Calon Tunggal dan Kotak Kosong Pilkada 2024

  • Bagikan

(Titik Temu Daulat Rakyat)

Penulis: MUHAMMAD SAM AL MUNAWI, S.H (Alumni Fakultas Hukum UHO/Praktisi Hukum)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan instrumen pelaksanaan demokrasi, menunjukkan sistem demokrasi politik di suatu negara berkembang. Pilkada adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Daulat rakyat tersebut dipertegas dalam Konstitusi, termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Repbulik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Sebagai wujud implementasi demokrasi, maksud dan tujuan penyelenggaraan Pilkada secara langsung tidak hanya untuk memenuhi keinginan merubah mekanisme lama sebelum reformasi yang pemilihannya dilakukan dengan gaya otoriter, akan tetapi jauh lebih penting tujuan pelaksanaan pilkada adalah tercapainya nilai demokrasi politik yang berkelanjutan.

Selain itu, pemilihan kepala daerah dapat meningkatkan partisipasi masyarakat yang belum maksimal secara menyeluruh serta terpenuhinya hak-hak konstitusional masyarakat dalam menentukan pemimpin diwilayhnya.

Jika merujuk ketentuan Pasal 201 ayat (8) undang-undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pilkada menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubnernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Setidaknya, Pilkada 2024 akan diselenggarakan secara serentak untuk pemilihan calon Gubernur/Wakil Gubernur di 37 Provinsi dan pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota di 508 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Sedangkan, berkaitan dengan jadwal pelaksanaan pilkada secara detail diatur dalam ketentuan PKPU 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan dan Jadwal yakni pendaftaran calon kepala daerah dilaksanakan tanggal 27 sampai dengan 29 Agustus 2024. Sedangkan, pelaksanaan pemungutan suara dijadwalkan pada tanggal 27 November 2024.

Calon tunggal dalam Pilkada serentak yang terjadi di beberapa daerah merupakan salah satu bentuk demokrasi empirik. Keadaan munculnya “calon tunggal” adalah keadaan secara normatif tidak terbayangkan. Hal demikian, menunjukkan demokrasi dalam implementasi terus berkembang yang dipengaruhi oleh sistem politik.

Calon Tunggal Tidak Mencederai Demokrasi dan Hukum

Keberadaan calon tunggal merupakan mata rantai dampak dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak. Fakta empiris tentang pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal menarik untuk dibahas sebagai wujud penerapan demokrasi lokal yang penuh dinamika. Partisipasi langsung masyarakat menjadi ukuran nyata demokrasi yang demokratis.

Fenomena calon tunggal atau istilah lainnya melawan kotak kosong pada pilkada 2024 diprediksi ada peningkatan jika sekiranya partai politik menjadikan pasangan calon tunggal sebagai strategi yang menjur untuk memenangkan pilkada. Namun demikian, partai politik berdalih bahwa kesepakatan mengusung calon tunggal merupakan konsekuensi sistem pemilihan yang disepakati pemerintah dan DPR.

Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah bukanlah hal baru. Mengutip situs Bawaslu RI, pada Pilkada 2015 setidaknya terdapat 3 (tiga) calon tunggal, lalu Pilkada 2017 bertambah 9 (sembilan) calon tunggal, selanjutnya pilkada 2018 ditemukan penambahan sejumlah 16 (enam belas) calon tunggal dan tahun 2020 naik signifikan menjadi 25 calon tunggal. Bagaimana dengan Pilkada 2024? Menarik untuk ditunggu, sebab pendaftaran calon kepala daerah dimulai 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024.

Munculnya kandidat tunggal dalam Pilkada merupakan konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. Putusan tersebut adalah hasil dikabulkannya permohonan uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang tentang Pilkada yang pada pokok persoalannya adalah terdapat kekosongan hukum pada Undang-undang tersebut dalam mengantisipasi munculnya calon tunggal dalam Pilkada. Meskipun, MK dalam putusannya mengabulkan dan menerima substansi dari permohonan tersebut terdapat perbedaan penekanan dan sudut pandang terkait calon tunggal.

Dalam menentukan pilihan, masayarakat pemilih tetap diberi keleluasan tanpa paksaan akan pilihannya secara demokratis. Pemilih dapat memilih gambar pasangan calon jika setuju pun demikian jika tidak setuju pemilih dapat memilih kolom kosong. Calon tunggal tidak melanggar asas demokrasi, kepantasan pun tidak dilanggar. Karena sejatinya, hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap warga negara yang dijamin pemenuhannya.

