Pembangunan Berbasis Pelayanan dan Ilmu Pengetahuan

  • Bagikan
Anfas (Direktur Universitas Terbuka Kendari)
Anfas (Direktur Universitas Terbuka Kendari)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Pilkada 2024 telah usai dan tidak lama lagi kita akan mengetahui hasilnya. Tentu akan melahirkan kepemimpinan daerah yang baru di berbagai provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Termasuk di Sulawesi Tenggara.

Ini adalah momentum strategis untuk membawa perubahan nyata dalam pembangunan daerah. Pemimpin baru memiliki tugas besar untuk memastikan bahwa kebijakan yang mereka terapkan ke depan, akan mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara efektif dan berkelanjutan.

Agar mempunyai dampak berkelanjutan, maka setidaknya diperlukan dua pendekatan penting yang patut menjadi perhatian kepala daerah terpilih nanti. Dua pendekatan itu yakni penerapan service-dominant logic dalam pelayanan publik dan optimalisasi peran staf ahli sebagai motor penggerak kebijakan berbasis ilmu pengetahuan.

Mengapa demikian? Sebab, salah satu tantangan besar dalam pengelolaan daerah selama ini adalah upaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Tidak jarang kita, mendengar masyarakat sering mengeluhkan bahwa “berganti Gubernur/Bupati/ Walikota, tetap sama saja, hidup kita begini-begini saja”. Cari kerja sulit, ongkos sekolah anak mahal dan berbagai curhatan lainnya yang pada intinya mereka belum puas terhadap kinerja pemerintah daerah.

Maka, dengan mengadopsi teori service-dominant logic, pelayanan bukan sekadar proses transaksi proyek antara pemerintah dan masyarakat, tetapi harus menciptakan nilai tambah (value) dan bersifat jangka panjang. Setiap interaksi dengan warga, harus dipandang sebagai peluang untuk membangun kepercayaan dan menciptakan hubungan yang lebih kuat.

Konsep Service- Dominant Logic Dalam Pelayanan Publik

Service-Dominant Logic (SDL) pertama kali diperkenalkan oleh Stephen Vargo dan Robert Lusch melalui artikel mereka yang berjudul “Evolving to a New Dominant Logic for Marketing” pada tahun 2004, yang dipublikasikan di Journal of Marketing. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap paradigma tradisional dalam pemasaran yang disebut Goods-Dominant Logic (GDL). Paradigma GDL berfokus pada produksi dan distribusi barang fisik serta mengutamakan pertukaran nilai dalam bentuk produk berwujud. Dalam GDL, nilai dianggap sebagai sesuatu yang melekat pada produk itu sendiri.

Dalam konteks SDL, Vargo dan Lusch mengusulkan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap pemasaran dan pelayanan. SDL menekankan bahwa nilai tidak ada secara inheren dalam produk atau jasa, melainkan diciptakan melalui proses interaksi antara penyedia layanan dan konsumen. Konsep ini menyoroti pentingnya penciptaan nilai bersama (co-creation of value) dan melihat semua kegiatan bisnis sebagai layanan, bahkan ketika melibatkan produk fisik.

Dalam konteks pelayanan publik, SDL membantu meredefinisi hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dengan menekankan kolaborasi dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan dan berorientasi pada kebutuhan warga.

Penerapan service-dominant logic akan mengubah paradigma pelayanan birokrasi yang sering dianggap kaku dan transaksional menjadi lebih ramah, responsif, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Misalnya, dalam pelayanan di sektor UMKM, perhatian pemerintah tidak lagi hanya berfokus pada bantuan modal semata, tetapi juga harus mampu membuat program pelatihan soft skill yang dapat meningkatkan daya saing mereka. Pelatihan yang diberikan dapat diukur outputnya, agar dijamin benarbenar bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan riil pelaku UMKM.

Demikian juga pada sektor lainnya. Pemerintah daerah harus mampu dan menjamin memberikan barang publik maupun pelayanan publik sebagaimana kita pelajari dalam ilmu pelayanan publik (public service). Sebab selama ini kita masih terjebak dengan konsep pelayanan publik itu seperti apa? Kebanyakan pegawai, ketika ditanya apa itu pelayanan publik? Jawabannya melayani surat menyurat, membuat surat izin dan berbagai jenis layanan kantor lainnya. Antara pekerjaan kantor (rutinitas) dengan pelayanan publik tidak dapat dibedakan.

