Penulis: Laode M. Rusliadi Suhi, SH.,MH (Ketua Divisi Hukum & HAM DPP Perisai Prabowo)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Sejak diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 malam, pembentukan Kabinet Merah Putih telah memicu pro dan kontra dalam perjalanan pemerintahan yang baru berjalan kurang dari seminggu. Salah satu lembaga yang menarik perhatian penulis adalah Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM).
Secara historis, lembaga HAM di Indonesia dimulai dengan berdirinya Komnas HAM pada tahun 1999, yang merupakan lembaga mandiri setingkat lembaga negara dan tidak berada di bawah eksekutif. Dengan demikian, tumpang tindih tanggung jawab antara Kementerian Hukum dan HAM serta masalah HAM seringkali menghambat penyelesaian isu-isu tersebut.
Pembentukan Kementerian HAM yang baru ini menunjukkan keseriusan pemerintahan Presiden Prabowo dalam menyelesaikan masalah HAM, sejalan dengan amanah konstitusi. Pertama, pembentukan kementerian ini sebagai pecahan dari Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan fokus yang lebih besar terhadap isu-isu HAM, yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Ini patut diapresiasi karena merupakan langkah berani untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih humanis.
Kedua, gagasan untuk memiliki kementerian HAM yang terpisah merupakan kebijakan yang tidak terduga, tetapi penting dan tepat. Ini adalah langkah strategis yang diharapkan dapat menjawab tantangan HAM baik di dalam maupun di luar negeri. Ketiga, pengangkatan Natalius Pigai sebagai Menteri HAM sangat signifikan, terutama sebagai representasi masyarakat Papua, yang dikenal memiliki banyak isu terkait HAM. Penunjukan ini merupakan langkah strategis yang diambil setelah pertimbangan matang.
HAM adalah hal fundamental dalam bernegara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 A hingga 28 J UUD 1945, yang mengatur berbagai hak asasi manusia. Kehadiran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM memberikan pijakan yang kuat bagi negara dalam menjaga dan memproteksi isu-isu HAM secara universal. Dengan adanya Kementerian HAM, diharapkan ada kemajuan signifikan dalam penyelesaian masalah HAM, yang tentunya akan berdampak pada anggaran kementerian itu sendiri.
Mengenai polemik terkait anggaran Kementerian HAM yang dipimpin oleh Natalius Pigai, pernyataan beliau bahwa postur anggaran sebesar 64 miliar dianggap terlalu kecil mengingat beban kerja yang besar sangat beralasan. Pengajuan anggaran di atas 20 triliun patut dipertimbangkan, terutama untuk program-program seperti pendidikan HAM dan pembentukan lembaga pendidikan Universitas HAM bertaraf internasional.
Selain itu, program sosialisasi ke 79 ribu desa memerlukan dukungan SDM dan fasilitas yang memadai. Oleh karena itu, anggaran yang lebih besar akan sangat mendukung efektivitas kerja kementerian.
Adalah tidak bijak untuk mengkritik anggaran dan program kementerian yang baru beroperasi kurang dari seminggu. Harapannya, pembahasan anggaran Kementerian HAM bersama DPR RI dapat segera dilakukan dan berjalan dengan baik. (KP)