KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID- Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini lebih menekankan sebagai prosedur pengambilan keputusan. Padahal, demokrasi sejatinya sistem nilai yang harus ditegakkan dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua.
“Demokrasi itu bukan hanya soal suara terbanyak atau pemilu. Ini tentang representasi, pemenuhan hak, rule of law, bukan rule by law, dan tentu saja partisipasi. Demokrasi harus menjaga martabat setiap individu, bukan malah melanggarnya atas nama mayoritas,” kata Titi dalam diskusi yang diselenggarakan BPIP, Rabu (18/9/2024).
Titi mengungkapkan, Indonesia terjebak dalam praktik demokrasi yang parsial. Menurutnya, sistem politik Indonesia lebih berfokus pada pemilu dan partai politik sebagai instrumen kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya seringkali melupakan prinsip demokrasi yang lebih dalam. Seperti perlunya pengadilan yang independen, penegakan hukum yang konsisten, dan kebebasan dari rasa takut.
“Salah satu masalah utama adalah desain pemilu borongan, dimana pemilu nasional dan pilkada dilakukan serentak dalam waktu yang sama. Sistem ini tidak hanya membuat pemilu lebih rumit dan mahal, tetapi juga melemahkan budaya politik dan hukum di Indonesia,” ungkap Titi.
Dengan kampanye yang terpusat pada tahun-tahun pemilu, partai politik lebih fokus pada aspek pragmatisme, seperti politik uang dan pembelian suara, daripada memperjuangkan gagasan-gagasan politik yang kuat dan substansial.
“Pemilu serentak ini meminggirkan politik gagasan dan memperkuat politik uang. Publik menjadi sulit fokus karena pemilu terlalu besar dan kompleks. Bahkan, akses politik bagi kelompok minoritas dan marjinal semakin sulit,” papar Titi.
Karena itu, Titi memberikan rekomendasi untuk reformasi partai politik dan sistem pemilu di Indonesia. Pertama, ia menyarankan agar UU Partai Politik direvisi untuk mendorong desentralisasi politik dan memperbaiki integritas partai. “Selama sistem partai politik kita masih terpusat pada elit, jangan harap kita bisa mendapatkan budaya hukum yang baik,” tegasnya.
Selain itu, Titi juga mengusulkan reformasi pendanaan politik, di mana negara seharusnya memberikan alokasi dana yang signifikan untuk partai politik guna mendukung kaderisasi dan rekrutmen politik yang lebih berkualitas.
Ia juga mengusulkan kodifikasi aturan pemilu dan Pilkada, serta pembagian pemilu serentak menjadi dua tahap agar mesin politik partai terus bekerja sepanjang waktu, tidak hanya menjelang pemilu.
“Pemilu serentak dalam satu tahun itu melemahkan partai politik dan budaya hukum kita. Harus ada pembagian agar partai tetap bekerja dan masyarakat bisa mengevaluasi elit politik secara berkala,” tegasnya.
Sementara itu, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut, politik uang dalam pemilu di Indonesia dilakukan secara vulgar. “Kita tahu pemilu di Indonesia penuh dengan politik uang, dan ini dilakukan secara vulgar. Saya mengusulkan ada mekanisme koreksi yang cepat agar kesalahan-kesalahan ini tidak dibiarkan berlarut-larut,” ujar Agus.(jpg)