Hilirisasi Pertanian: Menjaga Ketahanan Pangan Mendorong Ekonomi Berkelanjutan, oleh Makmur Panjaitan

  • Bagikan
Makmur Panjaitan Ekonom Yunior KPw Bank Indonesia Provinsi Sultra

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Lanskap ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19 di tahun 2019-2020 telah berubah secara dramatikal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Disrupsi berlanjut dengan ketegangan geopolitik dan semakin meningkatnya dampak perubahan iklim terhadap kondisi ekonomi dan sosial di berbagai negara.

Dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi global yang melambat, terganggunya rantai pasok, dan peningkatan harga komoditas pangan. Peningkatan harga pangan global tersebut juga diperburuk dengan adanya anomali iklim yang menyebabkan penurunan curah hujan dan ketersediaan air irigasi yang berdampak pada penurunan produksi pangan.

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara (Sultra) mampu pulih setelah mengalami penurunan tajam pada tahun 2020. Dilihat dari dua indikator ekonomi yaitu PDRB dan Inflasi Sultra mencatatkan angka yang relatif baik. Di tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Sultra mencapai 5,35% (yoy), sedikit di atas rata-rata nasional yang berada di angka 5,05% (yoy). Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan secara konsisten menjadi penyumbang terbesar terhadap PDRB Sultra, dengan kontribusi sebesar 22,92% pada tahun 2023. Sektor pertambangan dan penggalian menempati posisi kedua dengan kontribusi 18,81% (BPS, 2024).

Perekonomian Sultra yang) didominasi pertanian dan pertambangan menunjukan bahwa daerah ini masih tergantung kepada sektor primer. Namun demikian, kontribusi industri pengolahan sebagai sektor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan nilai tambah justru memiliki kontribusi relatif rendah, yakni hanya tercatat 8,70% pada tahun 2023. Untuk menghasilkan pertumbuhan daerah yang tinggi, hilirisasi industri di Sultra masih perlu ditingkatkan.

Berdasarkan data BPS, komoditas pangan (volatile food) menjadi penyumbang inflasi terbesar Sultra selama tiga tahun terakhir. Komoditas yang memiliki andil terbesar dalam pergerakan inflasi Sultra adalah beras, perikanan, aneka cabai, dan bawang merah. Ke depan, terdapat beberapa risiko inflasi pangan Sultra, yaitu dampak perubahan iklim yang mengganggu produksi pangan, kenaikan UMP dan pembangunan kawasan industri baru yang akan meningkatkan permintaan pangan, hingga kebijakan makan siang gratis diperkirakan akan meningkatkan kebutuhan pangan nasional.

Secara umum, Sultra banyak mendatangkan komoditas kebutuhannya dari luar daerah. Hal ini menyebabkan kondisi rantai pasok terutama komoditas volatile food di Sultra cenderung tidak stabil dan sangat dipengaruhi dengan adanya disrupsi seperti gangguan logistik, fluktuasi harga dari daerah produsen, anomali iklim serta kondisi produksi pangan lokal yang belum mencapai titik economics of scale dalam mendukung kemandirian pangan daerah.

Kondisi rantai pasok komoditas pangan tersebut perlu diperbaiki secara jangka pendek melalui perbaikan rantai disribusi dan program Kerja sama Antar Daerah (KAD) serta secara jangka panjang melalui pengembangan hilirisasi pangan. Pengembangan hilirisasi pangan di Sultra bertujuan untuk mendorong ketahanan pangan daerah melalui peningkatan produktivitas, meningkatan insentif untuk petani melalui peningkatan nilai tambah hasil produksi, serta meningkatkan kepentingan ekonomi di daerah melalui peningkatan sirkulasi uang dan volume perdagangan.

Ketua Umum ISEI Perry Warjiyo saat Kongres ISEI XXII 2024 di Surakarta menyampaikan strategi perluasan hilirisasi pangan di Indonesia dapat diterapkan secara bertahap dimana perlu dibagi menjadi dua fokus jangka waktu, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Hilirisasi jangka pendek diarahkan pada komoditas yang menopang ketahanan pangan serta bergantung pada ketersediaan teknologi sederhana yang mudah diakses petani lokal. Sedangkan hilirisasi jangka panjang berfokus pada komoditas yang memiliki potensi besar dan bergantung pada investasi pengembangan teknologi tinggi. Adapun beberapa komoditas yang dapat didorong adalah beras, perikanan, aneka cabai, bawang merah, rumput laut, dan kakao. Afandi & Feryanto (2023) menyusun matiks prioritas hilirisasi pangan di Indonesia berdasarkan Derajat Kepekaan (DK) dan Derajat Penyebaran (DP).