Dalam konteks menggunakan hak pilihnya, masyarakat dapat mengambil pilihan dengan tidak menggunakan hak politiknya jika tidak menghendaki calon tunggal. Artinya, kedaulatan sepenuhnya berada ditangan pemilih untuk menentukan pilihan. Sehingga secara yuridis, dalam pelaksanaan Pilkada dengan 1 (satu) pasangan calon vs Kolom kosong berlaku.

Kotak Kosong

Fenomena kotak kosong dalam Pilkada merupakan peristiwa dimana hanya ada satu pasangan calon yang berkotestasi, sementara kotak kosong menjadi pilihan alternatif bagi pemilih. Abesnnya pesaing dalam kontestasi politik lokal mencerminkan dinamika dan kualitas demokrasi suatu daerah. Tak jarang, keberadaan kotak kosong dianggap sebagai keuntungan bagi pasangan calon tunggal yang mengikuti Pilkada, faktanya tidak selalu demikian.

Mendefenisikan kotak kosong bukan berarti kotak suara yang kosong, akan tetapi munculnya calon tunggal yang tidak memiliki saingan sehingga dalam surat suara posisi lawan dinyatakan dalam bentuk kotak kosong. Adanya kotak kosong tidak lantas menjadikan calon tunggal secara aklamasi ditetapkan sebagai pemenang Pilkada.

Mekanismenya adalah dengan pemilihan antara pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Adapun penyebab calon tunggal melawan kotak kosong dalam kontestan Pilkada diantaranya sulitnya memenuhi persyaratan untuk maju di pilkada terutama bagi calon independen, sistem koalisi yang pragmatis, hingga gagalnya kaderasisasi di level partai.

Mekanisme Penetapan Calon Tunggal

Lumrahnya, dalam Pilkada terdapat dua atau lebih pasangan calon. Namun tak sedikit daerah dalam Pilkada ditemukan Pasangan Calon Tunggal. Pasangan Calon Tunggal berarti dalam pemilihan tersebut, hanya ada satu pasangan calon yang memenuhi syarat dan ditetapkan sebagai pasangan calon.

Jika menilik ketentuan Pasal 54 C ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, menyatakan bahwa “Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi :
a. Setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat.

b. Terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

c. Sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

d. Sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau.

e. Terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

Sementara norma pasal 54C ayat(2) UU 10/2016 menyatakan bahwa “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar”. Sedangkan, pada ayat 3 pasal tersebut menyebutkan bahwa “Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos”. Artinya, Pemberian suara dalam pilkada pada satu pasangan calon atau melawan kotak kosong dengan cara mencoblos 1 (satu) kali pada kolom yang memuat foto pasangan calon atau mencoblos kolom kosong yang tidak bergambar.

Menghitung Kemenangan Calon Tunggal

Pada Pilkada 2024, diperkiran fenomena calon tunggal akan mengalami peningkatan, mengingat berbagai faktor yang mempengaruhinya, termasuk didalamnya adalah intevensi kekuasan, kemampuan finacial, popularitas serta kekurangan kader partai politik.
Penentuan pemenang dalam Pilkada dilandaskan pada perolehan suara terbanyak. Hal mana disebutkan dalam pasal 107 ayat (1) UU 10 tahun 2016 Tentang Pilkada, disebutkan bahwa “Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih”. Lalu bagaimana menghitung kemenangan jika hanya terdapat calon tunggal hingga ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada?

Landasan yuridis mekanisme penentuan pemenang Pilkada dengan hanya terdapat satu pasangan calon, secara rinci disebutkan dalam ketentuan Pasal 54D ayat (1) menyatakan bahwa “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah”.

Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen), maka dapat dimaknai calon tunggal tersebut dinyatakan kalah dan dapat mencalonkan kembali pada Pilkada selanjutnya.

Lebih lanjut, Pasal 107 ayat (3) menyebutkan “Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih”.

Sedangkan berkait dengan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur tunggal diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (3) yang pemaknaanya sama dengan pasal 107 ayat (3), perolehan suaranya harus mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.

Turunan dari UU Pilkada sebagaimana disebutkan diatas, juga diatur dalam pasal 22 ayat (2) PKPU Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Perubahan PKPU Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon, menegaskan bahwa KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon yang mendapatkan suara sah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah sebagai pasangan calon terpilih pada pemilihan dengan 1 (satu) pasangan calon.

Berdasarkan argumentasi hukum tersebut, maka jelas dan tegas penghitungan pemenang antara pasangan calon tunggal melawan kota kotak kosong adalah memperoleh suara sah lebih daru 50 % dari suara sah hasil pemilihan.

“Pilihan seorang pemilih yang berdaulat adalah amanat yang harus dijaga kemurniannya, meski mungkin pada akhirnya suara-suara itu tidak mencukupi untuk menentukan seseorang menjadi pemimpin”. Wallahu a'lam bishawab.
(*)

  • Bagikan