi sosial, yang dimanfaatkan saat hari H nantinya. Cara yang dilakukan adalah memainkan program- program yang ditawarkan di masyarakat. Istilahnya adalah program populis. Program yang bersifat jangka panjang, yang dijadikan sebagai bargaining dengan vote

Apakah Anda melihat Abdul Azis tak punya kelemahan ?
Abdul Azis punya satu kelemahan. Yaitu, di mana salah satu calon menjual isu putra daerah. Ini menjadi hal yang berat buat ditepis Azis, karena bukan putra daerah. Dan kultur di Koltim, isu putra daerah masih sangat kuat.

Sehingga kalau kita lihat hasil akhir, cukup berbeda dengan hasil survei awal. Kandidat lain bisa mendapat suara dengan cukup tinggi, bila dibanding angka survei.

Ada isu, bila biaya politik Pilkada Koltim tak setinggi dengan kabupaten/kota lain di Sultra. Misalnya, money politik yang tak dominan, bagaimana Anda melihat persoalan itu?
Sebenarnya, seorang petahana kalau maju bertarung, sudah punya modal 20 persen. Jadi belum bergerak pun, sudah punya modal 20 persen. Dan seorang incumbent, kalau mampu memanfaatkan panggung politik yang dimiliki, maka tak perlu mengeluarkan banyak biaya. Dia cukup menawarkan program pembangunan kepada masyarakat, misalnya program beasiswa, janji pengaspalan jalan, kredit UMKM dan program lain yang bersifat jangka panjang. Program itu bisa mengikat para pemilih karena mereka punya harapan dengan kandidat yang menawarkan program tersebut. Hanya akan menimbulkan efek bila kandidat tersebut tak mampu menjalankan programnya sehingga pemilih tak percaya lagi dengan kandidat itu.

Pilkada 5 tahun lalu, Bupati petahana Tony Herbiansyah harus kalah, karena narasi putra daerah yang dibangun. Kenpa isu yang sama tak efektif di Pilkada tahun 2024?
Hadirnya Abdul Azis tak punya keterkaitan dengan kekuasaan lama. Kandidat Pilkada 2024, Bisa dibilang baru masuk di panggung politik, tak punya keterkaitan dengan para tokoh sebelumnya. Selain itu, Abdul Azis ingin menunjukkan bila dia orang Koltim yang berbinheka tunggal ika. Tak kental di rumpun tertentu. Tidak berada di kelompok mayoritas ataupun minoritas. Dia berusaha merangkul semua kelompok yang ada di Koltim dengan lebih banyak turun lapangan. Seorang Abdul Azis, saya lihat banyak hal yang dia lakukan tanpa melibatkan birokrasinya, tapi dia sendiri yang turun melakukan ekesekusi di lapangan, menemui masyarakat. Pendekatan itu sehingga meminimalisir tentang isu putra daerah dan isu lain yang sifatnya menunjukkan politik identitas.

Apakah Pilkada Koltim butuh biaya tinggi bila dibandingkan daerah lain ?
Di mana pun pilkada, bila kandidat lebih fokus pada penjualan program, ide dan gagasan. Dibungkus dengan program populis, sudah pasti biaya politik yang dikeluarkan lebih kecil. Karena tak lagi berbicara berapa banyak money politik yang dikeluarkan nantinya. Tapi, bagaimana kedepan mewujudkan janji politik.

Apakah warga Koltim, tak memilih calon karena uang, melainkan program kandidat ?
Ini sebenarnya, diawali dengan program yang dijalankan Abdul Azis. Sejak ditetapkan bupati Koltim, dia lebih banyak turun ke pelosok. Titik yang jarang ditembus bupati sebelumnya, malah jadi program andalan Abdul Azis. Dia juga lebih banyak menggunakan pendekatan milenial. Pemilih generasi z, sehingga mudah dirangkul. Dia bisa beradaptasi dengan keinginan Anak muda, milenial. Itulah gaya yang ditunjukan Abdul Azis, meski seorang bupati tapi tak terikat protokoler. Dia bisa tinggal di rumah warga, Lulo bersama warga. Itu butuh energi yang banyak tapi manfaatnya dikenal masyarakat. Dan kukarangnya popularitas disadari Abdul Azis sehingga dia intens mengmui warga. Dia mulai bermain dari pelosok, terakhir baru masuk ke kota. Itu teori makan bubur.

17 kabupaten/kota di Sultra, serangan fajar itu tak bisa dipungkiri, sangat tinggi. Tapi di Koltim, saya mendapat informasi bila pemilih hampir tak menerima apapun? Apakah memang biaya Pilkada Koltim itu rendah bila dibandingkan daerah lain, yang bahkan isunya serangan fajar menumbus angka Rp 500.000.
Kalau karakter pemilih, lebih pada pendekatan sosiologis dan kultural, biasanya tak terlalu banyak mengeluarkan biaya. Karena biasanya isu yang dijual politik identitas. Dan Abdul Azis, sejak awal meminimalisir isu itu karena menyadari dirinya bukan putra daerah. Sehingga yang kewalahan adalah protokoler, karena gaya Abdul Azis langsung turun ke masyarakat secara langsung. Dia juga bupati yang paling sering mendatangkan artis. Itu sesuai keinginan Pemilih generasi muda. Saya pernah survei dua bulan sebelum hari H, angka keterpilihan Abdul Azis hampir 70 persen.

Dengan pendekatan kepada masyarakat, apakah ini yang dimaksud Pilkada langsung?
Sejak awal dałam merancang Pilkada langsung, kita berharap orang yang dipilih adalah orang yang dekat dengan masyarakat. Dikenal Masyarakat, peduli dengan masyarakat. Karakter orang seperti itu yang diharapkan jadi pemimpin. Kriteria itu dimiliki Abdul Azis. Kolaka Timur, adalah salah satu kabupaten yang bisa dijadikan percontohan. Kalau mau jadi kepala daerah, jangan jaim dan jaga image. Saya mendampingi beberapa calon bupati, sudah berlagak seperti bupati. Tapi Abdul Azis, saya memantau dibeberapa acara, tak persah sekalipun pintunya dibukakan. Kalau misalnya, dia turun di lapangan, mobilnya terparkir jauh dari lokasi acara. Itu salah satu cara membuka ruang agar bisa berkomunikasi dengan orang penting di tempat kegiatan.

Di seluruh Pilkada di Sultra, apakah hanya seorang Abdul Azis yang melakukan hal itu?
Kalaupun ada petahana, lebih banyak gunakan basis kekuasaan. Abdul Azis seperti Gus Dur alias Abdul Rahman Wahid. Tidak diatur protokoler. Sebenarnya langkah politik Abdul Azis ini, dilakukan Jokowi saat pertama tampil, juga dilakukan Ahok. Mereka melakukan blusukan.

Ada wacana Pilkada melalui DPRD karena mahal bila digelar secara langsung?
Itu bukan solusi mengatasi masalah yang dihadapi saat ini. Yang harus dilakukan, membenahi hal yang kurang di Pilkada langsung. Apalagi MK telah memutus bila Pilpres tanpa ambang batas untuk dukungan. Itu akan turun di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Putusan MK ini tamparang buat parpol, bila mereka harus berbenah. Parpol harus jalankan fungsi kaderisasi dan edukasi politik. Dengan tanpa ambang batas, bisa meminimalisir jual beli pintu. Pilkada Koltim bisa menjadi percontohan pilkada langsung yang efektif dan jauh dari kesan money politik. Kemenangan Abdul Azis memberikan edukasi politik yang sangat baik bagi pilkada langsung di Indonesia.(**)

  • Bagikan

Exit mobile version