Antara Kebutuhan Ekonomi dan Pilihan Politik: Refleksi Sosial dari Masifnya Politik Uang di Pilkada

  • Bagikan
Asriani, S.IP.,M.A - Dosen Jurusan Ilmu Politik & Pemerintahan, FISIP Universitas Halu Oleo
Asriani, S.IP.,M.A - Dosen Jurusan Ilmu Politik & Pemerintahan, FISIP Universitas Halu Oleo

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Mengapa Politik Uang Kian Masif? Fenomena politik uang, atau yang sering disebut sebagai "serangan fajar," telah menjadi praktik umum dalam setiap pesta demokrasi, termasuk Pilkada serentak. Kondisi ini terjadi karena dua faktor utama: lemahnya regulasi dan tingginya ketimpangan ekonomi. Kandidat yang ingin menang dengan mudah sering kali memilih jalur pragmatis, yaitu memberikan uang kepada pemilih, dengan harapan dapat membeli suara tanpa perlu bersusah payah meyakinkan mereka melalui visi dan program kerja.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum turut memperburuk keadaan. Meski regulasi seperti Undang-Undang Pemilu sudah melarang praktik politik uang, penerapan sanksi yang tidak konsisten membuat pelaku merasa aman. Akibatnya, budaya politik transaksional ini terus tumbuh subur, khususnya di daerah- daerah dengan tingkat literasi politik rendah. Fenomena ini mencerminkan demokrasi yang terdistorsi, di mana suara rakyat tidak lagi murni, tetapi dikendalikan oleh uang.

Serangan Fajar: Sebuah Cermin Ketimpangan Sosial

Serangan fajar, yang identik dengan praktik politik uang menjelang hari pemilihan, mencerminkan ketimpangan sosial yang masih mengakar di banyak daerah. Ketimpangan ini terlihat dari bagaimana uang tunai menjadi daya tarik utama bagi sebagian besar pemilih, terutama di daerah pedesaan atau kawasan dengan tingkat kemiskinan tinggi. Kandidat yang memiliki modal besar memanfaatkan situasi ini untuk meraih simpati pemilih dengan memberikan uang tunai sebagai bentuk “bantuan”. Di sisi lain, pemilih menganggap uang tersebut sebagai keuntungan langsung, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas kepemimpinan di masa depan. Bagi banyak warga, uang yang diberikan oleh kandidat dianggap sebagai bantuan instan yang dapat memenuhi kebutuhan mendesak, seperti membeli sembako atau membayar utang. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, penolakan terhadap politik uang menjadi hal yang nyaris mustahil, meskipun mereka tahu bahwa itu melanggar hukum.

Praktik ini juga mengindikasikan lemahnya fungsi demokrasi dalam menciptakan ruang diskusi yang sehat antara kandidat dan masyarakat. Ketimbang menawarkan visi dan program yang konkret, banyak kandidat memilih untuk memanfaatkan celah ketimpangan ini. Mereka melihat bahwa kebutuhan ekonomi masyarakat yang mendesak lebih mudah diubah menjadi alat transaksional, sehingga menghilangkan esensi politik sebagai proses pencarian solusi atas masalah-masalah publik.

Dalam banyak kasus, masyarakat merasa tidak memiliki pilihan lain selain menerima uang dari kandidat. Mereka terjebak dalam logika pragmatis bahwa uang tersebut adalah bentuk “kompensasi” atas suara mereka. Pemahaman ini mempertegas betapa kurangnya literasi politik di tingkat akar rumput. Ketimpangan sosial yang menjadi dasar praktik ini tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga memperkuat ketergantungan masyarakat pada praktik transaksional yang berulang di setiap pemilu.

Dampak Politik Uang terhadap Pilihan Pemilih

Politik uang berdampak besar pada perilaku pemilih dan kualitas demokrasi lokal. Dalam sistem politik transaksional ini, suara pemilih tidak lagi mencerminkan aspirasi atau preferensi mereka terhadap kandidat yang dianggap kompeten. Sebaliknya, keputusan memilih lebih banyak dipengaruhi oleh keuntungan finansial sesaat yang diterima sebelum hari pemungutan suara, sehingga kompetisi tidak lagi adil bagi kandidat yang jujur dan berintegritas. Akibatnya, proses demokrasi kehilangan esensi sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin yang mampu memperjuangkan kepentingan rakyat.

