Sidang Kasus Supriyani : Susno Soroti Keterlibatan Orang Tua Korban dalam Penyelidikan

  • Bagikan
Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel saat menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Supriyani di PN Andoolo, Senin (4/11/2024). (I NGURAH PANDI SANTOSA / KENDARI POS)
Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel saat menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Supriyani di PN Andoolo, Senin (4/11/2024). (I NGURAH PANDI SANTOSA / KENDARI POS)

-- Reza Indragiri : Anak akan Tersugesti Ketika Ditanya Berulang

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Kali kelima, Supriyani duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Andoolo dan menghadapi dakwaan dugaan penganiayaan terhadap murid SDN 4 Baito. Dalam sidang kelima, kuasa hukum Supriyani menghadirkan saksi ahli secara virtual, Senin (4/11/2024). Saksi ahli itu adalah mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel. Susno Duadji menyoroti keterlibatan orang tua korban D, yang juga oknum anggota Polri, Aipda Wibowo Hasyim dalam proses penyelidikan dan penyidikan padahal dia bukan penyidik. “Itu ngawur, tidak semua anggota Polri adalah reserse. Tidak semua reserse adalah anggota penyelidik atau penyidik. Tidak semua penyelidik atau penyidik itu mendapat tugas. Yang bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah aparat polisi yang bertugas di reserse dan diberi surat perintah,” bebernya. Susno juga menyoroti prosedur hukum pengumpulan barang bukti. Menurutnya, penyitaan barang bukti tidak boleh dilakukan sebelum adanya laporan resmi dari pelapor kepada polisi. “Apabila barang bukti disita sebelum adanya laporan polisi, upaya penyitaan itu tidak sah. Batal demi hukum. Bukan barang buktinya tapi upaya paksa itu tidak dilindungi undang-undang. Prosedurnya tidak sah,” ujarnya. Dalam prosedur visum, Susno menyebut, hanya penyidik yang menangani perkara terkait yang berwenang meminta visum. “Penyidik yang berwenang adalah penyidik yang mendapat surat perintah untuk menyidik perkara itu. Bukan sembarang penyidik,” ungkapnya. Pembuatan visum et repertum harus dokter forensik. Sebab, visum et repertum itu adalah produk dari ahli forensik, dalam hal ini dokter forensik. “Persoalannya, jika visum yang dibuat oleh ahli forensik itu tidak jelas apa maknanya, maka penyidik dapat memanggil si pembuat visum et repertum, untuk dimintai keterangan,” terangnya. Keterangan Anak Tidak Sah Selanjutnya Susno menerangkan keterangan anak pada sidang sebelumnya. Menurutnya, keterangan anak bukanlah keterangan saksi karena tidak disumpah. “Karena tidak bisa dijadikan saksi yang disumpah, keterangan anak tidak sah. Keterangan anak itu, hanya sebagai tambahan, manakala bersesuaian. Jadi keterangan anak itu bukanlah alat bukti,” jelasnya. Sebaliknya, apabila keterangan anak tidak berkesesuaian, maka itu tidak ada gunanya. “Jangankan keterangan anak, keterangan orang tua yang sudah 67 tahun saja kalau tidak bersesuaian, tidak ada gunanya,” tuturnya. Susno menyebut, meskipun keterangan saksi bersesuaian namun tanpa didukung bukti lain misalnya forensik maka itu tidak ada gunanya juga. “Keterangan saksi walaupun seribu, kalau hanya saksi, nggak ada gunanya. Apalagi keterangan anak tidak bersesuaian, itu bukanlah alat bukti,” terangnya. Mantan Kapoda Jawa Barat itu menjelaskan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, melainkan harus disertai alat bukti lain yang sah. “Keterangan terdakwa itu sangat lemah. Apalagi jika keterangan terdakwa didapat dengan cara yang tidak sah. Misalnya dengan memberikan janji, atau dengan cara-cara tidak sah,” ungkapnya. Saksi “Katanya” Bukan Alat Bukti Susno Duadji juga diminta oleh hakim untuk menjelaskan terkait keterangan saksi de auditu, yakni saksi yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain. Yang pada dasarnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti. “Saksi de auditu itu tidak boleh (jadi alat bukti, red). Saksi ‘katanya’, saksi ‘cerita’. Saksi dalam hukum pidana itu adalah