Sultra Belum Bebas TBC

  • Bagikan

-- Kendari Sumbang Kasus Tertinggi

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Kasus Tuberculosis (TBC) di Sulawesi Tenggara (Sultra) masih terbilang tinggi. Hingga akhir Mei, sebanyak 2.024 kasus TBC yang terdeteksi. Tahun lalu, penyakit yang disebabkan bakteri mycobacterium tuberculosis mencapai 5.624 kasus. Penyakit menular ini terdeteksi di 307 Puskesmas.

Kota Kendari menjadi penyumbang kasus terbanyak yakni 453 kasus. Sementara Konawe Kepulauan (Konkep) mencatat kasus terendah. Dengan hanya 21 kasus.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sultra Hj Usnia mengatakan ada tren penurunan kasus TBC tahun ini. Kendati demikian, jumlah penderita masih berpeluang bertambah. Pasalnya, ada 13.605 kasus yang berstatus suspek. Yang mana, mereka masih akan dicek apakah positif atau negatif. Target pengobatan tahun ini sebanyak 9.932 kasus.

Untuk Mei, target pengobatan baru mencapai 20 persen. Kalau 2023 capaian 50 persen,” ujar Hj Usnia saat ditemui di kantor Gubernur Sultra, Selasa (11/6).

Guna mempercepat eliminasi TBC, Dinkes Sultra telah mengambil beberapa langkah strategis. Salah satunya adalah pembentukan Koalisi Organisasi TB (Kopi TB) di level provinsi. Diharapkan langkah ini bisa diikuti kabupaten dan kota lainnya.

Di sisi lain, Dinkes Sultra juga telah memperluas layanan diagnosa dengan menambahkan mesin test cepat molekuler di puskesmas. Selain itu, pihaknya memperluas layanan pengobatan pasien resisten obat di beberapa kabupaten/kota. “Kami juga memaksimalkan dukungan dari partner konsorsium penabulu dengan mendorong ekspansi ke kabupaten dan kota lainnya,”ujarnya.

Bimbingan teknis (Bimtek) sambungnya, turut dilakukan untuk mendorong kabupaten/ kota memaksimalkan dukungan APBD untuk program TBC. Dinkes Sultra mendukung program inovasi yang bersifat loka untuk dijadikan percontohan di daerah.

“Untuk menurunkan TBC di Sultra ini, perlunya kerjasama seluruh lintas sektor. Contoh, apabila ada teman-teman yang batuk lebih dari 3 hari mungkin dianjurkan untuk pemeriksaan ke puskesmas atau tempat-tempat terdekat. Bahkan bila ada keluarga yang terindikasi TBC segera laporkan untuk pemeriksaan lebih lanjut,” ujarnya.

Bukan hanya itu, pihaknya juga melakukan kerjasama dengan Global Fund. Seperti pengobatan terhadap pasien yang resisten. Memperkuat sistem kesehatan khususnya terkait ketenagaan dan pengelolaan program sesuai standar pelayanan minimal. Dengan begitu, tugas pokok dan fungsi pelayanan tetap melekat pada fasilitas pelayanan kesehatan tanpa melihat ada tidaknya tenaga yang sudah terlatih.

“Dengan demikian, standar kebutuhan tenaga dan pelatihannya akan disesuaikan kebutuhan jenis dan jumlahnya. Kami melakukan pembekalan program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB) kepada dokter PTT di level Kabupaten dan Kota dalam masa pra tugas, sehingga dokter PTT dapat terlibat dalam program TB pada saat tugas,” jelas Usnia.

Selanjutnya, membuat perjanjian peserta latih atau surat pernyataan untuk mengelola program TB di Fasyankes minimal 3 tahun pasca pelatihan. Fasyankes harus melakukan analisa ketenagaan dan kebutuhan pelatihan, serta memberikan motivasi kepada Fasyankes untuk memperhatikan dan memenuhi standar ketenagaan sesuai pelayanan minimaL

“Kita juga akan membuat feedback tenaga terlatih TB ke pimpinan petugas TB terlatih, Fasyankes, Dinkes dan BKD kabupaten dan kota. Dengan berbagai langkah itu, kami optimis dapat menurunkan angka TBC. Di sisi lain, kerja sama lintas sektor dan kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan dini,” pungkasnya. (b/rah)

  • Bagikan