Tegakkan Keadilan untuk Supriyani!

  • Bagikan
ILUSTRASI: DHEO/KP
ILUSTRASI: DHEO/KP

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Nasib malang menimpa seorang guru honorer yang mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).

Ia adalah Supriyani. Guru muda itu, harus menghadapi proses hukum atas dugaan perkara tindak pidana kekerasan kepada muridnya, berinisial D (6), anak dari Aipda Wibowo Hasyim, yang juga personel Polsek Baito. Supriyani dilaporkan ke Polsek Baito oleh orang tua D pada Kamis, 26 April 2024 lalu.

Perjalanan kasus tersebut telah memasuki tahap P21 atau berkas perkara sudah lengkap dan dinyatakan siap untuk ditangani oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bahkan sejak 16 Oktober 2024 lalu, Supriyani menjalani penahanan di Lapas Perempuan Kendari, sebagai tahanan jaksa. Ia pun kini tengah menunggu persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo yang dijadwalkan, Kamis (24/10).

Suami Supriyani bernama Katiran, angkat bicara soal persoalan yang menimpa istrinya. Dia berharap keadilan mesti ditegakkan kepada istri tercintanya. Sebab, apa yang dituduhkan sama sekali tidak benar. Katiran bercerita, sebelumnya ia dan istrinya tak tahu menahu persoalan tersebut, hingga akhirnya diminta oleh orang tua murid untuk datang ke Polsek Baito.

“Istri saya ditanya, apa benar dia memukul siswa (D). Istri saya bilang, dia tidak pernah memukul apalagi sampai melepuh di bagian paha korban. Sempat kembaran anak ini bilang, kalau saudaranya jatuh ketika sedang bermain dengan temannya. Namun saat itu, korban dan kembarannya disuruh ke dapur oleh orang tuanya,” cerita Katiran, Senin (21/10/2024).

Lalu, lanjut ia, pekan depannya, sang istri kembali dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai terlapor. Waktu itu, kata ia, penyidik menyampaikan bahwa kejadian istrinya memukul korban (siswa D) disaksikan tujuh siswa, lengkap dengan hasil pemeriksaan visum. Ketika istrinya meminta disebutkan murid yang melihat dirinya menganiaya korban, penyidik hanya menyebutkan tiga nama dari tujuh murid. Kebetulan, salah satu murid yang disebut penyidik adalah keponakan dari Katiran.

Katiran sempat bertanya ke keponakannya, apa benar ia melihat terlapor memukul korban. Yang bersangkutan mengaku tidak benar, dan ia tidak pernah melihat korban dipukul tersangka. Lalu, melalui kepala desa setempat, coba menanyakan kebenaran yang disaksikan dua murid lainnya yang disebutkan identitasnya oleh penyidik.

Pendapat dua murid ini berbeda, ada yang mengatakan tersangka memukul diluar ruangan, dan adapula yang menjawab kejadian terjadi di dalam ruangan. “Sedangkan guru-guru yang saya tanya, mereka tidak pernah merasa ada kejadian pemukulan terhadap murid,” jelasnya.

Disuruh Minta Maaf Lebih lanjut, kata dia, setelah istrinya diperiksa, tiba waktunya Kepala Sekolah (KS) SDN 4 Baito dan Wali Kelas terduga korban diperiksa penyidik. Hasilnya, mereka mengaku bahwa terlapor tidak melakukan tindak pidana, seperti yang dilaporkan orang tua murid. Lepas itu, penyidik menyampaikan ke KS SDN 4 Baito, untuk meminta terlapor meminta maaf ke orang tua korban, agar masalah ini tidak diperpanjang. Akhirnya dengan berat hati, terlapor bersama suaminya dan KS SDN 4 Baito ke rumah orang tua murid (D).

“Saya, istri saya, dan KS datang ke rumah orang tua murid. Istri saya meminta maaf sambil nangis. Karena istri saya merasa tidak pernah memukul. Tapi dengan keadaan terpaksa, istri saya harus minta maaf, supaya masalah ini cepat selesai,” ujarnya. Tapi tak disangka, justru permintaan maaf istrinya menjadi “senjata” pelapor untuk melanjutkan perkara ini. Katiran pun merasa seperti dipaksa bersalah atau dijebak. “Sebelumnya, kami sudah meminta pendapat kepada rekan guru istri.

Sebagian berpendapat, melarang terlapor untuk meminta maaf, dan ada sebagian menginginkan terlapor ke rumah orang tua murid, supaya persoalan tersebut tidak berlarut-larut,” ungkapnya. “Namun seperti yang saya takutkan sebelumnya, kalau istri saya minta maaf, artinya sama saja ia mengakui kesalahannya. Tapi mau bagaimana lagi, kami sebenarnya ingin masalah ini cepat kelar,” sambungnya.

Disuruh Bayar Denda Rp 50 Juta Proses berjalan, Katiran mengaku sempat ditemui kepala desa. Ia menyampaikan kalau dirinya bersama penyidik dan orang tua murid sudah berembuk, dan ingin mencari solusi terbaik kasus ini.

“Permintaan orang tua murid, jika kasus ini mau dihentikan, terlapor harus membayar denda sebanyak Rp.50 juta,” ujarnya. Mendengar itu, Katiran kaget dengan angka puluhan juta, apalagi mereka dari keluarga kurang mampu.

Katiran sempat menawarkan, jika orang tua murid mau, dirinya siap membayar Rp10 juta. Tetapi orang tua murid enggan menerima tawaran suami terlapor.