Pemilih yang terlibat dalam praktik ini cenderung mengabaikan visi dan misi kandidat. Fokus mereka hanya pada nominal uang yang diterima, tanpa mempertimbangkan kemampuan kandidat untuk memimpin atau mengelola pemerintahan. Dalam jangka panjang, hal ini berdampak buruk bagi tata kelola pemerintahan merusak moralitas politik karena kandidat yang terpilih sering kali merasa tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Sebaliknya, mereka merasa berkewajiban untuk mengembalikan modal politik yang telah mereka keluarkan selama kampanye. Pola ini memicu siklus korupsi, mulai dari penyalahgunaan anggaran hingga kolusi dengan pihak-pihak yang mendukung kemenangan mereka.

Konsekuensi lain dari politik uang adalah terjebaknya pemilih dalam lingkaran setan korupsi. Pemimpin yang terpilih dari proses ini cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dibandingkan kepentingan masyarakat luas. Selain itu, kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak berorientasi pada pemerataan pembangunan atau pengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini, politik uang bukan hanya merusak proses pemilu, tetapi juga memperdalam krisis kepercayaan terhadap demokrasi.

Kebutuhan Ekonomi vs Kesadaran Politik

Tingginya angka kemiskinan menjadi alasan utama di balik penerimaan masyarakat terhadap politik uang. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, uang tunai yang diberikan oleh kandidat dianggap sebagai “angin segar” yang mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, meskipun hanya sementara, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Realitas ini membuat banyak pemilih merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima uang tersebut. Namun, di balik penerimaan ini, terdapat konsekuensi besar yang sering kali diabaikan oleh masyarakat. Situasi ini menunjukkan bahwa, di satu sisi, masyarakat adalah korban dari sistem yang tidak adil, tetapi di sisi lain, mereka juga menjadi bagian dari masalah dengan mengabaikan pentingnya integritas dalam proses pemilu.

Disisi lain, rendahnya kesadaran politik juga menjadi akar masalah bahkan memperparah situasi ini. Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa menerima uang dari kandidat adalah bentuk pelanggaran etika politik yang merusak demokrasi.serta sama saja dengan menjual masa depan mereka. Mereka mungkin mendapatkan keuntungan sementara, namun mereka sering kali tidak menyadari bahwa uang tersebut adalah investasi buruk yang akan dibayar mahal melalui kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, korupsi, atau pembangunan yang stagnan. pada akhirnya masyarakat harus menanggung konsekuensi buruk dari pemimpin yang tidak kompeten atau tidak peduli pada kepentingan publik. Meningkatkan literasi politik menjadi salah satu langkah penting untuk mengubah pola pikir ini, guna menciptakan pemilu yang sehat.

Perlu dipahami bahwa masyarakat juga adalah korban dari sistem yang tidak adil. Ketika kebutuhan ekonomi menjadi prioritas utama, sulit bagi mereka untuk menolak iming-iming uang, meskipun mereka tahu itu salah. Oleh karena itu, solusi untuk masalah ini tidak hanya bergantung pada membangun kesadaran politik, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan politik perlu diintegrasikan dengan programprogram pemberdayaan ekonomi agar masyarakat dapat memiliki daya tawar lebih dalam proses politik.

Peran Elite Politik dalam Melanggengkan Praktik Ini

Elite politik memainkan peran besar dan memiliki tanggung jawab besar dalam melanggengkan praktik politik uang. Banyak kandidat yang seharusnya menjadi contoh demokrasi yang bersih justru terjebak dalam praktik transaksional ini. Kandidat lebih memilih jalan pintas dengan menggunakan uang daripada melakukan pendekatan berbasis ide dan program. Mereka memanfaatkan kebutuhan ekonomi masyarakat untuk memenangkan suara dengan cara yang tidak etis. Strategi ini tidak hanya menunjukkan lemahnya komitmen mereka terhadap demokrasi, tetapi juga memperburuk kualitas politik di tingkat lokal.

