KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Penyelenggaraan ritual haji yang dikelola Kemenag RI setiap musim haji semakin baik dan sangat layak diacungi jempol karena senantiasa ada inovasi dan solusi kebijakan yang diambil serta berpihak pada jamaah haji. Teranyar yang menarik dilakukan adalah kebijakan Murur bagi jamaah haji yang melintas menuju Muzdalifah. Murur secara etimologis berarti “melintas”. Kebijakan Murur ini tidak diambil sendiri oleh Kemenag RI, akan tetapi diputuskan secara bersama dengan unsur Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), beserta Ormas Islam lainnya.
Menurut Rektor IAIN Kendari Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag., bahwa kebijakan yang diambil Kemenag RI dalam pelaksanaan Murur bagi jamaah haji Indonesia dipandang sangat solutif karena mengingat terdapat sekitar 55 ribu atau 21,41 persen dari 241 ribu jamaah haji Indonesia tergolong lanjut usia (Lansia) dan penyandang Disabilitas (berkebutuhan khusus) yang apabila mereka turun dari bus untuk mengikuti Mabit di Muzdalifah berisiko sangat tinggi karena sekitar 2,5 juta orang tumpah ruah di area itu.
“Sehingga sangat riskan bagi jamaah haji umur Lansia dan penyandang Disabilitas. Jiwa mereka terancam kalau jalan sambil berdesakdesakan dan ditambah lagi dengan cuaca yang kurang bersahabat, serta kondisi fisik yang lemah, sehingga berpotensi menimbulkan korban jiwa. Kondisi inilah yang mesti dihindari,” ungkapnya.
Oleh karena itu, muncul kebijakan baru berupa Murur. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip hukum Islam yakni memelihara jiwa manusia (hifdz al-nafs). Dipahami dalam agama Islam bahwa beribadah untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya memang dianjurkan, tetapi menjaga keselamatan jiwa juga jauh lebih penting.
“Kebijakan Murur ini dinilai sangat tepat karena untuk mencegah akibat yang lebih fatal berupa terinjak-injaknya jemaah karena ketidakmampuan untuk berdesak-desakan di tengah lautan manusia, ditambah lagi dengan rendahnya kadar oksigen di sekitar Muzdalifah, sehingga dapat berakibat fatal. Untuk mencegah semua itu terjadi, maka Murur menjadi jalan keluarnya. Langkah ini juga selaras dengan kaidah ushul, yaitu “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (menolak kemudharatan lebih utama dibanding memperoleh kemaslahatan),” jelasnya.
Kaidah utama yang menjadi landasan fiqhiyah diputuskannya kebijakan ini adalah “al-muhafazhatu ‘ala qadim al-shalih wal akhdu bi al-jadid al-ashlah” (mempertahankan kebijakan lama yang baik dan menerapkan kebijakan baru yang jauh lebih baik). Jadi dari segi Fiqih kebijakan Murur ini sesungguhnya sudah tuntas dasar hukumnya.
“Murur dilakukan jamaah dengan cara menetap di dalam bus ketika di Muzdalifah dan berniat untuk Mabit di sana, selanjutnya melintas menuju Mina. Mereka tidak perlu turun dari bus karena cuaca akan mempengaruhi kondisi kesehatan jamaah dan berbagai risiko lain yang akan muncul. Kebijakan ini dinilai tidak melanggar, sehingga jamaah haji tidak perlu membayar Dam (denda) karena hukumnya dibolehkan dan dipandang tidak merusak pahala haji,” beber Prof Husain Insawan.
Ia menambahkan, bahwa dampak yang ditimbulkan sangat positif karena menambah ketertiban dan kenyamanan jamaah, mengurangi kelelahan yang berakibat fatal, asupan oksigen yang memadai, mobilisasi jamaah semakin lancar, serta pengorganisasian dan koordinasi PPIH semakin mudah. “Dampaknya secara keseluruhan sangat membantu jamaah haji Lansia dan Disabilitas, sehingga tagline bahwa penyelenggaraan haji oleh Kemenag RI yang Ramah Lansia dan Disabilitas terjawab sudah secara tegas,” tutupnya. (rls/ win)