Penulis: Dr. Darmin Tuwu, S.Sos, M.A (Dosen FISIP UHO Kendari)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Pada tanggal 27 November 2024 lalu, Negara Republik Indonesia melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melaksanakan pesta demokrasi terbesar yaitu melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) secara serentak di seluruh Nusantara. Setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk memilih dari ujung wilayah Barat (Sabang) hingga ujung wilayah Timur Indonesia (Merauke) berhak menyalurkan aspirasinya dengan cara mendatangi bilik-bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pemimpinnya di Tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota.
Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. UU ini mulai dijalankan pada bulan Juni 2005 ditandai dengan Pilkada langsung pertama di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Gagasan utama dari Pilkadal memang ideal, dimana rakyat di tingkat lokal dapat berpartisipasi secara langsung menentukan sendiri pimpinan daerahnya. Dengan cara ini maka cara pengangkatan oleh orang pusat seperti zaman sebelumnya akan berakhir.
Sejak pertama kali diperkenalkan, pilkada telah menjadi sarana untuk memilih pemimpin daerah yang diharapkan berkualitas. Pilkada serentak 2024 dilaksanakan di 545 daerah meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada tanggal 27 November 2024 diikuti oleh 1.556 pasangan kandidat kepala daerah di berbagai tingkat pemerintahan, terdiri dari: 103 pasang calon gubernur-wakil gubernur di 37 provinsi, 1.168 pasang calon bupati dan wakil bupati di 415 kabupaten, 284 pasang calon wali kota dan wakil wali kota di 93 kota.
Ada yang berbeda dengan pelaksanaan Pilkada serentak kali ini yaitu Pilkadal hanya berlangsung 1 putaran saja yang berpedoman pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Aturan ini mengatur pasangan calon Gubernur-wagub, calon Wali kota-Wakil Wali kota dan calon Bupati-Wakil Bupati yang memperoleh suara terbanyak akan langsung ditetapkan sebagai paslon terpilih. Hal ini diatur dalam Pasal 107 Ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada. Meski demikian, Provinsi DKI Jakarta merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki keistimewaan untuk menyelenggarakan Pilkada hingga dua putaran.
Proses dan Hasil Pemungutan Suara
Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) secara serentak di Indonesia telah dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024 kemarin. Tahapan pemungutan suara dan proses perhitungan suara telah dilakukan di setiap TPS. Hasil penghitungan dan Rekapitulasi Suara dimulai dari tingkat TPS, kemudian di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Perhitungan suara sudah diketahui hasilnya dari setiap TPS. Yang memperoleh suara terbanyak dari masing-masing calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan Gubernur/Wakil Gubernur sudah diketahui dari setiap TPS. Informasi ini bersumber dari warga yang mengambil sampel dari masing-masing TPS dimana mereka memilih. Sumber pengumuman resmi dari KPUD Provinsi dan KPU RI belum ada karena sementara dikerjakan. Hasil pemenang Pilkadal Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan Gubernur/Wakil Gubernur akan diumumkan secara resmi oleh Ketua KPU RI pada tanggal 15 Desember 2024 nanti.
Untuk itu, tanpa bermaksud mendahului pengumuman resmi dari KPU RI dan pelantikan, sebagai warga masyarakat Sulawesi Tenggara saya mengucapkan selamat kepada semua pemenang Pilkadal. Sekali lagi saya ucapkan selamat kepada para pemenang: Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan Gubernur/Wakil Gubernur, semoga menjadi pemimpin yang amanah.
Pesan “semoga menjadi pemimpin yang amanah, jujur, adil, berintegritas, clean and good governance” merupakan harapan masyarakat sekaligus cita-cita demokrasi. Oleh karena itu maka pesan ini perlu di highlight agar selalu diingat dan dilaksanakan oleh pemimpin, sebab pengalaman pada Pilkadal sebelumnya di Indonesia, bahwa beberapa kepala daerah terpilih setelah resmi dan menjabat Kepala Daerah, mereka ingkar dan lupa pada janji politiknya. Bahkan beberapa di antara mereka, ada yang terjerat dalam kasus korupsi (KKN) dan kasus-kasus tercela dan tidak terpuji lainnya.
Isu-isu krusial pada Masyarakat Majemuk
Indonesia merupakan negara bangsa yang masyarakatnya sangat beragam, dalam istilah J.S. Furnivall (2007) dan Van Den Berghe (2022) menyebutnya sebagai "Plural Societies". Keberagaman masyarakat Indonesia dapat dilihat dari suku, bahasa, budaya, adat istiadat, agama, pekerjaan, dll. Keberagaman masyarakat memiliki dua sisi yang tidak bisa dinafikan eksistensinya. Plural Societies dalam dirinya secara simultan menjadi potensi dan ancaman, kekuatan sekaligus kelemahan. Di satu sisi PS merupakan potensi kekayaan dan sumber kekuatan pemersatu bangsa yang mesti dijaga, dilestarikan, dan dikelola dengan baik (integrasi).
