Imbas Serangan Fajar: Apakah Kepala Daerah Wajib Korupsi?

  • Bagikan
Muh. Siddik Ibrahim: Ketua Mata Garuda Sulawesi Tenggara
Muh. Siddik Ibrahim: Ketua Mata Garuda Sulawesi Tenggara

--"Berapa seranganmu? Ada serangannya ka itu? Jangan mi saya kalau tidak ada serangannya e".

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Sudah menjadi hal yang biasa kita dengar ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan. Fenomena ini tentu bukan hal yang baru. Setiap kali Pilkada datang, kita tak pernah benar-benar terkejut dengan praktek-praktek curang yang merajalela. Disisi lain, yang jauh lebih memprihatinkan adalah sikap para pengawas, yang seakan-akan enggan melakukan tindakan nyata. Panitia Pengawas Pemilu—yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan—ternyata lebih sering menjadi "penonton" daripada "pemain", lebih sering menutup mata dalam mempertahankan integritas proses demokrasi.

Memang, dalam kondisi seperti ini, politik uang seringkali menjadi senjata yang tak terelakkan bagi calon kepala daerah untuk meraih kursi. Bahkan, bukan hal yang aneh jika biaya besar dikeluarkan hanya untuk memenangkan hati para pemilih dengan cara-cara yang tidak sehat. Ujung-ujungnya, kita tidak bisa lagi berbicara tentang visi dan misi, karena yang dipertaruhkan adalah berapa banyak serangan yang bisa diberikan. “Kita pilih saja dia ini karena banyak serangannya”. Calon yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya, baik itu dana atau jaringan, biasanya lebih berpeluang besar untuk menang, meskipun belum tentu dia memiliki kapasitas untuk memimpin.

Pada titik ini, kita mulai menyadari bahwa proses demokrasi kita telah terdistorsi. Yang seharusnya menjadi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan integritas, visi, dan kemampuan mereka, malah berubah menjadi ajang pertarungan untuk mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya. Masyarakat, yang mestinya memiliki peran utama dalam memilih pemimpin mereka, justru terkadang terjebak dalam pilihan-pilihan yang telah dipengaruhi oleh praktikpraktik semacam ini. Politik uang seolah menjadi norma, dan yang paling merugikan adalah ketidakmampuan sistem pengawasan untuk menanggulangi masalah ini.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, mencatat adanya peningkatan kelompok pemilih transaksional pada Pemilu 2024 yang sebelumnya pada Pemilu 2019 memiliki persentase sebesar 28 persen menjadi 35 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa politik uang menjadi salah satu faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi pilihan politik masyarakat, meskipun tidak selalu disadari oleh pemilih bahwa mereka sedang terjebak dalam lingkaran politik transaksional. Fenomena ini tidak hanya berlaku di tingkat lokal, tetapi juga di banyak daerah, di mana praktik serupa sering ditemui pada tingkat nasional. Hal ini tentu saja membuktikan betapa pentingnya meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye dan mengedukasi pemilih agar lebih kritis dalam memilih pemimpin.

Imbas dari permasalahan ini, tidak lain dan tidak bukan adalah adanya kebiasaan kepala daerah yang terpilih untuk segera mengembalikan "investasi politik" yang telah mereka keluarkan selama kampanye. Tak jarang, investasi ini melibatkan praktik korupsi. Ketika kepala daerah merasa telah menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan pemilu, mereka kemudian mencari cara untuk mengembalikan biaya tersebut melalui proyek-proyek yang tidak transparan, pengalokasian anggaran yang tidak tepat, atau bahkan dengan cara yang lebih ekstrem seperti penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara tingginya biaya kampanye dengan meningkatnya angka korupsi di pemerintahan daerah. Berdasarkan catatan KPK dalam hal penanganan perkara korupsi, sejak Pilkada lansung diselenggarakan sampai saat ini, ada sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus tindak pidana korupsi, dengan rincian 18 gubernur dan 343 bupati/walikota.

Siklus ini menciptakan lingkaran setan yang menguntungkan segelintir orang, namun merugikan masyarakat luas. Kepala daerah yang terpilih melalui caracara tidak sah lebih cenderung melakukan korupsi karena mereka merasa “berhutang” pada para sponsor dan pendukung yang membiayai kampanye mereka. Masyarakat yang mestinya menjadi pihak yang mendapat manfaat dari pemerintahan yang bersih dan adil, justru menjadi korban dari kebijakan yang tidak transparan dan penuh manipulasi. Alhasil, pelayanan publik yang mereka terima pun sering kali terhambat atau bahkan terkikis oleh praktik korupsi yang merajalela.

Apa yang harus kita lakukan untuk memutus siklus ini? Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperkuat pendidikan politik bagi masyarakat, agar mereka tidak lagi terjebak dalam politik uang atau janji manis yang tidak berdasar. Pendidikan politik yang lebih baik akan memungkinkan masyarakat untuk memahami dengan lebih mendalam mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pemilih. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka bisa lebih bijak dalam memilih pemimpin, bukan hanya berdasarkan janji-janji instan, tapi juga pada rekam jejak dan kemampuan calon tersebut dalam menjalankan roda pemerintahan. Memang, ini bukan hal yang mudah, tetapi perubahan ini harus dimulai dari kita semua, agar ke depannya, kita tidak lagi terjebak dalam politik yang semu dan merugikan. Karena pada akhirnya, kita yang akan menanggung akibat dari politik yang buruk ini.

Sebagai bagian dari rakyat, kita juga harus mendorong adanya transparansi yang lebih besar dalam proses pemilu dan pengawasan yang lebih ketat terhadap dana kampanye. Tanpa kontrol yang jelas, uang dan kekuasaan akan terus menjadi kombinasi yang menggoda bagi mereka yang punya niat tidak baik. Jika ini dibiarkan, kita hanya akan terus berada dalam lingkaran setan yang menguntungkan segelintir orang dan merugikan seluruh bangsa. Pengawasan yang lebih ketat terhadap dana kampanye, misalnya, dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi yang lebih transparan dalam pelaporan penggunaan dana, seperti sistem pelaporan online yang dapat diakses oleh publik dan lembaga-lembaga independen.

Selain itu, meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pengawasan pemilu sangat penting. Di beberapa negara yang sudah maju, masyarakat diberi ruang lebih besar untuk ikut serta dalam pengawasan pemilu. Ini termasuk partisipasi aktif dalam melaporkan pelanggaran yang mereka saksikan, serta memberikan suara dalam menentukan kebijakan pengawasan yang lebih efektif. Pemerintah, lembaga pengawas pemilu, dan organisasi masyarakat sipil harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran, termasuk praktik politik uang, dapat dilaporkan dan ditindaklanjuti dengan cepat.

Jadi, jawabannya: Apakah kepala daerah wajib korupsi? Tentu tidak. Tetapi, jika kita terus membiarkan keadaan ini tanpa perbaikan yang signifikan, kita tidak bisa lagi menyalahkan siapa pun ketika integritas pemilu dan pemerintah daerah kita semakin dipertanyakan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki kondisi ini—baik sebagai pemilih yang cerdas, pengawas yang tegas, maupun warga negara yang aktif dalam menjaga integritas demokrasi.

Dengan demikian, bukan hanya para calon kepala daerah yang harus berkomitmen untuk menghindari praktik korupsi, tetapi kita sebagai masyarakat juga harus berperan aktif dalam memastikan bahwa pemilu yang kita jalani tetap bersih, transparan, dan berintegritas. Sebab, pada akhirnya, kita yang akan menanggung akibat dari politik yang buruk ini.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version