Menjaga Kewarasan dalam Seteru Laut China Selatan

  • Bagikan
Ilustrasi LM. Syuhada Ridzky

Oleh: LM. Syuhada Ridzky - Bukan Siapa Siapa

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Buih konflik di kawasan Laut China Selatan bisa menjadi bom waktu dan meledak tanpa ancang-ancang. Tetapi, komitmen dan kolaborasi Indonesia, claimant states, bersama ASEAN dan Tiongkok bisa merekayasa ledakan itu sebatas percikan letusan kembang api, dentumannya boleh menggelegar namun indah dipandang dan tidak merongrong kedaulatan siapapun.

Demi kemanusiaan, menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan (LCS) adalah misi bersama yang paling penting bagi negara-negara di kawasan. Survey yang dikeluarkan Litbang Kompas mengenai persepsi atas ancaman kedaulatan Indonesia di perairan LCS didominasi oleh ancaman terhadap penguasaan wilayah maritim. Mayoritas publik menganggap isu ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan wilayah. Namun apakah ancaman tersebut signifikan untuk mengintervensi kedaulatan kita secara hukum, ekonomi dan politik?. Dan masih relevankah ancaman tersebut di tengah pesatnya penetrasi teknologi yang menembus sekat-sekat ruang dan waktu?. Untuk menjawabnya, maka perlu redefinisi terhadap makna ancaman tersebut dalam pergaulan internasional yang kian modern dan kompleks.

Dari sisi Indonesia sebenarnya telah jelas, masalah batas maritim dengan negara ASEAN di kawasan sudah tidak ada perselisihan lagi, hal ini sebagai konsekuensi warisan wilayah Hindia-Belanda di era kolonial, terkecuali ZEE. Begitupula Tiongkok dengan klaim nine dash line-nya. Itulah sebabnya dalam konflik LCS Indonesia adalah non-claimant states.

Walaupun tidak termasuk sebagai claimant states, Indonesia perlu mengambil peran aktif dalam mencapai resolusi atas konflik yang terjadi di teras ASEAN yang melibatkan China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan, karena jika tidak, bisa saja Indonesia terseret langsung dalam pusaran konflik, manakalah skenario terburuk harus terjadi.

Dalam konteks kedaulatan wilayah, Indonesia di rezim ini berada pada posisi yang tegas, pertama terkait batas teritorial sejauh 12 mil di laut Natuna tidak ada negosiasi dengan siapapun termasuk China. Kedua, Indonesia mengikuti konsensus the law of the sea treaty atau UNCLOS 1982 dan menolak nine-dash line yang diajukan China. Maka menarik untuk melihat seteru ini dari sudut pandang Beijing atas klaimnya yang buat banyak negara terkejut. 

Perspektif China dan Akar Sengketa

Di episentrum Laut China Selatan, orang-orang Negeri Tirai Bambu menemukan archeological evidence di gugusan pulau Spratly. Di pulau yang mereka sebut sebagai Pulau Nansha itu ditemukan arkeologi berusia ratusan tahun. Diantaranya panduan navigasi yang diakui sebagai karakteristik nelayan dari Pulau Hainan, Tiongkok, pada abad ke-18. Bukti arkeologi itu memerinci arah, jarak dan rute navigasi, sekaligus menyatakan nelayan-nelayan Tiongkok berdiam di pulau tersebut selama musim penangkapan ikan. Temuan ini menjadi titik mula dari landasan klaim bahwa leluhur China telah mengokupasi kepulauan Spratly sejak awal.

Klaim historis juga merujuk pada masa Dinasti Yuan (1271-1368 masehi), bahwa Tiongkok sudah menjalankan kedaulatan atas Pulau Spratly. Kemudian kepulauan Spratly dan Pulau Hainan bergabung ke dalam administrasi  Provinsi Guangdong di era Dinasti Qing (1644-1911 masehi).

Memasuki sejarah modern, klaim Tiongkok bukan tanpa legal basis yang sah. Komunitas internasional termasuk Amerika mengakui kedaulatan Tiongkok atas Spratly berdasarkan sejumlah perjanjian dan deklarasi internasional. Di antaranya ialah deklarasi Kairo (1943), deklarasi Potsdam (1945), perjanjian perdamaian dikenal sebagai perjanjian San Fransisco (1951) yang diratifikasi oleh 48 negara dengan Jepang, perjanjian damai Tiongkok-Jepang (1952), resolusi majelis umum PBB 2758 (1971), dan komunike bersama Jepang dan Tiongkok (1972). Rangkaian peristiwa itu membuktikan secara definitive bahwa Spratly adalah milik Tiongkok secara hukum. Kala itu, hampir tak ada perselisihan, komunitas internasional pun juga diam. Inilah yang kemudian menjadi standing point bagi Beijing ngotot mengklaim hampir 80 persen wilayah di LCS.

