Oleh: Baharuddin Yusuf. Wabendum Badko HMI Sultra
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Pemilu tahun 2024 ini, pemuda menjadi setral diskusi, baik pada persoalan lumbung suara yang terletak pada pemuda maupun persoalan kandidat atau bakal calon yang lahir dari para pemuda. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat jumlah pemuda di Indonesia mencapai 64,16 juta orang, atau setara dengan 23,18% dari total populasi, dan Gen- Z mendominasi penduduk Indonesia. Dalam wacana kontemporer, terdapat dua klasifikasi generasi: Generasi Milenial yang dilahirkan antara tahun 1981 dan 1997, dan Generasi Z yang dilahirkan antara tahun 1998 dan 2010. Gen-Z dalam wacana politik 2024 sebagian besar terdiri dari pemilih pemula yang keterlibatannya dalam kancah politik masih sangat baru. Pengalaman mereka dalam hal ini sangat minim, tetapi antusiasme Gen-Z terhadap politik sangat tinggi meskipun mereka kurang informasi. Minat yang tinggi terhadap politik ini berasal dari rasa ingin tahu yang besar dan era keterbukaan informasi saat ini. Selain itu, mereka dikenal sebagai digital native, generasi yang lahir di era penetrasi internet yang tinggi. Survei yang dilakukan oleh Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Consulting (2022) menunjukkan media sosial adalah sumber utama bagi Gen-Z untuk mendapatkan dan terpapar berbagai informasi, termasuk politik. Bagi Gen-Z, informasi yang mereka butuhkan bukan hanya perkembangan kasus politik yang banyak diberitakan di media, tetapi juga pendidikan politik.
Generasi milenial dianggap memiliki potensi signifikan untuk berperan penting dalam kepemimpinan dan pembangunan di Indonesia. Generasi ini memiliki kans besar untuk memengaruhi perubahan sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri karena mereka terhubung secara global, mahir dalam teknologi, dan memiliki pandangan progresif tentang berbagai isu sosial dan lingkungan. Sintesis karakteristik ini dapat menjadi modal berharga dalam memimpin dan menciptakan inovasi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman. Akan tetapi, kepemimpinan bukan hanya berkutat pada usia atau generasi, tetapi juga tentang kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh seseorang.
Sejarah menunjukkan kepemimpinan tidak hanya dilihat dari satu indikator, yaitu usia. Di Roma, konsul-konsul dan beberapa pejabat pengadilan diangkat tanpa mempertimbangkan usia mereka. Oleh karena itu, setiap warga memiliki kesempatan untuk menjadi konsul dan mendapatkan penghormatan tanpa memandang perbedaan usia atau latar belakang kelahiran. Usia tidak selalu mencerminkan kualitas yang diperlukan dalam mengelola masyarakat; yang lebih penting adalah jasa yang telah dilakukan, baik oleh yang tua maupun yang muda. Contohnya adalah Valerius Corvinus, yang diangkat menjadi konsul pada usia dua puluh tiga tahun dan menyatakan kepada pasukannya bahwa jabatan konsul didasarkan pada jasa, bukan keturunan.
Meniliki Databoks tahun 2023 yang merilis 10 provinsi dengan jumlah pemuda terbanyak, terutama di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua dengan persentase 26,64%, Papua Barat dengan 26,17%, Kepulauan Riau dengan 25,38%, Maluku Utara dengan 25,07%, Aceh dengan 24,96%, Maluku dengan 24,89%, Sumatera Utara dengan 24,84%, Kalimantan Utara dengan 24,67%, Sulawesi Barat dengan 24,46%, dan Sulawesi Tenggara dengan 24,30%. Setiap provinsi ini menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangannya pemimpin muda yang berkualitas. Dengan adanya jumlah pemuda yang besar, setiap provinsi memiliki peluang untuk menemukan individu yang memiliki bakat, visi, dan komitmen untuk memimpin serta mewakili kepentingan masyarakat. Potensi ini menjadi indikator bagi kemajuan dalam pembentukan kepemimpinan yang inklusif dan beragam di Indonesia.
Sulawesi Tenggara termasuk dalam urutan ke-10 provinsi dengan jumlah pemuda terbanyak. Di provinsi ini, 17 kabupaten/kota akan mengadakan pemilihan kepala daerah dan wali kota. Kota Kendari, sebagai ibu kota provinsi, menjadi pusat perhatian karena perputaran ekonomi yang signifikan di sana, sehingga pemilihan wali kota Kendari dianggap menarik. Dalam proses pemilihan nanti, beberapa nama dengan berbagai latar belakang telah masuk dalam bursa pencalonan Wali Kota Kendari. Di antaranya adalah Aksan Jaya Putra, anggota DPRD Sultra dari fraksi Golkar; Siska Karina Imran, mantan Wakil Wali Kota Kendari, putri Nur Alam (mantan Gubernur Sultra) Sitya Giona Nur Alam yang juga Ketua Garnita Malahayati Partai NasDem Sultra. Ada Afdhal (Ketua Perindo Sultra), Abdul Rahman (Ketua Peradi Kendari), Abdul Razak (Sekretaris DPW PPP Sultra), Asmawa Tosepu (mantan Pj Wali Kota Kendari) dan Tri Febrianto Damu, Ketua Bidang Organisasi Keanggotaan dan Kelembagaan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (OKK BPP HIPMI).
