Beban Berat Pekerja

  • Bagikan
Ilustrasi: Agr/Kendari Pos
Ilustrasi: Agr/Kendari Pos

--Pemprov Tunggu Juknis Kebijakan Tapera

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Iuran Tabungan Perumahan Rakyat yang dicanangkan pemerintah untuk kelompok pekerja masih pro kontra. Fraksi PAN DPR RI menilai iuran Tapera menambah beban para pekerja. Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) mengingatkan agar iuran Tapera jangan membebani pengusaha dan pekerja.

Beban pekerja semakin bertambah dengan pemberlakuan Tapera ini. Dengan gaji yang sedikit, para pekerja punya kewajiban lain yang harus dipenuhi, termasuk kewajiban untuk menjadi peserta jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Belum lagi jika pekerja memiliki tanggungan pendidikan anak, kredit barang konsumtif lainnya.

Iuran Tapera menimbulkan kekhawatiran tentang berkurangnya gaji yang diterima pekerja. Kebijakan ini muncul setelah Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.

PP yang diterbitkan pada 20 Mei 2024 ini mewajibkan setiap pemberi kerja untuk mendaftarkan karyawannya ke program Tapera paling lambat tahun 2027. Setelah karyawan terdaftar, pemerintah akan memotong gaji mereka sebesar 3 persen setiap bulan untuk dimasukkan ke dalam Tapera.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sultra Asrun Lio mengakui pihaknya masih perlu mempelajari kebijakan ini lebih lanjut. "Kebijakannya belum turun di daerah. Sehingga saya belum bisa komentar banyak tentang itu. Kita tunggu petunjuk teknisnya (Juknis) dulu," ujarnya kepada Kendari Pos, Kamis (30/5/2024).

Sekda Sultra Asrun Lio menambahkan setelah juknis PP Tapera turun dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka Pemprov Sultra akan melaksanakan dan meneruskan kebijakan tersebut sesuai dengan aturan pemerintah pusat.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Provinsi Sultra 2023-2026, Prof.Dr.H.LM Harafah, SE., M.Si mendukung kebijakan Tapera ini. Menurutnya, kebijakan ini penting untuk pemerataan, sehingga pihak pekerja swasta juga dapat memiliki kesempatan untuk memiliki rumah sesuai prosedur.

"Memang kadang setiap kebijakan sering ada pro dan kontra. Namun dari aspek pemerataan, kiranya pihak swasta bisa berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan perumahan dan juga bisa bermanfaat bagi pihak swasta baik secara langsung maupun tak langsung," ujar Prof.Harafah.

Tidak semua pihak sepakat dengan kebijakan ini. Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Provinsi Sultra Alvian Pradana Liambo, menyatakan bahwa mereka masih mempelajari kebijakan ini secara teknis.

"Ada beberapa pertimbangan sebenarnya, terutama bagi kepastian hubungan kerja dan masih adanya pekerja yang gajinya di bawah upah minimum," ujar Alvian Pradana Liambo.

Menurut Anggota Dewan Pengupahan Provinsi Sultra itu, program kepemilikan rumah untuk pekerja sudah tepat, tetapi teknis penyelenggaraannya perlu dikaji dengan baik. "Sebab tidak semua pekerja saat ini membutuhkan rumah," ungkap Alvian Pradana Liambo.

Meskipun tujuan dari kebijakan Tapera adalah untuk memberikan kemudahan akses perumahan yang lebih luas bagi pekerja, implementasinya masih memerlukan banyak kajian dan penyesuaian agar benar-benar efektif dan sesuai dengan kebutuhan semua pihak yang terlibat.

"Pemahaman mendalam dan sosialisasi yang baik akan menjadi kunci suksesnya kebijakan ini di masa depan. Jadi tidak boleh langsung diterapkan,"pungkas Alvian Pradana Liambo.

Tapera Menambah Beban Pekerja

Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai, iuran Tapera yang dicanangkan pemerintah belum disosialisasikan secara baik. Ia mengutarakan, masih banyak masyarakat yang belum paham dan mendapat informasi yang kurang akurat.

"Karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa seluruh segmen masyarakat memahami tapera ini dengan baik," kata Saleh kepada JawaPos.com.

Saleh mengutarakan, peserta Tapera seharusnya mereka yang berpenghasilan sama dengan atau lebih besar dari upah minimum. Hal ini dinilai berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Sebab, banyak juga anggota masyarakat yang gajinya jauh dari upah minimum. Sementara, mereka juga merupakan rakyat yang membutuhkan perumahan.
"Fraksi PAN mendesak pemerintah untuk mencari solusi terkait masalah ini. Kebijakan apa pun yang ditetapkan pemerintah, sudah semestinya adil dan bermanfaat bagi semua," ucap Saleh.

Ia pun menyatakan, terdapat waktu paling lama tujuh tahun untuk mendaftar jadi peserta terhitung sejak aturannya ditetapkan. Selama masa itu, pemerintah didesak untuk melakukan kajian komprehensif agar kegiatan ini tidak menimbulkan gejolak sosial.

"Dari pengamatan saya, sejauh ini masih banyak hiruk pikuk dan kebisingan terkait program ini. Meskipun presiden mengatakan bahwa ini sangat baik untuk jangka panjang, namun saat ini masih saja ada kicauan yang bernada negatif. Terutama di media-media sosial," ujar Saleh.

Ia tak memungkiri, para pekerja banyak yang mungkin menolak program Tapera ini. Karena itu, Saleh mendesak pemerintah untuk melakukan dialog dengan mereka. Namun, jika tetap menolak, pemerintah diminta untuk tidak memaksakan.

Sebab, Tapera dinilai menambah beban tambahan bagi para pekerja. Karena, para pekerja sendiri sudah banyak kewajiban lain yang harus dipenuhi, termasuk kewajiban untuk menjadi peserta jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

"Artinya, gaji yang sudah sedikit, akan bertambah sedikit lagi. Belum lagi, beban 2,5 persen yang menjadi kewajiban pengusaha akan berdampak pada penurunan insentif-insentif yang akan diterima para pekerja," pungkasnya.

Iuran Tidak Harus Sama Rata

Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) mengingatkan agar iuran Tapera jangan membebani pengusaha dan pekerja. "Kita melihat iuran Tapera ini jangan sampai jadi beban bagi pengusaha dan pekerja yang selama ini sudah dibebani dengan berbagai macam potongan serta iuran. Tapera ini mesti disosialisasikan baik-baik," ujar Ketua AREBI Lukas Bong di Jakarta.

Lukas mempertanyakan bagi pekerja yang sudah memiliki rumah, namun tetap wajib ikut menjadi peserta Tapera. Padahal pemotongan iuran Tapera itu angkanya tidak kecil dan pada akhirnya terakumulasi menjadi dana jumbo yang dikelola oleh Badan Pengelola atau BP Tapera.

"Saya pikir pengenaan Iuran Tapera kepada masyarakat dan pekerja harus tebang pilih, tidak semua harus disamaratakan. Dan kita mesti tahu katakan lah perlu ada subsidi dari pemerintah, subsidi perusahaan dan mungkin ada dana dari masyarakat atau konsumen, sehingga angka iuran Tapera menjadi menarik bagi masyarakat dan pekerja untuk mau menabungkan uangnya. Jadi rasanya tidak bisa diberlakukan sama rata," kata Lukas Bong.

Menurut dia, besaran iuran Tapera sebesar 3 persen mirip dengan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 2 PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, yang tidak mengalami perubahan dalam PP Nomor 21 Tahun 2024, disebutkan bahwa pemberi kerja wajib menyetorkan simpanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari bulan simpanan yang bersangkutan ke rekening dana Tapera.

Adapun besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 15 ayat 1 PP 25/2020, yang tidak mengalami perubahan dalam PP Nomor 21 Tahun 2024. (rah/b/jpg)

  • Bagikan