-- Penguatan Penegakan Hukum Di Laut
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (FH-UHO) menggelar Focus Group Discussion atau FGD, Rabu (26/7) lalu. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa unsur perguruan tinggi se Sulawesi Tenggara yaitu Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo sebagai penyelenggara, Universitas Muhammadiyah Kendari, Universitas Sulawesi Tenggara, Universitas Karya Persada Muna.
Akademisi yang hadir memberikan tanggapan, analisis, kritik dan saran terkait Pengaturan dalam rancangan perubahan UU Kelautan. Para Pemantik yang hadir dalam FGD ini, diantaranya adalah Dr. Herman, SH, LL.M., dan Dr. Ahmad Rustan, SH, MH.
Ketua Pelaksana Kegiatan FGD, Dr. Ali Rizky, S.H., M.H., mengatakan bahwa Keberadaan Indonesia sebagai negara maritim menempatkan Indonesia tidak hanya memiliki sumber daya alam laut dan pesisir yang melimpah namun juga hendaknya senantiasa memiliki penyelenggaran keamanan, keselamatan dan pelindungan lingkungan laut yang efektif, efisien serta responsif terutama terkait penegakan kedaulatan Negara atas laut. Terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur terkait keamanan laut, kemaritiman dan penegakan Hukum berserta lembaga-lembaga terkait hal itu. Namun sejumlah regulasi itu menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara instansi/lembaga itu sendiri.
Lebih lanjut, Ali Rizky mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki lembaga Coast Guard atau Coast Maritim. Akibatnya jika terjadi pelanggaran hukum di laut, seringkali penanganannya tidak tuntas. Selaras dengan itu UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dianggap belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum terhadap operasi keamanan laut dan upaya penegakan hukum di laut sebagai kebutuhan hukum saat ini.
RUU perubahan atas UU Kelautan memasukkan beberapa pengaturan baru terkait keamanan laut dan penegakan hukum (Pasal 11a sampai 11c) serta penguatan kedudukan Bakamla sebagai Indonesian Sea and Coast Guard untuk melakukan operasi penjagaan keamanan laut dan penegakan hukum laut dengan bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Pasal 12a). Bakamla juga dalam RUU ini diberi kewenangan penyidikan dan kewenangan sebagai intelijen agar penegakan hukum lebih efektif dan efisien.
Adanya pengaturan baru tersebut tentu sangat terkait dengan kepastian hukum tata kelola keamanan dan penegakan hukum laut sehingga perlu untuk menjaring aspirasi dan pendapat dari para akademisi atas RUU perubahan UU kelautan ini terkait penguatan penegakan hukum laut. Utamanya kejelasan peran dan fungsi dari lembaga-lembaga yang menjadi bagian dari Bakamla terkait keamanan dan penegakan hukum sehingga Bakamla dapat menjadi lembaga yang Single Agency Multi Task dalam penegakan hukum di laut.
Ketua Pusat Kajian dan Bantuan Hukum Universitas Halu Oleo ini juga menjelaskan bahwa hasil FGD menunjukkan bahwa RUU perubahan UU Kelautan masih menyisahkan sejumlah masalah terkait ketidak jelasan tugas kewenangan masing- masing lembaga yang tergabung dalam Bakamla karena sejumlah lembaga itu telah memiliki regulasi tersendiri tentang tugas kewenangannya. Sejumlah perubahan pada RUU itu tidak memberikan kepastian hokum pengaturan kewenangan tentang pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan keamanan pelayaran utamanya peran TNI dan POLRI.
“Beberapa usulan yang disampaikan, antara lain sistem yang ada sekarang diarahkan ke “Single Agency Multy Task” dengan menempatkan Kepolisian sebagai leading sector dan sistem tidak mengarah pada “Single Agency Multy Task atau pun ke “Multy Agency-Single Task” namun dilakukan pembentukan peraturan baru setingkat UU masing-masing tentang Pertahanan Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan Pelayaran. Diharapkan dengan upaya pembentukan RUU Kelautan yang baru dapat memenuhi tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum lebih jauh lagi mampu membawa Indonesia menjadi Negara maritime yang kuat dan membawa kesejahteraan,” beber Alumni Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga. (rls/win)