Eskalasi kepentingan di kawasan menyeruak setelah diperoleh gambaran prospek sumber daya migas dan hidrokarbon di tahun 1970an. Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) CSIS memproyeksi terdapat sekitar 190 Triliun kubik gas alam dan 11 Miliar barel minyak terkandung di Laut Cina Selatan. Sejak saat itu negara-negara lain pelan-pelan mengambil alih perairan di kepulauan Spratly. Republik Rakyat Tiongkok yang belum lama terbentuk saat itu masih sibuk menata perekonomian dalam negeri.

Kandungan sumber daya alam dan diundangkannya Hukum Laut melalui UNCLOS pada 1982 yang memberi hak teritorial kepada negara atas perairan sejauh 12 mil dari pantai terluar dan mengakui Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil dari pantai telah mempertajam klaim dan kontra klaim. Imbasnya, negara ASEAN ramai-ramai membuat klaim di LCS.

Beijing beranggapan kedaulatannya di kepulauan Spratly di Laut China Selatan setelah diundangkannya konvensi Hukum Laut tidak serta merta dapat disebut telah melanggar kesepakatan bersama dan menyelisihi norma-norma hukum yang telah dibuat. Sebab, konvensi (UNCLOS) dihasilkan United Nations setelah melewati diskusi dan negosiasi maraton sembilan tahun lamanya memberikan pilihan kepada negara- negara untuk membuat pengecualian dalam kasus yang menyangkut kedaulatan nasional dan pembuatan garis batas. Tiongkok baru mau meratifikasi konvensi tersebut pada 1996 disertai deklarasi yang menegaskan kembali kedaulatannya atas semua kepulauan termasuk Spratly. Pada 2006 Tiongkok kembali deklarasi di bawah Pasal 298 Konvensi bahwa setiap masalah penetapan batas wilayah kedaulatan dan batas maritim tidak termasuk dalam yurisdiksi mekanisme penyelesaian sengketa di bawah Konvensi. Posisi ini juga disepakati oleh 30 negara lainnya. Kemudian ini menjadi dasar hukum Tiongkok menolak keputusan Pengadilan Arbitrase saat kalah bersengketa dengan Filipina. Bagi Tiongkok penetapan batas wilayah kedaulatan dan maritim harus dilakukan secara bilateral, G to G.

Bagaimanapun juga ASEAN perlu memberi apresiasi kepada Tiongkok yang hingga saat ini mau bersabar, menahan diri dan masih memprioritaskan perdamaian atas kemelut di LCS. Konfrontasi dari pihak ASEAN tidak mungkin dilakukan mengingat Tiongkok secara militer berada di peringkat ke tiga dunia dalam Global Firepower, jauh di atas negara-negara ASEAN. Belum lagi daya dukung perekonomian Tiongkok. Pendekatan militer dengan membangun “Nato kecil-kecilan” (aliansi pertahanan) hanya akan membuat intimidasi yang tidak perlu.

Ancaman Kedaulatan Indonesia

Dalam konteks kedaulatan negara, ancaman terhadap kedaulatan dapat dibentangkan ke dalam empat aspek; ancaman kedaulatan territorial, hukum, politik dan ekonomi.

Pertama, bagi Indonesia kedaulatan territorial sejauh 12 mil dari lepas pantai adalah mutlak. Tidak ada tawar menawar lagi dalam hal itu termasuk istilah tindakan terukur dan terkendali. Siapapun yang melakukan aksi trespassing, ditindak tegas, akan diproses sesuai yurisdiksi Indonesia, jika perlu tenggelamkan!. Sebagai garda depan, TNI akan menjalankan SOP menjaga kedaulatan NKRI hingga titik darah penghabisan. Pada area ini kedaulatan wilayah berlaku absolute dengan kedaulatan hukum yang berlaku di Indonesia.

Kedua, pemberitaan tentang aksi provokasi Tiongkok yang masuk wilayah Indonesia itu juga belum jelas dinarasikan oleh media, apakah masuk ke dalam teritori 12 mil atau wilayah ZEE yang merupakan perairan bebas. Publik belum banyak yang memahami bahwa khusus pada ZEE sejauh 200 mil kita tak memiliki kedaulatan melainkan sovereign right (hak berdaulat). Area ini adalah perairan internasional, kita hanya berhak pada apa yang ada di dalam kolom laut dan landas kontinen. Maka, demi stabilitas kawasan dan mempromosikan perdamaian, segala bentuk tindakan yang menyelisihi sovereign right Indonesia dapat disikapi secara normatif melalui pendekatan hukum yang soft dan diplomasi. Sebab tidak semua negara turut serta meratifikasi putusan konvensi UNCLOS.