yang melihat, mengetahui langsung dan sebagainya yang menyaksikan peristiwa itu. Bukan yang mendengar, bukan yang mendapat cerita. Saksi de auditu itu tidak ada nilainya,” jelas Susno. Ia menambahkan, saksi yang mengatakan, mendengar, dan melihat, namun manakala bertentangan satu sama lain, maka tidak ada nilainya. “Karena saksi itupun bisa saja direkayasa. Keterangan saksi lemah jika tidak didukung alat bukti lain,” tegas Susno. Susno juga menanggapi sikap Jaksa Penuntut Umum Kejari Konawe Selatan terhadap berkas perkara yang diterima dari kepolisian. “Dalam kasus pidana, kebenaran materil yang dicari, bukan kebenaran formal. Jadi bukan kelengkapan berkas. Diawali dahulu dari keterangan saksi. Nilai keterangan saksi secara kualitas memenuhi standar hukum apa tidak,” cecarnya. Kemudian melihat alat bukti, apakah bersesuaian dengan hasil yang didapatkan. “Misalnya alat bukti yang digunakan adalah senjata api, maka hasilnya berupa luka tembak. Tetapi jika hasilnya berupa luka sayatan, berarti itu tidak bersesuaian dengan peristiwa, berarti itu gugur,” tuturnya. Begitu pula pada alat bukti visum, jika tidak bersesuaian, maka alat bukti berupa visum itu tidak mendukung peristiwanya. Termasuk bukti lainnya, bersesuaian apa tidak. “Termasuk keterangan tersangka, apakah dia menolak atau mengakui. Jika mengakui, kita nilai, apakah pengakuan itu didapatkan secara sah sesuai ketentuan hukum, atau tidak sah,” kata Susno. Keterangan Anak Bisa Terpengaruh Keinginan Penanya Sementara itu, saksi ahli pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengungkapkan adanya peluang, keterangan dari seorang anak bisa terpengaruh dan sesuai jawaban yang diinginkan oleh si penanya. Reza mengatakan anak-anak adalah kelompok usia yang memiliki suggestibility lebih tinggi ketimbang orang dewasa. “Anak selaku individu dengan suggestibility tinggi artinya memiliki kerentanan ekstra. Anak memiliki kerentanan di atas orang kebanyakan untuk menerima sugesti, untuk menerima apapun sebutannya, dari pihak lain,” ujarnya saat bersaksi secara virtual, Senin (4/11/2024). Ia menjelaskan satu teori dalam ilmu psikologi untuk mendukung pernyataan tersebut, yakni anak akan tersugesti ketika ditanyai pertanyaan berulang oleh si penanya. “Jika hal ini terjadi, jawaban yang terlontar dari anak tersebut akan sesuai keinginan penanya,” ujarnya. Berkaca dari teori tersebut, Reza menyoroti otoritas penegak hukum terkait pengambilan keterangan terhadap terperiksa yang dilakukan secara maraton. Menurutnya, hal tersebut semakin memperbesar peluang, jawaban dari terperiksa khususnya anak, akan sesuai keinginan dari penanya. “Ini salah satu yang sering saya wanti-wanti terhadap otoritas penegakan hukum ketika mengatakan ‘kami sudah melakukan pemeriksaan maraton’. Barangkali, otoritas penegakan hukum beranggapan ketika pemeriksaan dilakukan secara maraton, maka jawaban dari seorang terperiksa akan baik adanya, akan jujur adanya,” terangnya. “Namun, faktanya tidak demikian. Ketika pertanyaan diajukan berulang kali, maka disadari atau tidak oleh terperiksa terlebih lagi anak-anak, akan terpandu memberikan jawaban sebagaimana yang diinginkan oleh pihak penanya,” sambung Reza. Kendati demikian, Reza menegaskan benar atau tidaknya keterangan dari seorang anak tidak bisa dinilai secara serta-merta. Dikatakannya, apakah keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh anak itu kebenaran ataukah khayalan, kemungkinannya selalu fifty-fifty. “Tetapi dengan perspektif yang saya ungkapkan saat ini, mudah-mudahan ini memunculkan keinsyafan, anak memiliki kerentanan ekstra untuk memberikan jawaban tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang diinginkan oleh pihak yang bertanya kepada dirinya,” bebernya. Diketahui, usai mendengarkan keterangan dari dua ahli, sidang tersebut dilanjutkan dengan menghadirkan saksi lainnya yakni Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman yang mengungkapkan terkait dugaan adanya permintaan uang dari oknum agar kasus Ibu Supriyani tidak dilanjutkan. (ndi/b)

