KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam minerba, salah satunya adalah komoditas nikel. Sultra dianugerahi dengan jumlah sumber daya dan cadangan nikel sebesar 81,75 juta ton. Besarnya jumlah cadangan nikel ini menjadikan Sultra sebagai daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, di atas Maluku Utara (Malut) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan jumlah cadangan nikel sebesar 54,08 dan 41,97 juta ton (ESDM, 2024).
Dari sisi struktur perkonomiannya, Lapangan Usaha (LU) Pertambangan memainkan peranan penting pada perekonomian Sultra. Pada tahun 2023, kontribusi LU Pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sultra adalah sebesar 18,81%, menduduki peringkat kedua di bawah LU Pertanian dengan kontribusi sebesar 22,92%. Namun, besarnya peran LU Pertambangan ini nampaknya masih belum optimal terhadap perekonomian Sultra. Jika dibandingkan dengan daerah penghasil nikel lainnya, pada tahun 2023 Sulteng dan Malut mampu tumbuh sebesar 20,49% (yoy) dan 11,91% (yoy), jauh berada di atas Sultra yang hanya mampu tumbuh sebesar 5,35% (yoy) (BPS, 2023).
Lalu, apa yang membedakan Sultra dengan Malut dan Sulteng? Hal ini tentu menjadi pertanyaan yang menarik. Ditengah statusnya sebagai daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih berada jauh di bawah daerah dengan cadangan nikel yang lebih rendah. Jika dilihat dari struktur ekonominya, salah satu hal yang membedakan adalah pada sektor hilirisas, dimana sektor hilirisasi minerba Sulteng dan Malut jauh berada di atas Sultra.
Hal ini tercermin dari kontribusi LU Industri Pengolahan Sulteng dan Malut yang tercatat sebesar 36,82% dan 30,09% pada tahun 2023, jauh berada di atas Sultra yang tercatat sebesar 8,70% (BPS, 2023). Di Sultra sendiri, produk akhir hilirisasi nikel baru pada tahap satu yakni stainless steel dan ferronickel. Berbeda dengan Sulteng dan Malut yang sudah mencapai tahap tiga, yakni dapat menghasilkan mixed hydrollic precipitate (MHP) dan nickel sulphate yang dapat digunakan sebagai bahan baku baterai. Hasil hilirisasi nikel Sulteng dan Malut ini tentunya menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Sebagai perbandingan, hilirisasi hingga tahap stainless steel dan ferronickel hanya menghasilkan nilai tambah sebesar 2 hingga 4 kali lebih tinggi dari nickel ore (produk mentah nikel).
Berbeda dengan MHP dan nickel sulphate yang dapat menghasilkan nilai tambah sebesar 8 hingga 11 kali lebih tinggi dari produk nickel ore. Hal ini menyebabkan peran sektor pertambangan minerba Sulteng dan Malut berada di atas Sultra. Kebijakan Hilirisasi Minerba Nasional dan Sultra Berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP) tahun 2025 yang tertuang pada Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) No. 2 Tahun 2024, tema RKP Indonesia adalah”Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Salah satu prioritas pembangunan nasional adalah melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri yang tertuang dalam prioritas 5 (lima). Keberlanjutan hilirisasi dan industrialisasi ini akan dilaksanakan melalui 6 (enam) strategi, yaitu (1) pengembangan pembiayaan inovatif; (2) penguatan ekosistem industrialisasi; (3) aglomerasi industri secara merata seperti kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus; (4) optimalisasi penggunaan produk dalam negeri; (5) penguatan industri kecil dan menengah; dan (6) akselerasi penerapan industri hijau. Kebijakan hilirisasi pertambangan nikel di Sultra menjadi langkah strategis dalam memaksimalkan potensi sumber daya alam yang melimpah di wilayah tersebut. Sebagai salah satu daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, Sultra memiliki peran penting dalam mendukung kemandirian industri nasional, terutama di sektor pengolahan mineral.
Melalui hilirisasi, bahan mentah nikel diolah menjadi produk bernilai tambah seperti feronikel dan stainless steel, yang tidak hanya meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Langkah ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat ketahanan ekonomi melalui optimalisasi sumber daya domestik. Keuntungan dari hilirisasi nikel di Sultra sangat signifikan. Selain memberikan nilai tambah ekonomi, kebijakan ini juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor pengolahan dan industri turunannya. Hilirisasi mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pembangunan infrastruktur, pengembangan kawasan industri, dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat.
Selain itu, dengan menghasilkan produk setengah jadi atau jadi, Indonesia dapat mengurangi dampak fluktuasi harga nikel mentah di pasar global dan meningkatkan stabilitas pendapatan negara. Dengan pendekatan yang berkelanjutan, kebijakan ini juga berpotensi mendukung konservasi lingkungan melalui efisiensi penggunaan sumber daya dan pengolahan limbah. Hal ini menjadikan hilirisasi nikel sebagai katalisator utama untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Sultra. Ancaman Apa yang Akan Terjadi dalam Pengembangan Hilirisasi Minerba? Pengembangan industri nikel di Sultra membawa risiko signifikan, terutama dalam aspek lingkungan dan sosial. Aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel dapat menyebabkan kerusakan ekosistem, seperti deforestasi, hilangnya habitat satwa, dan pencemaran air akibat limbah tailing yang tidak dikelola dengan baik. Jika tidak ditangani secara optimal, dampak lingkungan ini dapat memicu konflik dengan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka.
Selain itu, risiko sosial seperti ketimpangan ekonomi dan gesekan antara penduduk lokal dengan tenaga kerja migran juga menjadi tantangan yang harus diantisipasi. Penyusunan dan pelaksanaan AMDAL yang ketat, serta program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), menjadi solusi penting untuk memitigasi risiko ini. Risiko ekonomi juga menjadi perhatian dalam pengembangan industri nikel, terutama akibat ketergantungan pada pasar global dan fluktuasi harga komoditas. Ketidakpastian pasar internasional dapat memengaruhi keberlanjutan investasi dan pendapatan daerah dari sektor ini. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi meningkatkan biaya produksi, terutama karena industri ini masih bergantung pada teknologi dan peralatan impor. Ketergantungan yang tinggi pada ekspor juga menjadikan industri nikel rentan terhadap kebijakan perdagangan negara tujuan.
Untuk mengurangi risiko ini, diperlukan diversifikasi pasar ekspor, penguatan rantai pasok domestik, dan pengembangan teknologi lokal guna meningkatkan daya saing dan stabilitas industri nikel di Sultra. Langkah Strategis untuk Mendorong Ekonomi Sultra yang Berkelanjutan melalui Hilirisasi Minerba Pemerintah dan pelaku usaha memiliki peran penting dalam mendorong hilirisasi nikel di Sulawesi Tenggara untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat mengambil langkah strategis dengan menyediakan insentif fiskal, membangun infrastruktur penunjang, serta memperketat regulasi lingkungan melalui pengawasan AMDAL yang efektif.
Selain itu, kolaborasi dengan institusi pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk menciptakan tenaga kerja lokal yang terampil dan siap bersaing di industri pengolahan nikel. Di sisi lain, pelaku usaha dapat berkontribusi dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan, mengembangkan rantai pasok domestik, serta menerapkan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal. Sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha ini tidak hanya akan meningkatkan nilai tambah produk nikel, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kompetitif, dan berwawasan lingkungan di Sulawesi Tenggara.(*)