Namun di sini lain, Plural Societies juga merupakan sumber ancaman disintegrasi bangsa. Pancasila sebagai perekat dan sumber pemersatu bangsa mesti selalu di amplifier sehingga masyarakat selalu merasa terikat dan bersatu. Demikian pula UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada warga negara kelas satu, kelas dua, kelas tiga, dan seterusnya. Ketika sudah ada labelling pada warga negara, maka di situlah muncul masalah, yang akan menjadi pemicu terjadinya ketegangan, disharmony dan perpecahan dalam masyarakat. Kondisi ini akan melemahkan persatuan Indonesia.
Oleh karena itu, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja memperingatkan agar jangan membawa isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkadal) 2024. Mengapa demikian? Karena isu SARA potensial mengganggu kedamaian dan keamanan nasional (Antara, Rabu 25/9). Apalagi penyebaran isu sensitif terkait SARA semakin mudah melalui media sosial. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus bisa menata percakapan publik dan perilaku warga masyarakat supaya tidak terjebak dan terprovokasi dengan isu-isu murahan karena hal tersebut dapat membuat rasa persaudaraan, keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa menjadi melemah.
Krisis yang Mengintai dan Agenda ke Depan
Prof. Paulus Wirutomo, Sosiolog Universitas Indonesia, telah memperingatkan kepada para pemimpin, pakar, dan akademisi bahwa Indonesia kini sedang menghadapi sedikitnya 3 krisis besar, yaitu: kemiskinan, konflik dan kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup yang mengancam keberlangsungan kehidupan manusia di masa kini dan mendatang.
Pemerintah sebagai representasi dari negara (state) memiliki kewajiban untuk menyelesaikan krisis tersebut, atau paling tidak dalam level minimum, tidak membuat krisis semakin kompleks. Kondisi tersebut, dalam diksi Prof. Suharko (2024), Sosiolog Universitas Gadjah Mada, disebut dengan istilah “Polycrisis”. Secara konseptual, polikrisis mengacu pada gambaran krisis makro yang mondial, yang bersumber dari berbagai kegagalan yang saling terkait. Jika tidak terkendali, polikrisis akan mendegradasi masa depan kemanusiaan.
Pertama, isu kemiskinan. Sebagai negara yang terus berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kemiskinan dan ketimpangan sosial, Indonesia memerlukan pemimpin yang bukan hanya mampu meraih suara terbanyak dalam pemilu, tetapi yang lebih penting adalah dapat membuat kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun angka kemiskinan secara nasional terus menurun, namun ketimpangan antardaerah masih sangat mencolok. Di wilayah-wilayah terpencil, masyarakat kerap kesulitan mengakses kebutuhan dasar seperti transportasi, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Kedua, isu kekerasan. Sikap tidak menghargai, saling menghina dan mencaci, menyebarkan berita hoax, hate speech, dan bullying. Disrupsi ini memunculkan ketercabikan kohesi sosial, merosotnya kualitas kehidupan sosial, dan memicu terjadinya konflik. Kondisi tersebut mengancam keselamatan manusia.
Ketiga, krisis lingkungan. Indonesia sudah, sedang, dan akan menghadapi berbagai degradasi ekologi yang disebabkan oleh karsa pertumbuhan (the will to improve). Sifat karsa pertumbuhan yang terlalu mengutamakan pada akselerasi ekonomi tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan sosial membawa dampak masif kepada kondisi sebuah wilayah.
Di beberapa daerah yang lokasinya berdekatan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) atau kegiatan ekstraktif lainnya, bencana ekologis sudah mulai banyak bermunculan. Bencana ekologis itu hadir dalam berbagai bentuk, bergantung dengan konteks geografi dan aktivitas ekonomi yang dijalankan di wilayah tersebut. Di Morowali, tempat sentral pertambangan nikel di Indonesia, kerusakan lingkungan sudah terjadi secara masif.
Penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak menemukan bahwa air dan sungai di sekitar perusahaan mengalami kondisi cemar dan mengandung logam. Hal itu membuat penduduk sekitar harus mencari air di tempat yang jauh dari rumahnya. Selain itu, pencemaran air juga mengganggu penghidupan masyarakat nelayan karena air limbah dari pertambangan nikel menyebabkan air laut tercemar dan banyak ikan mati. Alhasil, nelayan tidak bisa lagi melaut yang mengakibatkan pendapatan menurun, bahkan banyak nelayan kehilangan pekerjaan.
Terakhir, semua krisis di atas: kemiskinan, konflik-kekerasan, dan krisis lingkungan sudah ada juga dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu pemerintah bersama dengan pakar, akademisi, dan masyarakat berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan alam dan lingkungan social yang aman, damai, dan sejahtera. Hal tersebut sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, atau SDGs), yaitu agenda pembangunan global untuk mengakhiri kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan melindungi planet dari kerusakan, untuk kelanjutan hidup manusia di masa sekarang dan akan datang. (*)