Kali kelima, Supriyani duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Andoolo dan menghadapi dakwaan dugaan penganiayaan terhadap murid SDN 4 Baito. Dalam sidang kelima, kuasa hukum Supriyani menghadirkan saksi ahli secara virtual, Senin (4/11/2024). Saksi ahli itu adalah mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel. Susno Duadji menyoroti keterlibatan orang tua korban D, yang juga oknum anggota Polri, Aipda Wibowo Hasyim dalam proses penyelidikan dan penyidikan padahal dia bukan penyidik. “Itu ngawur, tidak semua anggota Polri adalah reserse. Tidak semua reserse adalah anggota penyelidik atau penyidik. Tidak semua penyelidik atau penyidik itu mendapat tugas. Yang bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah aparat polisi yang bertugas di reserse dan diberi surat perintah,” bebernya. Susno juga menyoroti prosedur hukum pengumpulan barang bukti. Menurutnya, penyitaan barang bukti tidak boleh dilakukan sebelum adanya laporan resmi dari pelapor kepada polisi. “Apabila barang bukti disita sebelum adanya laporan polisi, upaya penyitaan itu tidak sah. Batal demi hukum. Bukan barang buktinya tapi upaya paksa itu tidak dilindungi undang-undang. Prosedurnya tidak sah,” ujarnya. Dalam prosedur visum, Susno menyebut, hanya penyidik yang menangani perkara terkait yang berwenang meminta visum. “Penyidik yang berwenang adalah penyidik yang mendapat surat perintah untuk menyidik perkara itu. Bukan sembarang penyidik,” ungkapnya. Pembuatan visum et repertum harus dokter forensik. Sebab, visum et repertum itu adalah produk dari ahli forensik, dalam hal ini dokter forensik. “Persoalannya, jika visum yang dibuat oleh ahli forensik itu tidak jelas apa maknanya, maka penyidik dapat memanggil si pembuat visum et repertum, untuk dimintai keterangan,” terangnya. Keterangan Anak Tidak Sah Selanjutnya Susno menerangkan keterangan anak pada sidang sebelumnya. Menurutnya, keterangan anak bukanlah keterangan saksi karena tidak disumpah. “Karena tidak bisa dijadikan saksi yang disumpah, keterangan anak tidak sah. Keterangan anak itu, hanya sebagai tambahan, manakala bersesuaian. Jadi keterangan anak itu bukanlah alat bukti,” jelasnya. Sebaliknya, apabila keterangan anak tidak berkesesuaian, maka itu tidak ada gunanya. “Jangankan keterangan anak, keterangan orang tua yang sudah 67 tahun saja kalau tidak bersesuaian, tidak ada gunanya,” tuturnya. Susno menyebut, meskipun keterangan saksi bersesuaian namun tanpa didukung bukti lain misalnya forensik maka itu tidak ada gunanya juga. “Keterangan saksi walaupun seribu, kalau hanya saksi, nggak ada gunanya. Apalagi keterangan anak tidak bersesuaian, itu bukanlah alat bukti,” terangnya. Mantan Kapoda Jawa Barat itu menjelaskan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, melainkan harus disertai alat bukti lain yang sah. “Keterangan terdakwa itu sangat lemah. Apalagi jika keterangan terdakwa didapat dengan cara yang tidak sah. Misalnya dengan memberikan janji, atau dengan cara-cara tidak sah,” ungkapnya. Saksi “Katanya” Bukan Alat Bukti Susno Duadji juga diminta oleh hakim untuk menjelaskan terkait keterangan saksi de auditu, yakni saksi yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain. Yang pada dasarnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti. “Saksi de auditu itu tidak boleh (jadi alat bukti, red). Saksi ‘katanya’, saksi ‘cerita’. Saksi dalam hukum pidana itu adalah yang melihat, mengetahui langsung dan sebagainya yang menyaksikan peristiwa itu. Bukan yang mendengar, bukan yang mendapat cerita. Saksi de auditu itu tidak ada nilainya,” jelas Susno. Ia menambahkan, saksi yang mengatakan, mendengar, dan melihat, namun manakala bertentangan satu sama lain, maka tidak ada nilainya. “Karena saksi itupun bisa saja direkayasa. Keterangan saksi lemah jika