--Hingga Oktober, 40 Pekerja Migran Dideportasi
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Gaji bekerja di luar negeri cukup menggiurkan. Jangan heran, tidak sedikit warga Sulawesi Tenggara (Sultra) yang mencoba peruntungannya. Sayangnya, masih ada yang menempuh cara ilegal. Padahal banyak sekali resiko. Sepanjang tahun 2024, sebanyak 40 kasus pekerja migran asal Sultra masih yang dideportasi. Tiga diantaranya telah meninggal dunia.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sultra La Ode Askar mengungkapkan Malaysia menjadi negara dengan jumlah deportasi tertinggi bagi pekerja migran asal wilayah ini. Banyak dari mereka yang masuk ke Malaysia melalui jalur darat di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) tanpa dokumen resmi. Jalur ilegal ini menjadi pilihan sebagian besar pekerja migran karena dianggap lebih cepat dan mudah. Namun, risiko yang mereka hadapi sangat besar.
"Sebagian besar deportasi berasal dari Malaysia, terutama pekerja yang masuk secara ilegal melalui jalur darat. Mereka tidak hanya melanggar hukum di negara tujuan, tetapi juga menghadapi risiko besar seperti penangkapan dan pemenjaraan," jelasnya kemarin.
Pekerja migran dari wilayah kepulauan lanjutnya, cenderung memilih bekerja di Malaysia. Sementara pekerja dari wilayah daratan seperti Konawe lebih memilih bekerja di kawasan Timur Tengah. Selain deportasi, BP2MI juga menangani kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan dua warga asal Konawe. Kasus ini kini dalam penanganan pihak kepolisian.
"Selain itu, ada dua kasus pemulangan jenazah PMI yang meninggal di luar negeri. Seoramg dari Wakatobi yang dipulangkan dari Malaysia dan seorang lainnya dari Konawe yang meninggal di Timur Tengah," ujarnya.
Hanya saja, tidak semua jenazah bisa dipulangkan. Kasus tragis terjadi pada salah satu pekerja migran asal Kota Kendari yang meninggal di luar negeri. Karena statusnya yang ilegal dan keterbatasan anggaran di KBRI, jenazah tersebut tidak bisa dipulangkan ke Indonesia.
"Karena jenazah ini merupakan pekerja migran non-prosedural dan KBRI tidak memiliki cukup anggaran di akhir tahun untuk memulangkan. Kami terpaksa mengoordinasikan dengan keluarga korban untuk mengikhlaskan jenazah dimakamkan di negara tempat ia meninggal. Keluarga akhirnya menyetujui," ungkapnya.
Untuk pekerja migran yang berangkat secara non-prosedural, BP2MI hanya dapat membantu memfasilitasi komunikasi antara keluarga dan KBRI. Biaya pemulangan jenazah sepenuhnya menjadi tanggung jawab keluarga, mengingat mereka berangkat melalui jalur yang tidak sesuai dengan aturan.
"Kami BP2MI Sultra terus mengingatkan masyarakat tentang pentingnya berangkat ke luar negeri melalui jalur resmi dan prosedural. PMI ilegal tidak akan mendapatkan jaminan asuransi kematian maupun keselamatan kerja. Jika terjadi kecelakaan atau kematian, mereka tidak akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah atau perusahaan," tegasnya.
Sebaliknya, pekerja migran yang berangkat melalui jalur resmi mendapatkan perlindungan penuh, termasuk jaminan asuransi.
"Jika mereka berangkat sesuai prosedur, semua kecelakaan kerja atau kematian akan ditanggung oleh perusahaan yang memberangkatkan. Inilah yang ingin terus kami tekankan kepada masyarakat agar mereka memahami pentingnya bekerja ke luar negeri secara legal," lanjutnya.
Data BP2MI menunjukkan deportasi pekerja migran asal Sulawesi Tenggara bukan hal baru. Pada tahun 2023 merupakan angka tertinggi, tercatat sebanyak 93 orang dideportasi dari luar negeri. Tiga orang lainnya meninggal dunia. Kebanyakan dari mereka juga berasal dari Malaysia, negara yang selama ini menjadi tujuan utama pekerja migran ilegal dari Indonesia, khususnya wilayah Sultra.
"Kami terus mengedukasi masyarakat agar mereka memahami bahaya berangkat secara ilegal. Bekerja di luar negeri bisa memberikan penghasilan yang lebih baik, tetapi itu hanya bisa diraih dengan cara yang benar dan aman," ujarnya. (b/m1)