Dalam banyak kasus, tim sukses kandidat merancang sistem distribusi uang yang terstruktur dan masif, bahkan melibatkan jaringan yang luas untuk menjangkau pemilih di berbagai wilayah untuk mendapatkan suara maksimal. Uang disebarkan secara diam-diam, terutama pada malam sebelum pemungutan suara, dengan tujuan meminimalkan risiko pengawasan. Praktik ini menciptakan ketidakadilan bagi kandidat lain yang mencoba berkompetisi secara jujur. Selain itu, politik uang juga mendorong kandidat untuk lebih fokus pada akumulasi kekayaan daripada membangun komunikasi politik yang sehat dengan rakyat.

Peran elite tidak hanya terbatas pada praktik politik uang, tetapi juga pada pembentukan opini bahwa uang adalah alat utama dalam politik. Mereka cenderung mengabaikan pentingnya membangun program yang berbasis kebutuhan masyarakat dan malah menjadikan uang sebagai “komoditas” utama dalam meraih dukungan. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka demokrasi akan kehilangan kepercayaan dari rakyat dan hanya menjadi panggung bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial besar.

Bagaimana Memberantas Politik Uang?

Memberantas politik uang membutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak. Pengawasan yang lebih ketat dari Bawaslu dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas. Tidak hanya kandidat, pemilih yang menerima uang juga perlu diberi pemahaman bahwa tindakan tersebut melanggar hukum. Sosialisasi regulasi yang lebih masif dan sanksi yang konsisten dapat menjadi langkah awal untuk memutus rantai praktik ini.

Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat perlu ditingkatkan. Media, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya politik uang. Dengan cara ini, pemilih tidak hanya memilih berdasarkan uang, tetapi juga berdasarkan kesadaran politik yang matang.

Pemberdayaan Ekonomi sebagai Solusi Jangka Panjang

Untuk memutus rantai politik uang, Pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi solusi jangka panjang yang paling relevan. Kemiskinan adalah akar utama dari penerimaan politik uang, sehingga upaya untuk mengentaskan kemiskinan harus menjadi prioritas pemerintah. Program-program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas seperti pelatihan keterampilan, pengembangan usaha mikro, dan akses terhadap kredit usaha rakyat dapat membantu masyarakat menjadi lebih mandiri secara finansial, sehingga mereka tidak lagi tergantung pada bantuan instan saat Pilkada.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan merata, terutama di daerahdaerah yang rentan terhadap politik uang. Pembangunan infrastruktur sosial seperti pendidikan dan kesehatan perlu digalakkan. Ketika masyarakat memiliki akses yang memadai terhadap layanan dasar, mereka akan lebih mampu memahami pentingnya memilih pemimpin berdasarkan integritas dan kompetensi, bukan uang. Peningkatan kesejahteraan ekonomi ini tidak hanya mengurangi godaan politik uang, tetapi juga meningkatkan kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Pemberdayaan ekonomi juga harus dibarengi dengan peningkatan literasi politik. Kombinasi antara kesadaran politik dan kemandirian ekonomi akan menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan rasional dalam memilih pemimpin. Dengan demikian, politik uang tidak lagi menjadi strategi yang efektif, karena masyarakat telah memiliki daya tawar yang lebih tinggi dalam proses politik.

Menuju Demokrasi yang Berintegritas

Membangun demokrasi yang berintegritas membutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, hingga masyarakat. Kesadaran kolektif untuk menolak politik uang harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan berbagai elemen, termasuk tokoh agama, media, dan organisasi masyarakat sipil.

Pilkada seharusnya menjadi ajang kompetisi gagasan, bukan transaksi uang. Jika budaya politik uang terus dibiarkan, masa depan demokrasi Indonesia akan semakin suram. Oleh karena itu, langkah nyata untuk memberantas politik uang harus dimulai sekarang, demi memastikan bahwa demokrasi benar-benar menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version