Politik Patronase Materialistik dan Politik Identitas Mendarah Daging

  • Bagikan
Aldilal, M.I.Kom, (Penulis Dosen Komunikasi IAIN Kendari
Aldilal, M.I.Kom, (Penulis Dosen Komunikasi IAIN Kendari

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- “Masyarakat Saat ini telah mengukur orang (dari) apa yang dibawa, bukan (dari) visi, misi, dan program yang ditawarkan”.

Potret budaya politik negara kita saat ini semakin materialistik. Para politikus tidak hanya berrsaing tentang elektabilitas, atau persaingan kapabilitas, tapi juga tentang persaingan finansial (financial competition) antara para aktor politik.

Strategi kampanye para kandidat semakin royal berlebihan terhadap aspek hiburan seperti mendatangkan artis-artis papan atas dari ibu kota, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kondisi ini dilatarbelakangi juga dari masyarakat kita yang semakin pragmatis. Jika dicermati dari sisi perilaku pemilih, mereka cenderung senang tergiur dengan tawaran uang, sembako, tiket/ kupon, bahkan menerima ajakan untuk menghadiri acara-acara calon kandidat dengan iming-iming akan diberi uang (Umagapi, 2021).

Oleh karena itu, politik uang atau patronase politics ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemilu di Indonesia. Mengenai Patronase. Patronase adalah sebuah pembagian keuntungan diantara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka (Shefter 1994). Dengan demikian, patronase merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti pekerjaan, jabatan di suatu organisasi atau pemerintahan atau kontrak proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/komunitas.

Jika kita mengacu pada politik patronase ini maka kita akan dapatkan money politic hanyalah bagian dari praktik patronase. kemungkinan yang akan terjadi pada pemilih jika kandidat politik menerapkan strategi patronase ini maka sikap masyarakat akan terbagi dua yakni:

Pertama, jika masyarakat pemilih memiliki cukup informasi tentang kualitas, kapabilitas, dan track record para aktor politik tersebut maka pemilih akan memilih aktor politik terbaik atau yang paling realistis untuk menjadi pemimpin, namun sebaliknya kemungkinan Kedua, jika masyarakat pemilih tidak memiliki cukup informasi terkait calon, dan masyarakat pemilih juga tidak memiliki visi dan prinsip untuk cita-cita Daerahnya, maka kemungkinan yang akan terjadi pada pemilih menjatuhkankan pilihannya pada:

Pertama, jika ada kontak antara calon maka masyarakat pemilih akan memilih yang paling menguntungkan untuk dirinya, baik keuntungan materi, maupun janji dan harapan yang dijanjikan actor politik dalam konteks ini politik uang menenemukan momentumnya. Tentunya calon berduit akan memiliki peluang besar.

Kedua, jika masyarakat dan Calon tidak ada kontak, atau relasi, maka pemilih akan memilih pada Calon yang berpenampilan menarik perhatianya, mudah diingat, dan popular.

Ketiga, masyarakat memilih tidak akan memilih. didasari dari masyarakat yang kritis terhadap calon. Politik uang ini jelas akan berdampak banyak, salah satunya membuat kita pemilih menciptakan calon-calon yang rawan korupsi. Lalu, ada empat pilihan pemilih yang menerima serangan uang politik:

Memilih kandidat yang memberi mereka banyak uang; Tidak terpengaruh oleh uang yang diberikan; Tdak memilih semua kandidat yang memberi amplop, demi menghormati semuanya; Anggota keluarga membagi suara untuk masingmasing yang memberi amplop (Marzuki wahid, 2014) .

Tim Sukses Berperan Sebagai Broker Serangan Fajar

Relawan pemenangan biasanya direkrut atas dasar hubungan-hubungan personal dengan para kandidat. Tim Sukses ini juga yang menjadi broker atau penghubung antara pemilih dan calon kandidat. kemudian data terkait masa yang akan dijadikan acuan serangan fajar (vote buying) merujuk pada relawan atau tim sukses ini, distribusi patronase yang dilakukan tim sukses diantaranya money politic, bantuan sosial terselubung, dan transasksi loyalitas nantinya antara pemilih dan calon.

