Oleh: Arifuddin Mas’ud. Guru Besar Akuntansi dan Mantan Dekan FEB UHO
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Judul ini lahir karena terinspirasi oleh mahasiswa ketika mengajar yang mempertanyakan tentang urgensi opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan yang disajikan oleh kementerian/Lembaga dan Pemerintah daerah terkait dengan praktek korupsi. Saya memahami pertanyaan ini sekiranya menjadi kerisauan bagi mahasiswa dan bahkan masyarakat seiring dengan informasi dari media cetak maupun elektronik bahkan disertai ucapan selamat dan sukses atas pencapaian pemberian opini WTP oleh BPK kepada kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah (kabupaten, kota dan provinsi). Namun di sisi lain di media tersebut juga memuat berita adanya praktek korupsi yang terjadi di beberapa Kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah yang telah memperoleh opini WTP. Pertanyaan tersebut menarik karena adanya beberapa Kementerian/ Lembaga termasuk pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP, namun di sisi lain masih terjadi praktek korupsi.
Pertanyaan mahasiswa tersebut mungkin juga terjadi bagi kalangan masyarakat awam tentang urgensi opini WTP dan apakah opini WTP yang diberikan oleh BPK kepada Kementerian/Lembaga serta pemerintah daerah dapat menjamin bahwa entitas tersebut terbebas dari praktek korupsi. Tidak mustahil masyarakat juga mempertanyakan mengapa terjadi praktek korupsi sementara laporan keuangan yang disajikan oleh suatu kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah telah memperoleh opini WTP dari BPK. Selain itu, opini WTP tak jarang juga menggiring opini publik bahwa mustahil terjadi praktek korupsi bagi suatu kementerian/ Lembaga termasuk pemerintah daerah yang telah memperoleh opini WTP dari BPK.
Fenomena ini menarik untuk dikemukakan dalam tulisan ini agar tidak memberikan informasi yang ambigu kepada masyarakat. Tulisan ini tidak bermaksud menyajikan gambaran kondisi laporan keuangan suatu Kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah, melainkan hanya menggambarkan sebahagian kecil urgensi opini WTP yang diberikan oleh auditor kepada Kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah. Apabila ditinjau dari sisi auditor pekerjaan audit merupakan pekerjaan profesi yang membutuhkan keahlian khusus menurut aturan dan persyaratan profesi berdasarkan standar audit dan kode etik untuk memperoleh kualitas audit yang mamadai.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 satu satunya lembaga yang melakukan pemeriksaan, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara adalah BPK. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK menghasilkan laporan audit yang di dalamya memuat opini audit yang merupakan pernyataan atau pendapat profesional berupa kesimpulan auditor mengenai tingkat kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh suatu Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah. Opini yang diberikan oleh BPK memberikan konsekwensi penilaian dari pihak eksternal tentang kualitas pengelolaan keuangan negara/ daerah termasuk efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran yang digunakan oleh suatu kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah, yang bermuara pada pertanyaan apakah pemegang amanah (agent) dapat melakukan tugas dan tanggung jawab kepada pihak pemberi amanah (principal) terkait pengelolaan keuangan dan penggunaan anggaran secara efisen dan efektif sebagaimana dalam agency theory yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976).
Jenis opini yang diberikan oleh BPK atas pemeriksaan laporan keuangan Kementerian/ Lembaga termasuk pemerintah daerah adalah opini WTP (unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian atau WDP (qualified opinion), Tidak Wajar (adverse opinion) dan Tidak Memberikan Pendapat (disclaimer opinion). Opini WTP diberikan oleh auditor apabila laporan keuangan yang mencakup laporan posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material berdasarkan Standar Akuntansi yang berterima umum, patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak terdapat salah saji material atas pos-pos palaporan keuangan serta memenuhi sistem pengendalian intern (SPI) yang mamadai.
Sementara itu opini WDP diberikan oleh auditor dalam hal penyajian laporan keuangan secara wajar dalam semua hal yang material atas laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku umum, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan hal yang dikecualikan. Pendapat tidak wajar diberikan oleh auditor apabila laporan keuangan disajikan menyimpan dari standar akuntansi yang berlaku umum, pembatasan ruang lingkup audit, dan tidak akuratnya administrasi pencatatan. Demikian halnya opini tidak memberikan pendapat diberikan apabila menurut penilaian auditor Laporan keuangan tidak memenuhi SPI yang mamadai, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta ketidaksesuaian laporan keuangan yang disajikan dengan standar akuntansi yang berterima umum, sehingga auditor tidak dapat memperoleh keyakinan yang mamadai atas tingkat kewajaran Laporan Keuangan.
Opini WTP merupakan penilaian tertinggi yang diberikan oleh BPK kepada suatu kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah atas laporan keuangan yang penyajiannya dianggap wajar. Khusus opini WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) memberi kesan sebuah pernyataan yang mungkin dinggap sakti karena untuk memperolehnya tidak mudah, sehingga menjadi suatu kebanggaan bagi pemerintah daerah apabila berhasil memperoleh opini WTP dari BPK. Predikat WTP ibarat sebuah pencapaian tertinggi bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu, sangat ironis jika suatu daerah yang telah berhasil memperoleh opini WTP, namun masih terjadi praktek korupsi yang bahkan melibatkan pimpinan tertinggi (bupati/wali kota/gubernur).
