Angka Pernikahan Dini Masih Tinggi

  • Bagikan
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulawesi Tenggara
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulawesi Tenggara

KKN Intens Edukasi Masyarakat

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Jodoh tak bisa ditolak. Bisa cepat, bisa lambat. Tapi ada baiknya, pernikahan itu direncanakan dengan matang. Setiap calon harus siap secara mental maupun finansial. Dari segi kesehatan, wanita yang menikah muda atay dibawa usia 20 tahun memiliki risiko kanker serviks yang dua kali lipat lebih tinggi. Ironisnya, kasus pernikahan dini di Sulawesi Tenggara (Sultra) masih tergolong tinggi.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sultra Asmar mengatakan pernikahan dini masih menjadi isu penting di Indonesia, terutama di daerah-daerah tertentu seperti Sultra. Banyak remaja yang terpaksa menikah sebelum mencapai usia dewasa. Untuk menurunkan angka pernikahan dini, pemerintah terus mengedukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat.

"Pernikahan dini disebabkan oleh berbagai faktor. Mulai dijodohkan orang tua, faktor ekonomi dan juga fenomena 'married by accident' (MBA)," ujar Asmar kepada Kendari Pos kemarin.

Usia ideal menikah bagi perempuan lanjutnya, minimal 21 tahun. Pada usia tersebut, kondisi fisik dan struktur tubuh, khususnya rahim perempuan sudah matang. Seorang wanita menikah di usia 21 tahun ke atas, bisa melahirkan anak-anak yang sehat.

Berdasarkan hasil Pendataan Keluarga (PK) 2023, rata-rata usia pernikahan di Sultra sudah mencapai angka 21 tahun. Namun angka kelahiran remaja usia 15-19 tahun di Sultra masih cukup tinggi. Indikator yang digunakan untuk mengukur angka kelahiran ini adalah Age Specific Fertility Rate (ASFR), yang mencatat jumlah wanita yang pertama kali melahirkan pada usia tertentu.

"Hasil pendataan keluarga 2023, Sultra itu angkanya masih berada di rate 38. Artinya, dari seribu wanita pertama kali melahirkan, masih ada 38 orang yang usianya 15 sampai 19 tahun," jelasnya.

Daerah dengan angka kelahiran remaja tertinggi di Sultra adalah Konawe Utara (Konut). Dengan rate 56, diikuti Konawe Kepulauan (Konkep) 50,7, Kolaka Timur (Koltim) 49,2, Konawe 48,2 dan Bombana 47,8.

Pernikahan dini kata dia, membawa dampak negatif yang besar bagi kesehatan ibu dan anak. Remaja yang melahirkan di bawah usia 19 tahun masih berada dalam masa pertumbuhan, sehingga tubuh mereka belum sepenuhnya siap untuk menjalani kehamilan dan proses melahirkan.

"Ketika remaja hamil di bawah usia 19 tahun, dampak yang mungkin terjadi adalah tulangnya akan berhenti bertumbuh. Anak yang dilahirkan juga berisiko mengalami masalah pertumbuhan atau stunting, bahkan bisa menyebabkan kematian," paparnya.

Lingkar panggul perempuan yang belum matang (kurang dari 10 cm) dapat menyebabkan kesulitan ketika melahirkan. Jika panggul belum matang dan bayi memiliki lingkar kepala yang besar, bisa menyebabkan pendarahan saat melahirkan. Oleh karena itu, BKKBN mendorong agar pernikahan dilakukan setelah usia 21 tahun.

BKKBN melaksanakan berbagai program untuk menanggulangi pernikahan dini, salah satunya adalah Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja. Program ini fokus pada tiga isu utama, yaitu pencegahan pernikahan dini, seks pra nikah dan penyalahgunaan narkoba. "Kami selalu mengkampanyekan tiga hal ini agar remaja terhindar dari masalah yang bisa merugikan mereka," ujarnya.

Selain PIK Remaja, BKKBN juga menjalankan program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada remaja, orang tua dan masyarakat tentang pentingnya menikah di usia yang ideal. Selain dampak kesehatan, pernikahan dini juga sering kali menyebabkan perceraian karena ketidakmatangan emosional dan ekonomi.

"Harapannya, remaja menikah di usia yang ideal agar dapat menghindari hal-hal negatif, baik dari segi kesehatan fisik, kematangan ekonomi, maupun kematangan berpikir. Dengan demikian, remaja dapat mengejar cita-cita mereka dan membangun masa depan yang lebih baik," tutupnya. (b/m1)

  • Bagikan

Exit mobile version