Serangan fajar (Vote buying) yakni bagi-bagi uang tunai secara langsung, baik menggunakan amplop atau tidak, kepada pemilih dengan maksud agar calon kandidat pada saat pencoblosan dipilih. Dan Tim Sukses yang menjadi Broker agar tersalurnya Serangan Fajar ini.

Temuan dalam studi (Noor Rahman, 2014) target penerima serangan fajar diprioritaskan ialah para pemilih yang merupakan basis pendukung, berdasarkan data pemilih yang telah di data Tim Sukses. Tim sukses memainkan peran krusial dalam distribusi praktik patronase.

Dinamika Politik uang: pada penerima dan calon kandidat yang memberi

“Ada Uang, Ada Suara”. Kenyataan yang ditunjukan secara gamblang setiap pesta Demokrasi kita. Persaingan yang tidak sehat dalam politik uang antar calon berdampak pada sikap permisif pemilih dan menyebabkan hilangnya ketulusan masyarakat dalam berpolitik, dampak lebih jauh para pemilih cenderung selalu berharap pada materi dalam setiap proses politik.

Kemudian yang menjadi catatan jika sebenarnya politik uang (vote buying) ini adalah strategi yang membutuhkan biaya tinggi, namun tidak menjadi jaminan kuat untuk mendulang suara, pada dasarnya strategi vote buying juga tidak efektif.

Politik identitas pada masyarakat majemuk

“Pilih orang dari Daerah kita sendiri, kenapa harus memilih orang dari Daerah lain. Karena Calon dari Daerah lah yang paling paham kondisi Daerahnya”

Ketertarikan pada identitas menjadi poin yang menarik perhatian sehingga para calon mengupayakan segala cara untuk mendapatkan suara dari etnis yang sama dengan memanfaatkan jaringan emosional ikatan asal Daerah.

Kondisi ini tentunya berpotensi melahirkan konflik karena para calon kandidat melakukan praktik kampanye negative (Negative campaign). Seperti kita ketahui negative campaign akan sangat berpotensi merusak proses politik dengan menyebarluaskan hal-hal yang memicu kekecewaan dan ketidakpuasan publik untuk menyerang kandidat.

Pada penelitian empiris tentang negative campaign ini menunjukan bahwa negative campaign sangat efektif karena pesan negative lebih mudah diingat, namun pada aspek calon yang melakukan taktik negative campaign dan calon yang menjadi korban negative campaign akan mendapatkan penilaian publik yaitu less – qualified (tidak berkualitas). Keadaan dimana para kandidat baik yang melakukan taktik negative campaign maupun yang menjadi korban negative campaign akan dipandang publik menjadi less-qualified (tidak berkualitas). Jadi kondisi ini bisa saja merugikan para pelaku negative campaign maupun korban dari praktik negative campaign.

Menghindari Politik Patronase dan Politik identitas

Pada akhirnya dalam politik yang sekarang seperti berada di pasar bebas, penggunaan uang tidak bisa dihindarkan lagi, namun masih ada para pemilih yang memiliki cita-cita dan harapan besar terhadap program yang ditawarkan secara realistis. Kesadaran diri ini menjadi tawaran yang baik untuk politik di masa depan.

Peningkatan literasi politik masyarakat juga harus terus digaungkan, agar dapat mengidentifikasi kandidat paling berkualitas, bukan sekadar memilih yang paling banyak memberikan uang/bantuan. Kemudian dari aspek penegakan hukum harus secara tegas terhadap praktik politik uang, baik dari sisi penyumbang dana maupun penerima dana.

Menghindari politik identitas yang mengatasnamakan SARA dan politik transaksional, harus terus dilakukan berbagai upaya melalui pemilu yang berkualitas, didukung sistem peradilan yang baik serta good governance yang berkelanjutan, dengan demikian masyarakat akan memperoleh pemimpin yang sesungguhnya merepresentasikan aspirasi rakyat. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version