Semangat mengejar pencapaian opini WTP bagi suatu kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah semakin meningkat setiap tahun karena terkesan pencapaian opini WTP yang mengindikasikan terbebas dari praktek korupsi. Namun faktanya justru beberapa kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah menunjukkan fenomena sebaliknya, dan bahkan beberapa pejabat tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terindikasi dengan praktek korupsi, utamanya terkait dengan pengadaan barang dan jasa serta praktek jual beli jabatan. Praktek korupsi yang dilakukan seseorang biasanya didorong oleh greeds (keserakahan) yang terkait perilaku, opportunities (kesempatan) karena SPI yang tidak mamadai, needs (kebutuhan) disebabkan gaya hidup, dan keempat exposures (pengungkapan) terkait dampak setelah seseorang melakukan fraud.
Perolehan opini WTP memberi kesan bagi kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah untuk menyampaiakan pesan kepada masyarakat bahwa suatu entitas termasuk pemerintah daerah telah bersih dari praktek korupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebahagian masyarakat berpendapat bahwa dengan keberhasilan suatu entitas termasuk pemerintah daerah meraih opini WTP, dapat dianggap telah berhasil terbebas dari praktek korupsi, padahal pada kenyataannya justru menunjukkan fenomena yang menyimpan dari harapan msyarakat.
Opini WTP kerap kali diincar oleh suatu kementerian/lembaga utamanya pemerintah daerah karena menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan dana insentif daerah dari Kementerian Keuangan. Perburuhan terhadap opini WTP ini yang biasanya menjadi celah penyelewengan bagi para pejabat baik di pusat maupun di daerah. Hal ini terjadi pada kementerian/Lembaga dan bahkan pemerintah daerah yang pengelolaan keuangannya tidak mamadai, namun membutuhkan opini WTP demi menjaga marwah gengsi kementerian/Lembaga tersebut termasuk pemerintah daerah dan daerah itu sendiri. Selain itu, juga berpotensi terjadinya praktek jual beli opini untuk memperoleh opini WTP. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa pejabat baik pusat maupun daerah yang terjerat dalam kasus korupsi, walaupun Laporan keuangan yang disajikan memperoleh opini WTP dari BPK.
Suatu persepsi yang keliru dari sebahagian masyarakat yang menganggap bahwa opini WTP identik dengan laporan yang bersih dari temuan. Opini WTP seakan menjadi komuditas karena dianggap menjadi bukti bahwa suatu kementerian/lembaga dan pemerintah daerah telah bebas dari praktek korupsi, padahal penilaian opini WTP BPK hanya bersifat administrastif. Perolehan opini WTP bukanlah hasil, namun perolehan opini WTP merupakan kewajiban seluruh kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah dalam penggunaan anggaran yang berasal dari rakyat untuk dipertanggungjawabkan (accountability). Opini WTP merupakan pernyataan BPK terhadap tolok ukur akuntabilitas tentang pengelolaan keuangan. Masyarakat perlu diberikan pencerahan oleh pihak yang memiliki otoritas bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK hanya untuk menilai tingkat kewajaran atas suatu Laporan Keuangan, bukan memberikan jaminan bahwa tidak terjadi suatu praktek korupsi, walaupun apabila ditemukan sesuatu penyimpangan (fraud) harus dilaporkan.
Beberapa indikasi praktek praud yang mungkin terjadi diantaranya praktek rekayasa laporan keuangan, tidak semua transaksi diperiksa karena dimungkinkan menggunakan metode sampling, padahal yang tidak menjadi sampel justru berpotensi menjadi praktek korupsi, auditor bekerja berdasarkan data padahal kemungkinan data tersebut direkayasa, rekayasa dengan jumlah tertentu atas suatu proyek dan tergantung pada nilai pagu proyek, menurunkan jumlah kerugian negara, serta keterlibatan pihak tertentu dalam politik yang terindikasi korup sehingga terjadi conflict interest. Kinerja pengelolaan keuangan kementerian/Lembaga termasuk pemerintah daerah tidak akan memiliki reputasi dari masyarakat jika rosesnya ditempuh dengan cara transaksional. Dengan demikian sangat sulit bagi BPK untuk memberikan jaminan mamadai bahwa opini WTP membuat korupsi tidak akan terjadi pada kementerian/ Lembaga termasuk pemerintah daerah.
Opini WTP bukan sebagai jaminan tidak terjadi suatu kecurangan (fraud) dalam suatu kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah. Pemeriksaan Laporan keuangan tidak ditujukan untuk menemukan ada/tidaknya praktek korupsi, tetapi hanya untuk mengetahui kesesuaian penyajian laporan keuangan dengan SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta peniaian atas SPI. Patut dimaknai bahwa opini WTP bukan untuk pencitraan telah bersih dari praktek korupsi, namun lebih memahami opini WTP sebagai penilaian atas kewajaran penyajian laporan keuangan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Opini WTP bukan merupakan tujuan akhir bagi suatu kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan, akan tetapi yang terpenting diharapkan menjadi spirit dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Akhirnya tulisan ini diharapkan dapat menjawab kerisauan mahasiswa sebagaimana yang dikemukakan pada bagian awal tulisan ini dan bahkan masyarakat tentang urgensi opini WTP yang diberikan oleh BPK dalam hubungannya dengan terjadinya praktek korupsi dalam suatu entitas termasuk kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah, seperti transaksi jual beli opini antara auditor dengan auditee, sehingga mengurangi kepercayaan publik. BPK lebih banyak berlatar belakang parpol, bukan orang inedpenden. (*)