Ada Uang, Ada Suara

  • Bagikan
ILUSTRASI: AGR/KENDARI POS
ILUSTRASI: AGR/KENDARI POS

--Pengamat : Potensi Money Politic Tinggi di Pilkada

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Idiom tidak ada makan siang gratis melekat benar dalam benak pemilih pada setiap perhelatan pemilihan. Idiom yang belakangan menjadi “ritual” ada uang, ada suara (baca: politik uang) itu hampir terjadi pada semua level pemilihan. Mulai dari level pemilihan kepala desa (Pilkades), pemilihan kepala daerah (Pilkada), hingga pemilihan calon legislatif (Pilcaleg). Kendati pembuktian secara hukum masih hitung jari, namun praktik politik uang (money politic) benar-benar terjadi dan menjadi rahasia umum.

Pengamat politik Sultra Dr.Muh Najib Husain, S.Sos., M.Si menilai praktik politik uang pada pergelaran Pilkada masih kerap kali terjadi. Hal ini menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia dan Sultra. Padahal, salah satu pertimbangan adanya pemilihan langsung adalah, agar praktik politik uang itu dapat dieliminir.

Dr.Muh Najib mengatakan, potret pengalaman di Pilpres 14 Februari 2024, kecenderungan terjadinya money politic jauh lebih besar di pilkada kabupaten/kota hingga pilkada di provinsi. Hal itu dipengaruhi kedekatan emosional antara pemilih dengan figur bakal calon kepala daerah.

Menurut Dr.Muh Najib, interaksi langsung antara figur dengan para pemilih itu sangat dekat dan tidak ada bagian yang menghalangi proses interaksi tersebut, sehingga apapun yang menjadi keinginan pemilih itu dipenuhi oleh seorang calon kepala daerah di Pilkada.

“Hasil survei yang kita lakukan menunjukkan keinginan pemilih-di Sultra untuk menerima uang masih di atas 50%. Kategorinya ada 3 macam. Pertama, terima uangnya jangan pilih orangnya. Kedua, terima uangnya pilih orangnya. Ketiga, terima uang dari semua calon dan pilih calon yang paling tinggi uangnya,” jelas Dr.Muh Najib kepada Kendari Pos, Rabu (19/6/2024).

Hasil survei internal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo (UHO) menunjukkan perilaku terima uangnya dan pilih orangnya yang paling dominan dalam praktik bursa money politic. Itu adalah kategori paling banyak di kalangan masyarakat. Persentasenya menyentuh 55% dari skala 100%,” kata Dr.Muh Najib.

Kemudian, perilaku terima uang dari semua calon dan pilih calon yang paling tinggi uangnya berada pada tren 45%. Mereka yang terima uangnya tapi tidak pilih orangnya sekira 5%.

“Karena ini sudah menjadi kebiasaan yang telah dibuka oleh para kandidat sehingga para pemilih pun menganggap bahwa inilah pesta demokrasi yang sesungguhnya. Adanya pembagian uang itu dianggap sebagai pesta demokrasi,” imbuh Dr.Muh Najib.

Akademisi FISIP UHO itu menjelaskan, faktor lain yang melatarbelakangi pemilih menerima uang dari kandidat saat Pilkada berangkat dari pemikiran, jika kandidat sudah terpilih maka tidak akan lagi berpikir dan memperhatikan nasib rakyat.

Selain itu, beberapa pemilih beranggapan momentum pilkada ini adalah ajang memberikan sanksi kepada para calon. Pemilih hanya mengambil uangnya tapi kemudian tidak pilih orangnya. “Jumlah pemilih kategori ini tidak terlalu banyak dibandingkan pemilih yang konsisten mengambil uang dan memilih orangnya,” jelas Dr.Muh Najib.

Doktor jebolan Universitas Gajah Mada itu menguraikan, kehadiran Bawaslu diharapkan melahirkan lahirnya pemilihpemilih rasional yang menjadikan dasar pilihannya adalah visi dan misi. Selain itu, melakukan sosialisasi tentang sanksi penerima maupun pemberi uang.

“Memang berat jika tidak ada regulasi ketat misalnya Bawaslu berikan ruang gerak yang lebih jelas karena selama ini Bawaslu tidak bisa berbuat apa-apa akibat tidak punya kewenangan melakukan eksekusi langsung,” urai Dr.Muh Najib.

“Sampai hari ini tidak ada yang terkena ancaman undang-undang pemilu. Karena memang aturannya sangat sulit untuk bisa menangkap orang yang melakukan money politic,” sambungnya.

Langkah serius memberangus money politik mesti dengan perbaikan regulasi. Menekankan aturan untuk menghilangkan kesulitan seseorang bisa dijerat oleh hukuman.

“Mahar” Politik

Di ranah partai politik (parpol) pengusung figur di Pilkada, sangat kental praktik money politic dengan dalih “mahar” politik. Untuk bisa mendapatkan pintu partai di pentas Pilkada, bakal calon kepala daerah mengeluarkan biaya yang besar. Misalnya, untuk mendapatkan surat tugas dari parpol, bakal calon kepala daerah harus membayar puluhan juta rupiah.

“Itu baru surat tugas, belum lagi untuk mendapat rekomendasi parpol. Seharusnya parpol-parpol bisa menghindari hal-hal seperti itu dengan mendukung calon yang benar-benar punya elektabilitas tinggi bukan karena punya isi tas yang lebih besar,” beber Dr.Muh Najib.

Fenomena mahar politik menyebabkan kader parpol tertentu tidak mendapatkan dukungan dari partainya sendiri di Pilkada karena persoalan mahar. Seharusnya parpol-parpol kembali pada fungsi utamanya, yakni memberikan edukasi politik kepada masyarakat.

Salah satu caranya dengan tidak mensyaratkan mahar untuk pintu partai bagi calon kepala daerah, walaupun alasannya mahar yang diberikan oleh calon akan digunakan untuk biaya politik (cost politic), misalnya biaya survei. “Sebaiknya parpol tidak perlu terlibat dalam survei tapi cukup membedah visi dan misi para calon agar biaya politik tidak terlalu tinggi,” pungkas Dr.Muh Najib.

Pemilih Pemula Rentan Tergoda

Sebelumnya, Ketua Bawaslu Sultra Iwan Rompo mengatakan, pemilih yang paling dikhawatirkan menjadi sasaran politik uang adalah pemilih pemula. Mereka (pemilih pemula) sangat rentan tergoda iming-iming sejumlah uang sebagai mahar memilih pasangan calon (paslon) kepala daerah tertentu.

“Hasil penelitian menunjukkan pemilih pemula sangat sensitif terpengaruh money politic. Salah satu indikator, kurangnya penanaman pendidikan politik terutama mengenai sistem memilih kepala daerah yang ideal,” kata Iwan Rompo kepada Kendari Pos dalam sebuah kesempatan.

Karena itu, kata dia, sosialisasi serta edukasi tentang dampak buruk money politik mesti diajarkan sejak dini. Sehingga ketika nanti tiba saatnya diikutsertakan dalam pilkada 2024, sudah bisa membedakan proses politik baik ataupun yang salah.

“Mengharapkan lahirnya pemimpin berkualitas, mumpuni, dan benar-benar bekerja memperjuangkan aspirasi masyarakat, harus ditunjang oleh pemilih cerdas. Diantara cirinya menolak tegas praktek politik uang,” terang Iwan Rompo. (ali/b)

  • Bagikan