KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Proses pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur di Sulawesi Tenggara (Sultra) tidak menghadirkan sesuatu yang benar-benar baru. Berbeda dengan pemilihan presiden, dimana Anis Rasyid Baswedan berhasil menetapkan standar baru dalam menarik suara pemilih, terutama kaum muda melalui program “Desak Anies.”
Konsep ini merupakan strategi konsolidasi yang menantang status quo dengan cara mempertanyakan dan mendorong diskusi tentang gagasan serta visi misi calon presiden. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses politik, strategi ini menciptakan ruang untuk dialog yang lebih mendalam antara pemimpin dan rakyat yang tidak hanya memperkuat hubungan diantara mereka, tetapi juga meningkatkan kualitas diskusi publik dan pemahaman terhadap isuisu politik yang kompleks. Program “Desak Anies”
dirancang untuk menghadirkan demokrasi yang mencerdaskan. Awalnya, program ini menyasar pemilih muda, tetapi secara bertahap menjangkau kelompok pemilih yang lebih luas. Nuansa pendidikan politik yang mencerdaskan terlihat jelas, karena pemimpin akan diuji dalam kapasitas, pemikiran, gagasan, visi misi, dan rekam jejaknya. Pertanyaanpun mencuat dipermukaan, mengapa sasaran utamanya adalah kaum muda? Berdasarkan data dari Databoks (2023), jumlah pemuda mencapai 113 juta orang, yang mendominasi Pemilu 2024 dengan proporsi 56,45% dari total 204.807.222 pemilih.
Demikian pula, di Sulawesi Tenggara, data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa jumlah pemilih di Bumi Anoa mencapai 1.867.931 orang, dengan mayoritas adalah kaum milenial sebanyak 654.484 orang atau 35,04%, dan generasi Z sebanyak 517.628 orang atau 27,71%. Total pemilih dari kedua kelompok usia ini mencapai 1.172.112 orang, yang berarti lebih dari 62% pemilih di Sulawesi Tenggara berasal dari generasi muda. Melihat data tersebut, pemuda memiliki peran sentral karena merupakan lumbung suara.
Konsep “Desak Anies” secara tidak langsung menjadi wadah bagi pemuda untuk berekspresi dalam momentum politik saat ini. Pola dialogis memberikan mereka kebebasan yang lebih besar untuk secara langsung mempertanyakan gagasan, konsep, dan program yang ditawarkan oleh para calon kepala daerah. Ini sangat berbeda dengan model komunikasi monologis, dimana tidak ada ruang bagi seseorang untuk memberikan kritik, saran, atau masukan, apalagi membedah apa yang disampaikan oleh para calon secara langsung.
Terlebih jika komunikasi monologis tersebut dikemas dengan hiburan berupa konser, ruang dan waktu bagi masyarakat untuk berpikir dan mempertanyakan apa yang disampaikan oleh para calon menjadi semakin terbatas. Bahkan pikiran mereka bisa jadi terfokus hanya pada konser tersebut. Jalaluddin Rakhmat (1998) dalam bukunya “Psikologi Komunikasi” menjelaskan bahwa sebelum Adolf Hitler menyampaikan pidatonya, dilakukan pengaturan kondisi tertentu.
Ini dimulai dari pemilihan lokasi, pengumpulan massa yang dibuat berdesakan, hingga membiarkan mereka menunggu cukup lama sebelum Hitler muncul. Hal ini membuat massa semakin gelisah. Namun, sesaat sebelum Hitler tampil, himne Nazi dimainkan untuk memancing reaksi dan membangkitkan histeria. Ini membuat Hitler tampak lebih karismatik, terutama dengan kemampuannya dalam berpidato yang mampu menghipnotis massa.
Pendekatan ini dianggap lebih efektif dalam mempengaruhi massa, karena secara tidak langsung mereka telah teralihkan dari rasionalitas ke ranah emosionalitas. Terlebih dalam komunikasi massa, hal-hal simbolik cenderung memainkan peran yang lebih penting. Selain konser, peran media massa juga memiliki pengaruh yang signifikan. Meskipun media massa mungkin tidak dapat langsung mengubah sikap seseorang, media massa tetap berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan oleh masyarakat.