Barang Publik dan Pelayanan Publik

Mengutip pendapat Prof. Hanif Nurcholis, salah satu pakar administrasi pemerintahan daerah/desa Universitas Terbuka, bahwa yang dimaksud barang dan/atau pelayanan publik yang wajib diselenggarakan atau disediakan oleh pemerintah adalah: (1) Kebutuhan dasar masyarakat (seperti: Sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, listrik, transportasi publik dan sejenisnya); (2) legalitas hukum (seperti: Sertifikat tanah, IMB, SIUP dan sejenisnya); (3) Sarana dan prasarana ekonomi (seperti: pasar, taman kuliner; terminal, bandara, Pelabuhan, Lembaga keuangan, irigasi pertanian, angkutan barang dan sejenisnya); (4) Pemberdayaan masyarakat marginal (seperti: pelatihan baik yang bersifat soft skill maupun hard skill, permodalan, layanan difabel, penanganan korban PHK, dan sejenisnya); (5) fasilitas umum dan sosial (seperti sarana ibadah, sarana olahraga, taman kota, jalan, perpustakaan, museum, panti asuhan, panti jompo, penanganan/pembinaan anak jalanan dan sejenisnya); (6) perlindungan warga (seperti: penjaminan lingkungan yang aman dan nyaman, ketersediaan sarana penanganan kebakaran, bencana alam, penjaminan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, dan sejenisnya).

Di atas adalah contoh barang publik dan atau pelayanan publik yang wajib diberikan kepada masyarakat. Bukan hanya sekedar pelayanan tamu, atau hanya sekedar melayani proses surat menyurat. Mengapa? Karena konstitusi mengamanatkan itu kepada siapa saja yang terpilih sebagai pimpinan daerah. Baik diminta/ dituntut masyarakat ataupun tidak, wajib tuk menyediakannya. Itulah yang akan dinilai, sebagai indicator keberhasilan seorang kepala daerah dalam memimpin hingga lima tahun mendatang.

Staf Ahli sebagai Aktor Intelektual Dalam Pelayanan

Salah satu yang sering juga disoroti pasca pilkada, adalah adanya orang-orang yang “terpinggirkan” di birokrasi akibat politik. Andaikan pun mereka tidak bisa tersingkirkan dengan cara langsung, maka “diparkir” sebagai staf ahli. Jabatan yang mentereng namun minim peran. Sebab kita tau bersama, bahwa staf ahli di birokrasi pemerintahan daerah hanyalah sebagai pelengkap birokrasi atau kumpulan mantan pejabat yang tak terpakai lagi di pemerintahan baru. Akibatnya, fungsi staf ahli seringkali tidak berjalan dengan optimal. Tugas mereka sering terbatas pada rutinitas administratif. Bahkan, ada di antara mereka yang jarang masuk kantor karena merasa disisihkan.

Padahal jika kita mengacu pada tupoksi mereka, justru staf ahli harusnya adalah kumpulan orang-orang terdidik. Tugas pokok dan fungsi mereka adalah melakukan kajian sebelum suatu kebijakan dilaksanakan. Dari hasil kajian itu, barulah dieksekusi oleh para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam bentuk program kerjanya.

Terbayang, jika staf ahli benarbenar menjalankan fungsi mereka sesuai dengan tupoksi yang ada. Maka, sekretariat staf ahli bisa menjadi pusat kajian yang mendalam tentang berbagai aspek, seperti dampak sosiologis pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan efektivitas layanan birokrasi. Hasil kajian tersebut kemudian disampaikan kepada Gubernur, Bupati, atau Wali Kota untuk dijadikan bahan evaluasi dan dasar dalam penyusunan kebijakan berikutnya.

Tentu saja, semua kajian tersebut harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan atas pesanan atau kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Tujuannya adalah demi kepentingan masyarakat luas, bukan elit politik atau pemilik modal besar. Semoga suatu saat, kita akan melihat staf ahli memainkan peran strategis dalam pembangunan daerah. (*)

  • Bagikan