tidak didukung alat bukti lain,” tegas Susno. Susno juga menanggapi sikap Jaksa Penuntut Umum Kejari Konawe Selatan terhadap berkas perkara yang diterima dari kepolisian. “Dalam kasus pidana, kebenaran materil yang dicari, bukan kebenaran formal. Jadi bukan kelengkapan berkas. Diawali dahulu dari keterangan saksi. Nilai keterangan saksi secara kualitas memenuhi standar hukum apa tidak,” cecarnya. Kemudian melihat alat bukti, apakah bersesuaian dengan hasil yang didapatkan. “Misalnya alat bukti yang digunakan adalah senjata api, maka hasilnya berupa luka tembak. Tetapi jika hasilnya berupa luka sayatan, berarti itu tidak bersesuaian dengan peristiwa, berarti itu gugur,” tuturnya. Begitu pula pada alat bukti visum, jika tidak bersesuaian, maka alat bukti berupa visum itu tidak mendukung peristiwanya. Termasuk bukti lainnya, bersesuaian apa tidak. “Termasuk keterangan tersangka, apakah dia menolak atau mengakui. Jika mengakui, kita nilai, apakah pengakuan itu didapatkan secara sah sesuai ketentuan hukum, atau tidak sah,” kata Susno. Keterangan Anak Bisa Terpengaruh Keinginan Penanya Sementara itu, saksi ahli pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengungkapkan adanya peluang, keterangan dari seorang anak bisa terpengaruh dan sesuai jawaban yang diinginkan oleh si penanya. Reza mengatakan anak-anak adalah kelompok usia yang memiliki suggestibility lebih tinggi ketimbang orang dewasa. “Anak selaku individu dengan suggestibility tinggi artinya memiliki kerentanan ekstra. Anak memiliki kerentanan di atas orang kebanyakan untuk menerima sugesti, untuk menerima apapun sebutannya, dari pihak lain,” ujarnya saat bersaksi secara virtual, Senin (4/11/2024). Ia menjelaskan satu teori dalam ilmu psikologi untuk mendukung pernyataan tersebut, yakni anak akan tersugesti ketika ditanyai pertanyaan berulang oleh si penanya. “Jika hal ini terjadi, jawaban yang terlontar dari anak tersebut akan sesuai keinginan penanya,” ujarnya. Berkaca dari teori tersebut, Reza menyoroti otoritas penegak hukum terkait pengambilan keterangan terhadap terperiksa yang dilakukan secara maraton. Menurutnya, hal tersebut semakin memperbesar peluang, jawaban dari terperiksa khususnya anak, akan sesuai keinginan dari penanya. “Ini salah satu yang sering saya wanti-wanti terhadap otoritas penegakan hukum ketika mengatakan ‘kami sudah melakukan pemeriksaan maraton’. Barangkali, otoritas penegakan hukum beranggapan ketika pemeriksaan dilakukan secara maraton, maka jawaban dari seorang terperiksa akan baik adanya, akan jujur adanya,” terangnya. “Namun, faktanya tidak demikian. Ketika pertanyaan diajukan berulang kali, maka disadari atau tidak oleh terperiksa terlebih lagi anak-anak, akan terpandu memberikan jawaban sebagaimana yang diinginkan oleh pihak penanya,” sambung Reza. Kendati demikian, Reza menegaskan benar atau tidaknya keterangan dari seorang anak tidak bisa dinilai secara serta-merta. Dikatakannya, apakah keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh anak itu kebenaran ataukah khayalan, kemungkinannya selalu fifty-fifty. “Tetapi dengan perspektif yang saya ungkapkan saat ini, mudah-mudahan ini memunculkan keinsyafan, anak memiliki kerentanan ekstra untuk memberikan jawaban tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang diinginkan oleh pihak yang bertanya kepada dirinya,” bebernya. Diketahui, usai mendengarkan keterangan dari dua ahli, sidang tersebut dilanjutkan dengan menghadirkan saksi lainnya yakni Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman yang mengungkapkan terkait dugaan adanya permintaan uang dari oknum agar kasus Ibu Supriyani tidak dilanjutkan. (ndi/b)Kali kelima, Supriyani duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Andoolo dan menghadapi dakwaan dugaan penganiayaan terhadap murid SDN 4 Baito.

