Literasi Karbitan: Pengalaman Awal yang Menyakitkan

  • Bagikan

Suhardiyanto - Founder Gerakan Literasi Baubau (GLB) dan PKBM Inklusi Mainawa Kreativa

Teman saya yang tinggal di pulau Siompu suatu kali pernah bercerita. Ia panik dengan anaknya yang berusia enam tahun namun belum bisa membaca. Padahal sebentar lagi Mawar (nama disamarkan) akan masuk sekolah dasar. Bagaimana nanti Mawar bisa mengikuti pembelajaran? Satu kegetiran yang tidak saja dirasakan oleh teman saya, tapi juga mewakili perasaan sebagian besar orang tua lainnya.

Suatu hari Mawar pulang sekolah dengan menangis tersedu-sedu. Ditemani oleh satu ibu guru. “Begini Pak! Mawar ini susah sekali diajar membaca. Satu kali saya ajar…dilupa. Diajar lagi, besoknya dilupa lagi. Akhirnya saya cubit mi biar dia tidak lupa-lupa lagi dengan pelajaran,” tutur sang guru.

“Owh tidak apa-apa, Ibu Guru. Kalau perlu sering cubit biar dia tidak malas belajar membaca,” balas teman saya.

Bukan satu dua cerita perihal kekerasan yang mewarnai langkah pertama anak dalam mengenal literasi. Kepanikan orang tua dan guru pada anak yang belum bisa membaca—biasanya diusia menjelang masuk SD—membuat mereka menerapkan metode “karbitan” agar anak cepat bisa membaca. Agar anak mampu melewati tes baca tulis dan diterima di sekolah—yang katanya—unggulan.

Saya mengambil istilah "karbit" merujuk pada satu usaha yang tidak natural dan terkesan dipaksakan. Menggunakan metode belajar yang memaksa anak untuk lekas bisa calistung (membaca, menulis, menghitung) melalui cara-cara yang otoriter, mendikte satu arah (teacher centre), tekstual, menggunakan pemaksaan dan ancaman yang mencerabut kebahagian dalam fitrah belajar. Biasanya karena ingin cepat dapat hasil, kekerasan verbal dilakukan dengan menyebut atau menakut-nakuti anak dengan label negatif: awas jadi anak nakal, bodoh, atau idiot. Bahkan yang sangat disayangkan, kekerasan fisik menjadi pilihan. Tak sedikit anak yang dicubit bahkan dipukul hanya karena mereka belum bisa membaca.

Metode karbit ini biasanya berhasil membuat anak bisa membaca namun mengorbankan kemampuan-kemampuan emas anak yang lainya. Alih-alih mengantar anak pada tumbuh kembang yang optimal, pengenalan literasi melalui pemaksaan mengantarkan anak pada trauma belajar. Membaca terasosiasi menjadi proses belajar yang kaku, memaksa, dan jauh dari kata menyenangkan. Dalam jurnal berjudul  Kunci Literasi: Jangan Paksa Anak Membaca? Febriyanti dkk (2023) menyebut, pemaksaan apapun untuk anak akan dianggap sebagai sesuatu yang mengancam atau tidak menyenangkan, dan anak biasanya berusaha menghindarinya. Anak yang menghindari inilah yang kemudian menjadi malas membaca, malas belajar menulis dan berhitung, dan seringkali jadi malas ke sekolah.

Anak-anak TK Dana Kota Baubau dengan antusias mendengarkan cerita dalam kegiatan literasi bertema 'Literasi Cerdaskan Generasi' yang mendorong kecintaan pada buku dan pembelajaran.

Senada dengan itu, Retno Listiyarti selaku Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menerangkan bahwa memaksa anak untuk membaca pada usia tertentu, seperti di usia TK dan PAUD, bisa menimbulkan ketidaksukaan anak untuk membaca di masa depan. Pemaksaan belajar membaca dapat menghambat pertumbuhan otak kanan anak.

Jim Trelease, pakar read aloud, memberi masukan penting dalam menyikapi persoalan ini: “kita harus memastikan bahwa pengalaman awal anak dalam hal membaca itu tidak menyakitkan sehingga mereka senantiasa gembira mengingat pengalaman tersebut, kini, dan selamanya. Namun, jika pengalaman-pengalaman awal itu terus menerus menyakitkan, kita hanya akan menciptakan pembaca di jam sekolah, alih-alih pembaca seumur hidup.”

Pemerintah menyadari bahwa kemahiran membaca belum menjadi tugas tumbuh kembang anak di usia awal masuk sekolah. Kesadaran itu terlihat dari imbauan kepada sekolah-sekolah untuk tidak menjadikan tes baca tulis dalam seleksi penerimaanya. Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, menyebut secara gamblang pada pasal 30 ayat (3) yaitu seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung.

Kebijakan penghapusan tes calistung ketika masuk SD merupakan implementasi program Merdeka Belajar tentang transisi PAUD ke SD yang menyenangkan. Pakar Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr. Martadi mengapresiasi kebijakan tersebut sebagai semangat untuk meluruskan mispersepsi calistung di jenjang SD atau MI.

"Tes calistung memang belum fasenya diberikan kepada anak usia 0-6 tahun. Selain itu, guru cenderung fokus mengajar calistung ketimbang memaksimalkan enam aspek pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini," papar Martadi (Detik.com diakses 23 September 2024).

Sayang kebijakan ini kurang dipahami dan diaplikasikan dengan baik. Tidak sedikit sekolah yang merasa “unggul” dengan menerapkan the best input. Prosesnya dimulai dengan menyeleksi calon peserta didik melalui kemampuan calistung. Sekolah tidak mau “repot” mengurus anak-anak yang belum bisa membaca. Satu orang tua pernah curhat pada saya terkait anaknya yang dibully karena belum lancar membaca. “Silakan keluarkan saja anakmu dari sekolah ini. Masih banyak yang antri,” demikian isi chat kepala sekolah yang membuat hati orang tua terluka.

Padahal sekolah yang idealnya berorientasi pada the best proses. Sekolah yang percaya bahwa semua anak juara di bidangnya. Sekolah yang menatap seluruh anak adalah bintang. Kalaupun di awal masuk calon peserta didik mengalami berbagai hambatan belajar termasuk belum bisa membaca, para guru melihatnya sebagai anugerah dan peluang untuk mewujudkan the best proses. Bukankan sekolah atau guru yang hebat terjadi ketika mampu mengubah siswa yang tadinya belum bisa menjadi bisa? Kebahagian hakiki seorang guru terasa manakala ia melihat perkembangan anak didiknya. Di titik inilah guru mencapai inspirasinya sebagai agent of change. Sebaliknya, sekolah yang the best input hanya berorientasi pada anak-anak yang juara akademis. Dan menerapkan seleksi yang ketat agar anak-anak yang dianggap bodoh tidak masuk ke sekolah karena bakal dianggap merepotkan. Anak belum bisa membaca termasuk bagian dari korban seleksi sekolah itu.

Jadi sangat disayangkan jika anak yang belum bisa membaca harus menjadi korban dari ketidaktauan sekolah, guru, atau orang tuanya. Kita tidak mungkin memaksa seorang bayi untuk meminum secangkir kopi hitam karena itu bukan kebutuhannya. Harusnya kesadaran yang sama juga kita terapkan pada anak-anak di fase awal sekolah untuk tidak memaksanya calistung karena hal tersebut belum menjadi tugas tumbuh kembangnya. Kita tidak ingin ada Mawar-Mawar lain yang menjadi korban dari kebodohan kolektif yang ngotot dipertahankan.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version