“Saya seorang petani, istri saya guru honorer, dimana kami mau ambil uang Rp 50 juta. Yang bisa saya sanggupi Rp 10 juta. Tapi mereka tidak mau,” jelasnya. Hingga pada akhirnya, karena tidak mampu membayar Rp 50 juta, Supriyani diminta untuk ke Kantor Kejari Konsel. Di sana setelah dilakukan pemeriksaan, langsung ditahan, dan dibawa ke Lapas Perempuan Kendari. Katiran meminta tolong pada semua pihak untuk membantu dirinya mencari keadilan.

“Saya harap istri saya cepat keluar, dan permasalahan ini cepat selesai,” harapnya. Kepala SDN Baito Kaget Kepala Sekolah SDN 4 Baito, Konsel, Sanaali Ali mengaku kaget. Karena diperlihatkan foto murid luka di bagian pahanya. Namun, berdasarkan pengakuan guru-guru setempat, tidak ada melakukan penganiayaan. “Infonya siswa dipukul sama Ibu Supriyani tetapi setelah saya interogasi, dia (Supriyani) membantah dan tidak melakukan pemukulan,” ungkapnya.

Menurutnya hal itu masuk akal, karena bersangkutan (murid inisial D) merupakan Kelas IA. Sementara Supriyani merupakan perwalian siswa kelas IB.

“Selain sama guru-guru di sekolah, saya juga sudah tanya ibu-ibu pedagang di sekolah, namun mereka tidak melihat Supriyani melakukan penganiayaan,” bebernya. Dalam kesempatan itu, Sanaali Ali mengatakan berdasarkan informasi yang diterima, murid itu jatuh di sawah sehingga luka di bagian pantatnya. Dan itu berdasarkan pengakuan D terhadap ibunya.

“Tapi ketika pulang bapaknya dari kantor (oknum polisi), dipaksa mengaku bahwa dia dipukul dengan gurunya atas nama Supriyani,” jelasnya. Kemudian, tanggal 26 April datang penyidik kepolisian dari Polsek Baito melakukan pemanggilan kepada guru Kelas IB, Supriyani dan dia (Sanaali Ali).

Saat itu penyidik tersebut menyampaikan jangan coba-coba membantah karena pihaknya telah mengantongi dua alat bukti. “Pertama, Supriyani diperiksa tapi dia membantah. Selanjutnya guru Kelas IA juga diperiksa dan dimintai keterangan, namun guru tersebut membantah tuduhan itu,” terangnya.

Selanjutnya, Kepala Sekolah dikonfirmasi oleh penyidik agar dilakukan pemeriksaan di rumah, karena bertepatan hari Sabtu. Intinya dari pemeriksaan itu, penyidik menyampaikan sudah pegang dua alat bukti dan saksinya sudah lengkap. “Jadi katanya, ini persoalan jelas bahwa Supriyani pelakunya serta bukti visumnya sudah ada, luka pukulan,” ungkapnya meneruskan penyampaian penyidik.

Jadi penyidik menyarankan, agar Supriyani mengakui perbuatannya supaya persoalan itu selesai dan tidak ditindaklanjuti. “Setelah itu, saya pergi sama Supriyani, dan menyampaikan seperti penyampaian penyidik. Mendengar hal itu, Supriyani menangis. Mengalah saja, supaya ini persoalan selesai,” ucapnya. “Kemudian kami berangkat ke rumah orang tua korban.

Namun tiba di sana, polisi tersebut marah, dan mengatakan kenapa datang sekarang harusnya dari awal,” sambungnya. Kata ia, polisi tersebut mengaku telah memaafkan, tetapi yang berhak menentukan adalah ibunya yang melahirkan. “Setelah itu kami pulang. Selanjutnya kami berupaya untuk melakukan komunikasi agar kasus itu dihentikan.

Namun tidak ada kepastian hingga akhirnya Supriyani ditahan,” tandasnya. PGRI Konsel Siap Kawal Masalah ini mengundang simpati berbagai lapisan masyarakat maupun organisasi. Salah satunya dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Konawe Selatan secara umum dan Kecamatan Baito secara khusus. Mereka tegas mengawal kasus tersebut.

Ketua PGRI Kecamatan Baito, Hasna, menyebut Supriyani dikenal sebagai sosok guru yang tenang, penyabar, ramah terhadap sesama pengajar, dan masyarakat. Olehnya itu, Hasna menyesalkan langkah polisi menangkap Supriyani. “Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas,” tegasnya.

Hasna menegaskan, pemberian hukuman kepada siswa adalah hal wajar di sekolah, tetapi dengan batas kewajaran. Ia yakin Supriyani tidak akan melampaui batas, apalagi dituduh menganiaya hingga luka pada paha bagian dalam.

Supriyani telah mendapat pendampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Konawe Selatan. Ketua LBH HAMI Konsel, Samsuddin mengatakan, kasus ini telah beberapa kali dimediasi di Polsek Baito. Hasil mediasi, orang tua anak itu meminta sejumlah uang kepada Supriyani, dan jumlahnya cukup fantastis.

Tak bisa dipenuhi olehnya. Apalagi Supriyani seorang guru honorer. “Pada saat pertemuan itu, ada permintaan Rp 50 juta agar perkara tidak berlanjut,” kata Samsuddin. Akibat uang damai tidak dipenuhi, sehingga kasus tersebut dilanjutkan, yang pada akhirnya Supriyani ditahan.

Pihak LBH HAMI Konawe Selatan telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan, namun hingga kini belum dikabulkan. “Masih menunggu izin dari Kepala Kejari Konsel,” imbuhnya. (b/ndi)

  • Bagikan