Ketiga, secara geopolitik dan geostrategis, Indonesia berada di antara dua kekuatan, Tiongkok dan United States (US). Menurut Beijing, biang kisruh di LCS adalah US. Uncle Sam berpedoman teguh pada kebijakan luar negerinya di Indo Pasifik agar kawasan LCS tetap menjadi perairan bebas. Sebagai kekuatan unipolar, untuk mengamankan kepentingan nasionalnya US tidak ikhlas LCS dikavling sekehendak hati. Selama Indonesia mampu meyakinkan claimant states agar mau menjaga netralitas, tidak menjadi proxy salah satu pihak dan menyelesaikan sengketa lewat skema G to G, potensi konflik di kawasan dapat diredam.

Keempat, memang secara teritorial maupun hukum, Indonesia, claimant states dan Tiongkok berlawanan, tetapi tidak sampai pada level mengganggu hubungan ekonomi antar negara. Selama satu dekade terakhir ini ASEAN menjadi mitra dagang terbesar Tiongkok. Di Indonesia investasi itu mencapai angka USD 7,3 miliar pada 2023 lalu. Selama Indonesia mampu memperketat kerangka hukum dan regulasi dalam negeri terkait penanaman modal asing, mengurangi ketergantungan ekonomi pada satu negara dengan diversifikasi investasi maka akan menepis tekanan politik.

Oleh karena itu perlu meninjau ulang makna ancaman bagi kedaulatan secara komprehensif ketika di saat bersamaan ketegangan politik, teritori dan hukum terjadi sedangkan secara ekonomi saling menguntungkan. Di tengah penetrasi teknologi yang melampaui ruang dan waktu, setiap individu, organisasi bahkan negara bebas membangun jejaring dan kolaborasi internasional. Dinamika ini menjadikan ancaman bagi kedaulatan juga bersifat dinamis dan kontekstual sesuai perkembangan situasi global.

Kedaulatan politik menjaga kewibawaan kita di mata asing. Kedalutan territorial menjadi penting sebagai bukti eksistensi fisik. Kedaulatan hukum penting demi keadilan dan ketertiban. Ketiga aspek itu berdiri tegak di atas fondasi kedaulatan ekonomi yang kuat. Sekaligus menjadi mekanisme mitigasi konflik yang menjaga ruang diplomasi dan negosiasi tetap terbuka.

Realitas ketegangan politik mengenai batas maritim di LCS dan solidnya hubungan ekonomi negara ASEAN dengan Tiongkok dapat dimanfaatkan sebagai alat diplomasi untuk menjaga stabilitas kawasan dan aspek-aspek kedaulatan.

Peran Indonesia

Dapat dikatakan sengketa LCS adalah konflik sumber daya alam. Isu ini bersinggungan dengan kedaulatan ekonomi di kawasan ZEE. Sampai saat ini, Tiongkok  belum mengubah “UUD-nya” terkait garis imajinernya. Selama itu pula LCS akan memendam konflik yang menurut Guru Besar Hukum Internasional UI Prof. Hikmahanto Juwana perselisihan itu akan terus exist hingga akhir zaman. Perundingan mengenai perbatasan akan sulit dicapai mengingat masing-masing bertahan pada klaimnya.

Dengan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, Indonesia dapat mengisi celah tersebut dengan, pertama, berupaya menjaga agar negara-negara yang bertikai dengan Tiongkok tetap menjaga netralitasnya dalam pertarungan hegemoni di Indo Pasifik antara Amerika dan Tiongkok. ASEAN berjalan dibawah koridor kerjasama ekonomi.

Melaksanakan dengan penuh tanggung jawab draft tata berprilaku (code of conduct) yang telah dinegosiasikan dalam forum ASEAN-China. Ini menyatukan persepsi para pihak yang terlibat. Kemudian secara kolektif merancang Code for Unplanned Encounters at sea (CUES) sebagai pedoman yang tidak mengikat demi mencegah insiden maritim.

Terkait isu seksi siapa yang berhak memanfaatkaan kandungan sumber daya alam diselesaikan dengan resources jointly explore. Kekayaannya dibagi secara adil dan menyerahkan perundingan batas pada generasi selanjutnya untuk diselesaikan. Cara ini memang agak riskan digunakan Tiongkok melegitimasi klaimnya. Tetapi hal itu dapat dicegah dengan kerangka kerja sama yang eksplisit dan transparan yang tidak mengakui nine dash line. Aktivitas eksplorasi harus bedasarkan hukum internasional dan membentuk konsorsium multilateral.

Dalam konsep hubungan internasional dan filosofi politik mahsyur dikenal istilah “si vis pacem, para bellum,” yang berarti jika ingin perdamaian, maka bersiaplah untuk perang. Sampai pada tahap ini strategi penguatan pertahanan negara akan selalu relevan. Namun publik harus paham, manakalah konflik tak dapat dielak, tidak ada satu pihak pun yang diuntungkan. Olehnya itu, kolaborasi jauh lebih membawa manfaat. Hanya dengan berkolaborasi kita dapat memelihara kewarasan, supaya tidak bertindak gegabah.(*)

  • Bagikan