Menyoal Mahar Politik Dalam Pilkada

  • Bagikan

Penulis: MUHAMMAD SAM AL MUNAWI, S.H (Alumni Fakultas Hukum UHO/Praktisi Hukum)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahar diartikan sebagai pemberian wajib berupa uang atau barang dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan saat akad nikah. Mahar secara etimologi diartikan sebagai mas kawin.

Sedangkan, secara terminologi Mahar adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri, yang merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan mahar apabila diberikan oleh istri dengan sukarelah.

Mahar dalam prespektif ilmu politik dimaknai sebagai transaksi dibawa tangan (iliccit deal) yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari seseorang dan/atau calon untuk jabatan yang diperebutkan (ellected office) dalam pemilu atau Pilkada dengan Partai politik yang menjadi kendaraan politiknya.

Mahar jika disandingkan dengan politik, maka terbentuklah istilah mahar politik. Mahar politik merupakan pemberian uang kepada pengurus partai politik tertentu guna dijadikan sebagai kendaraan dalam kontestasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil walikota.

Tak jarang, mahar politik digunakan sebagai media politik transaksional para kandidat dalam perebutan jabatan politik. Acapkali terjadi dalam penyelenggaraan pesta demokrasi untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi pencalonan dalam Pilkada. Mahar politik dianggap sebagai ongkos perahu yang berdalih akan dijadikan sebagai dana pembiayaan untuk menjalankan roda kendaraan partai.

Larangan Mahar politik dalam Pilkada
Secara normatif, Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Konsep pengaturan dan pertanggungjawaban terhadap mahar politik yang dilakukan oleh calon kepala daerah kepada partai politik secara tegas diatur dalam Undang-undang Pilkada. Bahkan, Bakal Calon Gubernur, Bupati, Walikota dan Partai Politik yang memberi dan menerima mahar politik tersebut dapat dimintai pertanggungajawabannya secara admnistrasitif pun secara pidana.

Berkait larangan mahar politik dalam Pilkada, dapat dilihat secara detail dalam ketentuan Pasal 47 Undang-undang Pilkada sebagai berikut :
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.

(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

(5) Dalam hal putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, atau Walikota maka penetapan sebagai calon, calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Bupati, atau Walikota dibatalkan.

(6) setiap Partai Politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 Undang-undang Pilkada tersebut, secara nyata melarang Partai Politik atau gabungan partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun sepanjang proses pencalonan kepala daerah.

Pembatasan atau larangan tersebut berlaku pula pada subjek hukum orang untuk memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam proses pencalonan pilkada. Jika hal demikian dilakukan maka kedua subjek hukum tersebut akan dikenai sanksi Admnistratif dan sanksi Pidana.

Sanksi Admnistratif

Pasal 47 UU Pilkada mengatur larangan mahar politik dalam Pilkada. Selain itu, pengaturan tersebut secara langsung memuat ketentuan sanksi admnistratif. Jika pengadilan menyatakan suatu Partai Politik terbukti melanggar ketentuan norma Pasal 47, maka akan dikenakan sanksi admnistratif berupa : Parpol penerima mahar politik dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Larangan tersebut dilandaskan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya Pembantalan penetapan Calon Kepala Daerah dan penetapan Kepala Daerah yang terbukti menerima mahar politik dan ancaman admnistrtif selanjutnya adalah Parpol atau gabungan partai politik yang menerima mahar politik dikenakan denda 10 (sepuluh) kali lipat dari total mahar politik yang diterima.

Sebuah analogi, jika yang diterima Partai politik atau gabungan Partai politik sebesar Rp. 3 miliar, maka nilai Rp. 3 miliar tersebut dikali 10 kali lipat totalnya berapa? Kiranya bisa disimpulkan masing-masing.

Sanksi Pidana

Selain pengaturan sanksi Admnistratif yang konprehensif, UU Pilkada pun mengancam perbuatan mahar politik dengan sanksi Pidana. Pengaturan sanksi Pidana mahar politik dalam pilkada, berlaku kepada semua pihak yang terlibat dalam mahar politik.

Parpol atau gabungan Parpol yang menerima mahar dan orang atau lembaga yang memberi mahar politik sama-sama diancam sanksi pidana. Hal mana diatur dalam ketentuan Pasal 187B dan Pasal 187C.

Pasal 187B

Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 187C

Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Ringkasnya, Parpol atau gabungan Parpol yang menerima mahar politik diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp. 300 juta dan paling banyak Rp. 1 Miiar. Sedangkan, orang atau lembaga yang memberi mahar politik diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat 24 bulan atau paling lama 60 bulan dan pidana denda paling sedikit Rp. 300 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist : saat bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya kata-kata. Wallahu a'lam bishawab. (*)

  • Bagikan