KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung memang belum sepenuhnya ideal. Masih ada kekurangan. Namun, jika dikembalikan lagi lewat perwakilan (DPRD), maka itu merupakan kemunduran demokrasi.
Pandangan itu disampaikan Pengamat Politik Sultra, Andi Awaluddin Ma’ruf menyikapi munculnya kembali wacana Pilkada lewat DPRD.
“Langkah ini akan menjadi kemunduran dalam berdemokrasi di Indonesia. Fenomena Pilkada langsung memang belum mencerminkan nilai demokrasi yang ideal, tapi bukan berarti harus diubah sistemnya,” ungkap Andi Awaluddin Ma’ruf kepada Kendari Pos, Minggu (15/12/2024).
Lanjut dia, secara substansi, bagi pegiat demokrasi, kekuatan rakyat tercermin dari Pilkada langsung. Ini adalah indikator negara demokrasi yang ideal.
“Jika Pilkada langsung dikembalikan ke DPRD, kita mundur ke belakang dalam konteks demokrasi yang ideal,” tegasnya.
Andi mengakui, Pilkada langsung memang memiliki kelemahan, terutama dalam hal biaya politik yang sangat tinggi. “Demokrasi kita ini mahal,” katanya.
Selain itu, menurutnya, terdapat praktik mahar politik, money politics, dan rendahnya partisipasi pemilih. “Itu memang beberapa alasan yang membuat sebagian orang, termasuk Presiden Prabowo mengusulkan agar pilkada dikembalikan lagi lewat DPRD,” terangnya.
Sementara itu, jika pilkada dikembalikan ke DPRD, maka akan hilang partisipasi langsung masyarakat dalam menentukan kepala daerah.
“Masyarakat tidak bisa berpartisipasi langsung dan memilih kepala daerahnya. Ini adalah bagian dari degradasi demokrasi,” ulangnya menegaskan.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto sempat menyinggung sistem politik yang diterapkan oleh negara-negara tetangga, di mana DPRD yang memilih Gubernur dan Bupati. Dalam pidatonya, Prabowo mengungkapkan perlunya pemikiran untuk memperbaiki sistem partai politik di Indonesia, karena pelaksanaan Pilkada langsung menghabiskan anggaran hingga triliunan rupiah.
“Apalagi ada Mbak Puan, kawankawan dari PDIP, dan partai-partai lain. Mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini? Berapa puluh triliun habis dalam satu dua hari? Dari negara maupun dari tokohtokoh politik masing-masing,” ujar Prabowo.
Menurut Prabowo, negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan India lebih efisien karena menerapkan sistem di mana DPRD memilih Gubernur dan Bupati.
“Sekali milih anggota DPRD, ya sudah. DPRD itu yang memilih gubernur, memilih bupati. Efisien, tak keluar duit,” jelasnya.
Ia menilai anggaran yang dikeluarkan dalam Pilkada langsung, seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih penting, seperti perbaikan sekolah dan irigasi.
Dukung Wacana Pilkada Dipilih DPRD
Ahli Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiq secara tegas menyatakan dukungannya terhadap usulan tersebut. Menurutnya, tata cara pemilihan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan fleksibilitas dalam penerapan sistem demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Soal tata ulang sistem pilkada, saya dukung pernyataan Presiden agar kepala daerah dipilih saja oleh DPRD. Dalam UUD 45, yang penting kepala daerah dipilih secara demokratis, bisa langsung, tapi bisa juga tidak langsung oleh rakyat,” ujar Jimly, Minggu (15/12/2024).
Wacana ini memunculkan diskusi terkait efektivitas dan efisiensi sistem pilkada di Indonesia. Sebelumnya, pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai wujud partisipasi demokrasi. Namun, mekanisme ini sering mendapat kritik karena biaya yang tinggi dan potensi konflik sosial.
Pendapat Jimly menambah warna dalam perdebatan ini, terutama dari sisi pandangan hukum tata negara. Ia menilai bahwa sistem pemilihan tidak langsung melalui DPRD tetap memenuhi prinsip demokrasi sepanjang prosesnya transparan dan akuntabel.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto melempar wacana kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD. Ia menilai sebagaimana yang diterapkan di negara lain, sistem itu dinilai lebih efisien dan tak menelan banyak biaya. (b/ags/fjr)