Dalam sidang kelima, kuasa hukum Supriyani menghadirkan saksi ahli secara virtual, Senin (4/11/2024). Saksi ahli itu adalah mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel.

Susno Duadji menyoroti keterlibatan orang tua korban D, yang juga oknum anggota Polri, Aipda Wibowo Hasyim dalam proses penyelidikan dan penyidikan padahal dia bukan penyidik. “Itu ngawur, tidak semua anggota Polri adalah reserse. Tidak semua reserse adalah anggota penyelidik atau penyidik. Tidak semua penyelidik atau penyidik itu mendapat tugas. Yang bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah aparat polisi yang bertugas di reserse dan diberi surat perintah,” bebernya.

Susno juga menyoroti prosedur hukum pengumpulan barang bukti. Menurutnya, penyitaan barang bukti tidak boleh dilakukan sebelum adanya laporan resmi dari pelapor kepada polisi. “Apabila barang bukti disita sebelum adanya laporan polisi, upaya penyitaan itu tidak sah. Batal demi hukum. Bukan barang buktinya tapi upaya paksa itu tidak dilindungi undang-undang. Prosedurnya tidak sah,” ujarnya.

Dalam prosedur visum, Susno menyebut, hanya penyidik yang menangani perkara terkait yang berwenang meminta visum. “Penyidik yang berwenang adalah penyidik yang mendapat surat perintah untuk menyidik perkara itu. Bukan sembarang penyidik,” ungkapnya.

Pembuatan visum et repertum harus dokter forensik. Sebab, visum et repertum itu adalah produk dari ahli forensik, dalam hal ini dokter forensik. “Persoalannya, jika visum yang dibuat oleh ahli forensik itu tidak jelas apa maknanya, maka penyidik dapat memanggil si pembuat visum et repertum, untuk dimintai keterangan,” terangnya.

Keterangan Anak Tidak Sah

Selanjutnya Susno menerangkan keterangan anak pada sidang sebelumnya. Menurutnya, keterangan anak bukanlah keterangan saksi karena tidak disumpah. “Karena tidak bisa dijadikan saksi yang disumpah, keterangan anak tidak sah. Keterangan anak itu, hanya sebagai tambahan, manakala bersesuaian. Jadi keterangan anak itu bukanlah alat bukti,” jelasnya.

Sebaliknya, apabila keterangan anak tidak berkesesuaian, maka itu tidak ada gunanya. “Jangankan keterangan anak, keterangan orang tua yang sudah 67 tahun saja kalau tidak bersesuaian, tidak ada gunanya,” tuturnya.

Susno menyebut, meskipun keterangan saksi bersesuaian namun tanpa didukung bukti lain misalnya forensik maka itu tidak ada gunanya juga. “Keterangan saksi walaupun seribu, kalau hanya saksi, nggak ada gunanya. Apalagi keterangan anak tidak bersesuaian, itu bukanlah alat bukti,” terangnya.

Mantan Kapoda Jawa Barat itu menjelaskan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, melainkan harus disertai alat bukti lain yang sah. “Keterangan terdakwa itu sangat lemah. Apalagi jika keterangan terdakwa didapat dengan cara yang tidak sah. Misalnya dengan memberikan janji, atau dengan cara-cara tidak sah,” ungkapnya.

Saksi “Katanya” Bukan Alat Bukti

Susno Duadji juga diminta oleh hakim untuk menjelaskan terkait keterangan saksi de auditu, yakni saksi yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain. Yang pada dasarnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti.

“Saksi de auditu itu tidak boleh (jadi alat bukti, red). Saksi ‘katanya’, saksi ‘cerita’. Saksi dalam hukum pidana itu adalah yang melihat, mengetahui langsung dan sebagainya yang menyaksikan peristiwa itu. Bukan yang mendengar, bukan yang mendapat cerita. Saksi de auditu itu tidak ada nilainya,” jelas Susno.