Nama-nama di atas perlu dipelajari lebih mendalam dengan menelaah rekam jejak atau latar belakang masingmasing bakal calon. Pengalaman dan catatan prestasi individu merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan saat memilih Wali Kota Kendari nantinya. Mengumpulkan informasi ini penting agar kita mengetahui siapa yang kita pilih dan gagasan apa yang mereka bawa untuk daerah yang dipimpinnya. Barometer utama adalah prestasi yang pernah mereka capai, atau seperti yang dikatakan Machiavelli, hal besar apa yang pernah mereka lakukan. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada retorika populis semata. Hal ini sangat penting karena akan menentukan wajah daerah kita dalam 5 hingga 10 tahun ke depan. Pentingnya langkah ini semakin jelas mengingat minimnya pendidikan politik di Sulawesi Tenggara, terutama di Kota Kendari. Dalam kondisi seperti itu, sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire, semakin rendah pendidikan politik di suatu daerah, semakin tinggi manipulasi yang akan terjadi.
Secara keseluruhan, memahami latar belakang dan prestasi yang telah dicapai oleh calon pemimpin membantu kita membuat keputusan diatas kesadaran kita sendiri (tanpa intervensi) dan lebih terinformasi saat memilih. Dengan memastikan calon memiliki kompetensi yang sesuai dan integritas yang tinggi, kita secara tidak langsung menempatkan tanggung jawab kepemimpinan pada orang yang tepat. Mengingat politik adalah perang tanpa pertumpahan darah dalam analogi Mao Zedong, maka mengambil prinsip yang diterapkan oleh Sun Tzu sebagai ahli strategi perang adalah langkah yang efektif.
Sun Tzu (2002) menyatakan bahwa dalam memilih seorang komandan militer sebagai teladan, penekanan pada seleksi personel militer (latar belakang individu) mencerminkan asumsi mendasar dalam tradisinya. Aspek yang paling penting adalah bahwa komandan tersebut harus menjadi contoh yang baik atau teladan, menggunakan keterampilan militer mereka berdasarkan karakter yang unggul. Kemampuan mereka untuk mencapai prestasi yang besar dalam posisi mereka (efektivitas mereka) bergantung pada perkembangan karakter mereka (proses pembentukan karakter). Ini didefinisikan dalam tulisannya sebagai “hikmat, integritas, kemanusiaan, dan disiplin”, yang merupakan standar aliran Confucian. Seorang komandan yang memenuhi semua aspek ini dianggap sebagai penjaga jalannya pemerintahan; selama dia memegang posisi itu, negara akan tetap kuat, karena statusnya sebagai manusia teladan.
Pemimpinan tidak hanya diperoleh melalui pembelajaran teoritis, tetapi juga melalui eksperimen atau pengalaman yang panjang. Oleh karena itu, kepemimpinan dianggap sebagai seni. Sebagai sebuah seni, kepemimpinan melibatkan kombinasi keterampilan, intuisi, dan pemahaman yang mendalam tentang dinamika manusia dan situasi. Seperti seni lainnya, kepemimpinan membutuhkan kreativitas, pengetahuan, dan pengalaman untuk dikuasai sepenuhnya. Ini tidak hanya tentang penguasaan keterampilan teknis, tetapi juga tentang kemampuan untuk memotivasi, menginspirasi, dan memimpin orang lain dengan efektif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemimpin besar sering kali berasal dari pengalaman yang penuh tantangan, seperti yang diuraikan oleh Conrad H. Lanza (2010) tentang Napoleon Bonaparte, yang memulai pengalaman perangnya sejak usia muda. Bahkan, lawannya sendiri, Archduke Austria bernama Charles, memberikan kesaksian bahwa tidak seorang pun dapat menjadi pemimpin hebat kecuali telah melalui pengalaman panjang dan telaah yang mendalam.
Proses Pilwali pada 27 November 2024, menekankan pentingnya tidak terjebak pada alat peraga atau janji-janji kampanye yang hanya menimbulkan harapan yang tak terukur. Lebih bijaksana untuk secara teliti mendalami informasi tentang para calon tersebut, sehingga tanggung jawab kepemimpinan dapat ditempatkan pada pundak yang tepat. Mereka yang telah berjuang dari bawah memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika sosial dan kepemimpinan. Meskipun secara teoretis kita bisa menjelaskan penderitaan dan hak-hak rakyat, pemahaman yang sebenarnya hanya dimiliki oleh mereka yang benar-benar mengalaminya atau pernah merasakannya, dan hal itu tercermin melalui pengalaman dan prestasi yang telah mereka capai. (*)