Komoditas prioritas I dan II merupakan komoditas hilirisasi pangan jangka pendek serta komoditas prioritas III dan IV Makmur Panjaitan Ekonom Yunior KPw Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan komoditas hilirisasi pangan jangka panjang. Berdasarkan matriks prioritas hilirisasi pangan tersebut, maka komoditas jangka pendek yang menjadi fokus di Sultra adalah beras, aneka cabai, bawang merah, dan perikanan. Sedangkan komoditas jangka panjang yang menjadi fokus di Sultra adalah rumput laut, kopi, dan kakao. Beras dapat dijadikan tepung beras, serta cabai dan bawang merah dapat dijadikan produk turunan yang lebih tahan lama seperti bawang goreng atau sambal dan bubuk cabai kemasan. Hilirisasi rumput laut, kopi, dan kakao dapat dibentuk dalam skala industri untuk menjadi berbagai produk turunan seperti produk kecantikan sampai produk makanan ringan premium.

Secara keseluruhan, sektor Pertanian dan Perikanan Sultra memiliki potensi yang sangat besar. Potensi yang besar ini perlu didorong dengan hilirisasi industri sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk Sultra. Selain itu untuk bisa maju dengan hilirisasinya Sultra juga memerlukan kualitas SDM unggul untuk mampu menjadi motor penggerak perekonomian daerah. Dilihat dari data indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2023, IPM Sultra tercatat sebesar 72,94 atau berada di bawah nasional yang tercatat sebesar 74,39 (BPS, 2023). Di sisi lain, jumlah penduduk Sultra tercatat sebesar 2,75 juta jiwa pada tahun 2023. Jumlah penduduk ini relatif rendah dengan luas wilayah sebesar 38.067,7 km2.

Dengan jumlah penduduk yang relatif rendah ini, Sultra dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan produktivitas sekaligus meningkatkan pendapatan per kapita penduduk sehingga bisa menjadi daerah dengan high income. Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan pada sisi indeks pembangunan manusia yang diukur melalui tiga hal, yaitu pendidikan, kesehatan, dan pendapatan sehingga hilirisasi dapat didorong secara optimal. BI juga berkomitmen pada pembangunan ekonomi berkelanjutan, sejalan dengan Asta Cita pemerintah nomor 2, 5, dan 6 yang menekankan ketahanan pangan, hilirisasi, serta pengembangan dari level Desa.

BI bersama para stakeholder terus berupaya untuk mendorong hilirisasi pangan demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) pembiayaan sektor hilirisasi, dimana total penyaluran KLM nasional untuk hilirisasi mencapai 63,72 Triliun Rupiah. Tak hanya itu, BI regional Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) juga turut melaksanakan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) yang bertema pertanian modern dan mendorong hilirisasi rumput laut dengan mengundang seluruh OPD terkait di Sulampua.

BI Sultra secara khusus telah membantu mewujudkan pencapaian hilirisasi pangan melalui program pemberdayaan pondok pesantren yang mereplikasi model bisnis hilirisasi pangan strategis dan bersinergi dengan HEBITREN Sultra melalui produk turunan berupa bubuk cabai dan saus cabai. BI Sultra juga berupaya meningkatkan inklusivitas keuangan pelaku usaha hilirisasi pangan berbasis mikro mealui skema business matching dan penyedian sarana pengolahan gabah berupa bed dryer dan Rice Milling Unit (RMU).

BI Sultra dan stakeholder juga secara aktif menyukseskan GNPIP 2024 melalui penandatangan beberapa Kerja sama Antar Daerah di Sultra sebagai salah satu strategi jangka pendek pemenuhan pasokan kebutuhan pangan daerah melalui peningkatan kelancaran distribusi dan ketersediaan pasokan komoditas strategis di sepanjang waktu.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version