--Pengamat: Money Politic Marak dalam Pilkada
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 telah usai. Saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sultra melalui badan adhoc tengah fokus melaksanakan rekapitulasi perhitungan suara secara berjenjang. Rencananya, KPU Sultra bakal mengumumkan hasil Pilkada pada Desember 2024. KPU Sultra sudah mengantisipasi potensi terjadinya gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota KPU Sultra, Amirudin, menyatakan pihaknya telah memitigasi terkait kemungkinan paslon mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas hasil Pilkada serentak. "Kami melakukan pencermatan pada proses rekapitulasi yang berlangsung dari tingkat kecamatan, kabupaten dan kota, serta provinsi pasca pencoblosan," ujarnya, Jumat (29/11/2024).
Amirudin mengungkapkan potensi gugatan kemungkinan baru dilakukan pasca proses rekapitulasi penghitungan hasil Pilkada tuntas seluruhnya pada pertengahan Desember 2024.
"Kami telah berkoordinasi dengan penyelenggara di lapangan, dan hasilnya, belum ada aduan terkait pelanggaran Pilkada. Meski berpotensi terdapat gugatan terhadap hasil Pilkada, kami memastikan secara umum pesta demokrasi tingkat daerah ini berlangsung lancar," ungkap Amirudin.
Sementara itu, Pengamat Politik Sultra, Asriani, S.IP., M.A mengungkapkan potensi gugatan terhadap hasil Pilkada berpotensi dilayangkan pasangan calon (paslon) kepala daerah (Kada) Mahkamah Konstitusi (MK).
Asriani mengungkapkan beberapa hal yang berpotensi memicu gugatan terhadap hasil Pilkada di Sultra. Asriani mencontohkan potensi gugatan khususnya di Kolaka Utara, yaitu temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dugaan serangan fajar atau money politic.
"Temuan Bawaslu tentang dugaan serangan fajar atau money politik akan menjadi dasar bagi paslon lain yang merasa dirugikan. Ini karena, dari sisi penyelenggaraan Pilkada berdasarkan peraturan perundang-undangan Pilkada, tindakan tersebut sudah menyalahi aturan. Penyelenggara Pilkada seharusnya bisa mencegah terjadinya potensi money politic," ujar Asriani, Jumat (29/11/2024).
Akademisi Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisip Universitas Halu Oleo (UHO) itu menyayangkan maraknya money politic di Pilkada 2024 di Sultra. Menurut Asriani, money politic menandakan bahwa pesta demokrasi masih cenderung menggunakan praktik tersebut. "Partisipasi masyarakat dalam Pilkada seharusnya murni aspirasi dari masyarakat, bukan ditunggangi oleh transaksi uang," tegasnya.
Asriani juga menyoroti potensi gugatan terkait hasil quick count yang diumumkan sebelum proses perhitungan resmi KPU selesai. "Sangat disayangkan, hasil quick count sudah diumumkan saat proses perhitungan KPU belum selesai. Seharusnya kita menunggu hasil perhitungan resmi dari KPU untuk memastikan keakuratan data," ujar Asriani.
Sementara itu, Pengamat Demokrasi dan Politik Sultra, Andi Awaluddin Maruf, S.IP., M.Si mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik money politic di Pilkada 2024.
"Politik uang yang terjadi di Pilkada serentak ini telaten. Ada tapi tidak kelihatan wujudnya. Yang menjadi masalah, penyelenggara tidak bisa secara langsung membuktikan maraknya fenomena politik uang itu," ujarnya kepada Kendari Pos, Jumat (29/11/2024).
Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) itu menilai, praktik money politic di Pilkada 2024 sudah sistematis dan tidak terlihat. "Yang paling mendasar juga bagaimana sikap masyarakat yang justru menunggu serangan politik uang. Penyakit Pilkada hari ini, salah satunya praktik politik uang menjadi komoditas politik masyarakat. Masyarakat menunggu serangan uang," tambahnya.
Lebih lanjut, Andi Awaluddin Maruf mengungkapkan meskipun tantangannya penyelenggara Pilkada yang mengawasi politik uang ini sangat terbatas, seharusnya masyarakat yang aktif melaporkan politik uang ketika terjadi praktik ini. "Justru masyarakat yang mendukung," ungkapnya.
Andi Awaluddin Maruf juga menyoroti potensi gugatan terkait dengan kecurangan Pilkada. Ia mengungkapkan, kemungkinan besar gugatan Pilkada tahun ini dari sisi penyelenggara Pilkada, misalnya jika terjadi dugaan penggelembungan suara, ada mekanisme pemungutan suara yang tidak sesuai mekanisme, dan ada DPT siluman dan lain-lain.
“Tapi kelemahannya, gejala ini tidak nampak di media lokal. Tidak ada berita tentang gejolak pelanggaran Pilkada, juga tidak ada pelapor. Kecurangan Pilkada di protes jika ada fenomena, praktik pelanggaran. Tapi sampai hari ini hampir tidak ada gejolak yang terjadi. Tidak ada riak yang signifikan terkait pelanggaran Pilkada," jelas Andi Awaluddin Maruf. (ags/b)