Artinya, media massa mempengaruhi persepsi publik tentang apa yang dianggap penting. Jika media massa terus-menerus memuat nama seseorang, maka orang tersebut akan dianggap sebagai tokoh penting. Begitu pula jika surat kabar, televisi, dan media komunikasi lainnya memuat secara besar-besaran deklarasi dan konser semua pasangan calon kepala daerah, maka hal itu akan menjadi topik pembicaraan di kalangan masyarakat.
Deklarasi yang dibalut dengan konser ini sebenarnya mencerminkan pengaruh budaya populer atau pop culture yang muncul pasca Perang Dunia II dan ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Budaya populer sering kali didefinisikan secara sederhana sebagai budaya yang menarik atau mudah dipahami oleh masyarakat umum. Namun, makna budaya populer bisa berbeda-beda, tergantung pada konteksnya, apakah itu terkait dengan budaya rakyat, budaya massa, atau budaya tinggi.
Budaya populer juga bisa merujuk pada artefak tertentu, seperti lagu populer atau program televisi, atau pada gaya hidup suatu kelompok, yang mencakup pola artefak, praktik, dan pemahaman yang membentuk identitas khas kelompok tersebut. Akibatnya, konsentrasi kekuatan budaya massa semakin terpusat di tangan konglomerat media besar.
Hannah Arendt (1961) dalam bukunya ”The Crisis in Culture” menyatakan bahwa ketika media dikendalikan oleh pasar, budaya akan dialihkan ke fokus hiburan. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks budaya, nilai-nilai yang paling mudah dipahami dan persuasif semakin diambil dari industri hiburan, yang pada akhirnya menurunkan standar keseriusan. Akibatnya, topiktopik yang hangat, ambigu, dan sering kali kejam menjadi norma. Sebagai contoh, surat kabar yang dulunya menyajikan berita internasional kini lebih banyak memuat gosip selebritas dan gambar wanita muda berpakaian minim. Di televisi, drama berkualitas tinggi digantikan oleh acara berkebun, memasak, dan program ‘gaya hidup’ lainnya, serta acara TV realitas dan sinetron konyol, sehingga orang-orang terus terfokus pada hal-hal remeh dalam budaya selebritas.
Konser saat deklarasi tersebut tidak memungkinkan untuk membahas hal-hal yang subtansial yang secara tidak langsung juga telah mengalihkan isu-isu strategis kehal-hal serimonial semata dan itu juga terjadi di media massa. Sehingga dinamika politik di Sulawesi Tenggara minim membahas isu-isu strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, yang seharusnya menjadi perhatian utama. Selain itu, masalah lapangan pekerjaan untuk generasi Z juga kurang mendapatkan perhatian, padahal isu ini tidak hanya melanda Indonesia tetapi juga negara-negara lain seperti.
Amerika Serikat dan Korea Selatan. Di Korea Selatan, generasi Z bahkan dijuluki sebagai generasi kanguru, atau generasi yang tidak mandiri dan masih bergantung pada orang tua. Perubahan fokus dari isu-isu substansial ke hal-hal yang kurang penting, yang dalam metode perang Tiongkok dikenal sebagai “mengarungi lautan menipu langit,” menggambarkan pengalihan perhatian dari masalah-masalah utama ke hal-hal remeh. Ini merupakan upaya untuk mengalihkan opini publik, membuat kita lebih terfokus pada kilau-megah deklarasi yang melibatkan artis dan band papan atas, sementara isu-isu penting seperti yang telah dijelaskan di atas terlupakan. Oleh karena itu, penting untuk mengingatkan pemuda bahwa politik adalah permainan jangka panjang, dimana keputusan yang diambil hari ini akan mempengaruhi masa depan dalam 5 hingga 10 tahun ke depan.
Sebagai penutup, buku Wawasan Kepemimpinan Politik oleh M. Alvan Alfian (2018) merefleksikan kutipan dari Nikita Sergeyevich Khrushchev, pemimpin Uni Soviet pada masanya, yang menyatakan, “Secara mendasar, semua politisi sama; mereka berjanji akan membangun jembatan, bahkan di tempat yang tidak ada sungai.”
Dengan demikian, penting untuk bersikap lebih kritis dalam menilai situasi dan menentukan pilihan pemimpin kepala daerah di masa depan. (*)