Ia menambahkan, saksi yang mengatakan, mendengar, dan melihat, namun manakala bertentangan satu sama lain, maka tidak ada nilainya. “Karena saksi itupun bisa saja direkayasa. Keterangan saksi lemah jika tidak didukung alat bukti lain,” tegas Susno.

Susno juga menanggapi sikap Jaksa Penuntut Umum Kejari Konawe Selatan terhadap berkas perkara yang diterima dari kepolisian. “Dalam kasus pidana, kebenaran materil yang dicari, bukan kebenaran formal. Jadi bukan kelengkapan berkas. Diawali dahulu dari keterangan saksi. Nilai keterangan saksi secara kualitas memenuhi standar hukum apa tidak,” cecarnya.

Kemudian melihat alat bukti, apakah bersesuaian dengan hasil yang didapatkan. “Misalnya alat bukti yang digunakan adalah senjata api, maka hasilnya berupa luka tembak. Tetapi jika hasilnya berupa luka sayatan, berarti itu tidak bersesuaian dengan peristiwa, berarti itu gugur,” tuturnya.

Begitu pula pada alat bukti visum, jika tidak bersesuaian, maka alat bukti berupa visum itu tidak mendukung peristiwanya. Termasuk bukti lainnya, bersesuaian apa tidak. “Termasuk keterangan tersangka, apakah dia menolak atau mengakui. Jika mengakui, kita nilai, apakah pengakuan itu didapatkan secara sah sesuai ketentuan hukum, atau tidak sah,” kata Susno.

Keterangan Anak Bisa Terpengaruh Keinginan Penanya

Sementara itu, saksi ahli pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengungkapkan adanya peluang, keterangan dari seorang anak bisa terpengaruh dan sesuai jawaban yang diinginkan oleh si penanya.

Reza mengatakan anak-anak adalah kelompok usia yang memiliki suggestibility lebih tinggi ketimbang orang dewasa. “Anak selaku individu dengan suggestibility tinggi artinya memiliki kerentanan ekstra. Anak memiliki kerentanan di atas orang kebanyakan untuk menerima sugesti, untuk menerima apapun sebutannya, dari pihak lain,” ujarnya saat bersaksi secara virtual, Senin (4/11/2024). Ia menjelaskan satu teori dalam ilmu psikologi untuk mendukung pernyataan tersebut, yakni anak akan tersugesti ketika ditanyai pertanyaan berulang oleh si penanya. “Jika hal ini terjadi, jawaban yang terlontar dari anak tersebut akan sesuai keinginan penanya,” ujarnya.

Berkaca dari teori tersebut, Reza menyoroti otoritas penegak hukum terkait pengambilan keterangan terhadap terperiksa yang dilakukan secara maraton. Menurutnya, hal tersebut semakin memperbesar peluang, jawaban dari terperiksa khususnya anak, akan sesuai keinginan dari penanya.

“Ini salah satu yang sering saya wanti-wanti terhadap otoritas penegakan hukum ketika mengatakan ‘kami sudah melakukan pemeriksaan maraton’. Barangkali, otoritas penegakan hukum beranggapan ketika pemeriksaan dilakukan secara maraton, maka jawaban dari seorang terperiksa akan baik adanya, akan jujur adanya,” terangnya.

“Namun, faktanya tidak demikian. Ketika pertanyaan diajukan berulang kali, maka disadari atau tidak oleh terperiksa terlebih lagi anak-anak, akan terpandu memberikan jawaban sebagaimana yang diinginkan oleh pihak penanya,” sambung Reza.

Kendati demikian, Reza menegaskan benar atau tidaknya keterangan dari seorang anak tidak bisa dinilai secara serta-merta. Dikatakannya, apakah keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh anak itu kebenaran ataukah khayalan, kemungkinannya selalu fifty-fifty.

“Tetapi dengan perspektif yang saya ungkapkan saat ini, mudah-mudahan ini memunculkan keinsyafan, anak memiliki kerentanan ekstra untuk memberikan jawaban tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang diinginkan oleh pihak yang bertanya kepada dirinya,” bebernya.

Diketahui, usai mendengarkan keterangan dari dua ahli, sidang tersebut dilanjutkan dengan menghadirkan saksi lainnya yakni Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman yang mengungkapkan terkait dugaan adanya permintaan uang dari oknum agar kasus Ibu Supriyani tidak dilanjutkan. (ndi/b)

  • Bagikan